⁰¹⁴ bab empat belas

5.1K 845 42
                                    

━━━━━━━

014

━━━━━━━

 Hari Senin berikutnya, Canda memaksa Neri untuk duduk di barisan depan pada jam pendalaman materi. Satu barisan dari yang paling depan, dan hal itu jelas bukan Canda banget. Neri nggak berkomentar banyak selain matanya yang sesekali melirik ke arah Canda, sementara yang dilirik berusaha sekeras mungkin untuk nggak memperhatikan meja Ariq dan Reza lewat ekor matanya.

Canda tahu Neri gatal banget mau bertanya, jadi dia nggak kaget begitu teman dekatnya tersebut langsung mengajaknya ke kantin untuk bergosip setelah bel pulang berdering. Hanya tersisa anak kelas 12 di sekolah, sehingga kantin nggak begitu ramai. Sama seperti sore hari biasanya.

Canda menghela napas. Dia bakalan kangen masa SMA-nya ini.

Neri memesan jus alpukat untuk dirinya, dan Canda membeli cemilan kaya micin seperti biasa, sebelum akhirnya keduanya duduk pada salah satu meja yang terlihat paling bersih, meskipun ada bercak bekas saus sate padang dan tetesan sambal dari ayam geprek.

Canda mendorong bungkus cemilannya ke arah Neri, minta dibukakan. Neri berdecak. "Cerita dulu."

"Ih, gue butuh energi. Bukain dulu."

"Makan ginian kayaknya isinya angin doang, deh," ucap Neri, tapi tangannya tetap merobek bungkus plastik tersebut dengan dua tangan. "Minta satu."

"Ambil aja."

Neri mencomot sebuah keripik. "Jadi?"

"Apa?"

"Can, kita kenal dari kapan, sih? Gue tahu banget kalau lo lagi ada pikiran," tukas Neri. Bekas bumbu cemilan yang menempel di jemarinya, ia usap ke rok sekolah tanpa peduli. "Yang sekarang, nih, gue tahu pasti mikirinnya tentang cowok!"

"Sok tahu," manyun Canda.

"Ah, bener 'kan, gue?" Neri tertawa. "Oke, Adele mau nyanyi dulu. Ahem. Canda and Ar"

Mata Canda langsung membulat. Tangannya membekap mulut Neri rapat-rapat, sementara kepalanya ditengokkan ke kanan-kiri untuk mengecek situasi. Selain mereka berdua, ada segerombol anak IPS yang sedang asyik bermain kartu di meja paling pojok, dan juga beberapa anak ekskul futsal yang kelihatannya tengah meminta kunci ruang penyimpanan alat-alat olahraga pada penjaga sekolah.

Mereka semua kenal Ariq. Satu sekolah kenal Ariq!

"Suara lo jelek!" tukas Canda, mencari alasan, sementara tangannya ditarik kembali sebelum Neri sempat menggigit telapaknya yang suci. "Lagu zaman kapan sih, itu?!"

Neri terbahak-bahak.

Canda menggembungkan pipinya. Ditariknya gelas jus alpukat Neri, lalu isinya dia seruput banyak-banyak. Baru sekali menyeruput, wajahnya langsung dihiasi kernyitan dalam. "Ew."

"Makanya kalau mau minta izin dulu, supaya berkah."

Canda hanya memutar bola mata.

Neri mendorong bahunya main-main. "Eh, serius, Can. Cerita, dooong. Kalau lo cerita ke Milo doang, nggak bakalan dapat solusi."

"Nanti aja, ah."

"Apa bedanya sama sekarang?"

"Beda, lah," sahut Canda. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, "Eh, gimana si Marvel?"

Mata Neri langsung berbinar-binar. "Ah, iya! Lo harus tahu, dia ngasih gue buku novel kemariiin! Agak sebagai sindiran, sih, soalnya kan lo tahu gue nggak betah banget duduk diam buat baca — eh, lo berusaha mengalihkan perhatian gue, ya?!"

━━

"Mau gue bantuin, Riq?"

Ariq mendongakkan kepalanya untuk menatap Reza yang sedang duduk bersila di atas kasur. Temannya itu, seperti biasa, benar-benar memasukkan perkataan mama Ariq dalam hati dan menganggap rumah Ariq sebagai rumahnya sendiri. Bukti simpelnya: belum lima menit sampai di kamar, dia langsung berbaring dengan nyaman di kasur Ariq dengan boxer dan kaus oblong-nya.

Sementara itu, Ariq, sebagai empunya rumah dan juga pemilik sah kamar tersebut, justru tengah duduk di lantai sambil sibuk membuka-buka halaman bukunya dengan kening berkerut.

"Nggak apa-apa. Gue cuma nyari ...," gumam Ariq, kemudian berdeham sebelum membuka mulutnya lagi, "... sesuatu."

Reza meliriknya sejenak. "Ada yang ketinggalan?"

"Nggak."

Reza kelihatannya nggak menangkap nada defensif dalam suara Ariq, karena setelahnya cowok itu langsung membaringkan tubuhnya sambil memainkan ponsel seperti biasa. "By the way, tumben banget tadi pada rebutan duduk di barisan depan, ya? Perubahan bagus, sih, padahal kan cuma jam Bahasa Indonesia."

"Jangan gitu. Bahasa Indonesia susah juga, tahu."

"Iya, deh, Mr. Yang-Selalu-Dapet-Nilai-A-di-Rapor."

Ariq memutar bola matanya malas. Ia meletakkan buku-buku yang baru dibukanya tadi ke atas meja, sebelum akhirnya mengusap-usap wajahnya sembari bangkit berdiri. Lalu, setelah meregangkan tubuh, didorongnya kaki Reza dengan sebelah tangan. "Minggir. Mau tiduran juga."

"Wow. Seorang Ariq mau bersantai ria?"

"Bukan nyantai, tapi istirahat."

Reza tertawa, kemudian menggeser tubuhnya untuk berbaring di kasur bagian dalam. Sejenak, hanya terdengar suara kekehannya akibat konten-konten lucu yang dilihatnya di internet, sementara Ariq hanya mengarahkan matanya lurus ke langit-langit kamar.

Ariq nggak tahu berapa lama dia melamun sembari memelototi poster dan stiker yang tertempel di langit-langit kamarnya tersebut. Nggak tahu juga kapan akhirnya dia terlelap dengan bentuk miniatur pesawat terbang terbayang jelas di balik kelopak matanya. Yang jelas, tiba-tiba saja Reza sudah mengguncang-guncangkan tubuhnya, berusaha membangunkan.

Kamarnya gelap gulita, dan cahaya yang menyelip masuk melalui tirai jelas-jelas bukan sinar matahari.

Ariq mengerang, kemudian bangkit untuk duduk dengan perlahan. "Jam berapa?"

"Tujuh."

"Lo nginep?" tanya Ariq lagi, berusaha untuk menatap wajah Reza dalam kegelapan.

"Nggak. Abis ini gue pulang," jawab Reza. Cowok itu melangkah menjauhi kasur untuk mencari saklar lampu. Ariq buru-buru menutup matanya sebelum Reza sempat menekan saklar tersebut. "Oh, iya. Gue dititipin pesan. Kata nyokap lo, makan malam ada di meja. Terus, kabarin Bang Kevin kalau sereal abis buat besok pagi."

Ariq mengangguk-angguk. Pikirannya setengah melayang entah ke mana. Rambutnya acak-acakan khas bangun tidur, dan dia nggak melakukan apa-apa untuk merapikannya sebelum berdiri dan mengekori Reza ke luar kamar. Ariq baru menyadari kalau temannya itu sudah mengenakan seragam sekolahnya kembali.

"Nggak usah ngebut-ngebut," ingat Ariq begitu mereka sudah mencapai pintu.

Reza mengiyakan sambil mengenakan sepatunya tanpa repot-repot diikat. Ia merangkulkan sebelah tangannya pada pundak Ariq, sementara tangan yang satunya lagi menepuk-nepuk punggung temannya. "Duluan, ya."

Beberapa menit setelah sosok Reza berlalu dari apartemennya, Ariq jelas nggak pergi ke kamarnya lagi untuk kembali membolak-balik halaman bukunya. Apalagi mengecek saku sweater-nya satu per satu.

Ariq menghela napas.

Nggak ada sticky notes apapun hari ini.

━━

301218

Impulsif (on revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang