⁰²² bab dua puluh dua

4.6K 755 17
                                    

━━━━━━━

022

━━━━━━━

  "Ner, lo tahu kafe ini, nggak?"

Neri mendongakkan pandangannya dari novel yang tengah dibacanya. Alisnya terangkat sebelah karena penasaran, sebelum akhirnya tangannya menarik pelan brosur yang ditunjukkan oleh Canda agar dapat melihat dengan lebih jelas. Ketika matanya menangkap nama kafe tersebut, mulutnya langsung membentuk huruf 'O' besar.

"Itu kafe baru, Can. Agak jauh sih, dari sini, tapi kayaknya lagi hits banget. Gue belum pernah ke sana," jawab Neri. Buku novelnya ditutup begitu saja tanpa diberi pembatas terlebih dahulu. "Lo dapat brosur dari mana? Mereka nyebar-nyebar brosur di mall gitu, ya? Padahal ramai, lho."

"Nggak," sahut Canda. Ia menoleh ke kanan-kiri, kemudian merundukkan tubuhnya sambil menurunkan volume suaranya. "Dikasih Ariq."

Mata Neri membulat. Lalu, cewek itu cekikikan. "Oke. Hal baru yang gue pelajari dari Ariq: cara pedekate-nya mirip cara pedekate nenek moyang gue."

"Ner!"

"What?"

"Berarti gue harus jawab apa?"

"Jawab apanya?"

Canda manyun. Dikeluarkannya ponselnya dari saku, sebelum akhirnya dijejalkannya gadget tipis tersebut ke depan wajah temannya. Sementara Neri membaca percakapan terakhirnya dengan Ariq, Canda memperhatikan ruang kelasnya yang siang ini hanya dihuni oleh dirinya, Neri, dan juga beberapa teman sekelas yang jumlahnya dapat dihitung jari. Namun, selain Canda dan Neri, hanya ada kesunyian dan juga alunan musik lembut dari speaker Juno yang diletakkan di atas meja cowok yang sedang tidur di bagian belakang kelas.

Suasana kelas yang sepi bukan semata-mata karena teman-teman mereka suka bermain di luar kelas selama jam istirahat, melainkan karena sejak awal tahun ini, sekolah mereka menerapkan peraturan yang melarang pedagang kantin untuk menjual makanan dengan plastik maupun styrofoam agar dapat mengurangi sampah. Sehingga, daripada capek bolak-balik untuk mengembalikan piring makanan, anak-anak memutuskan untuk makan di kantin.

Canda juga sebenarnya lapar. Untungnya, Neri membawa bekal kentang goreng yang sejak tadi ia lahap bersama temannya itu dengan saus sambal yang nggak ada pedas-pedasnya sama sekali. Yah, seenggaknya lumayan untuk mengganjal rasa lapar, daripada Canda harus jajan dan mengambil risiko bertemu dengan Ariq di kantin.

Bukan, bukannya Canda mau menghindari cowok itu, tapi ... Canda nggak mau ketemu aja! Selain karena nanti pasti canggung abis, Canda nggak bawa masker yang bisa menyembunyikan rona di pipinya kalau tiba-tiba Reza meledek-ledeknya dengan Ariq lagi.

Bukan maksudnya Canda merona kalau ada di sebelah Ariq, tapi ... ah, sudahlah!

"Gimana?" tanya Canda setelah lamunannya terbuyarkan akibat bel yang tiba-tiba berbunyi nyaring dari speaker kelas.

Neri menyodorkan ponsel Canda kembali pada empunya. "Sesuai yang gue duga. Ariq mau ngajak lo jalan! Ngopi bareng gitu."

"Masa' sih, dia masih ngerasa nggak enak gara-gara ngajak gue ke airshow?"

Neri mengedikkan bahu.

"Terus, gue jawab apa?"

"Lo mau ke sana sama dia, nggak?"

Canda menggembungkan pipinya supaya Neri nggak melihat senyumnya yang perlahan terbit. "Kenapa lo mikirnya gitu, deh? Kali aja dia mau bikin acara di situ, atau apa, gitu."

"Kita ngomongin Ariq yang kalau nggak belajar, kerjaannya cuma tidur, lho."

"Your point?"

"My point is, kalian harus saling peka sebelum gue jadi geregetan dan gantiin lo buat balesin chat dari dia."

"Eh, enak aja!"

━━

Akibat kejadian kemarin, Ariq akhirnya terus menyalakan paket datanya selama jam pelajaran, dan juga menyetel volume notifikasinya lebih keras dari biasanya. Sebenarnya suara notifikasinya tersebut nggak kencang-kencang amat, tapi ketika sebuah pesan masuk saat jam pelajaran Bu Sari, yang artinya kelas jadi lebih sepi daripada ruangan hampa udara, tentunya bunyi dentingan ponselnya terdengar kentara abis.

Di depan kelas, Bu Sari berhenti berbicara. Matanya langsung tajam menatap sekitar, dan Reza dengan ahlinya langsung merebut ponsel Ariq dan menyetelnya ke mode silent tanpa menimbulkan pergerakan mencurigakan sedikit pun.

"Tolong semuanya fokus, ya, supaya kalian nggak menyesal nanti. Matikan dulu semua handphone. Selain mengganggu konsentrasimu, teman-temanmu jadi kehilangan fokus."

"Iya, Buuu."

"Contoh tuh, si Ariq. Udah pintar, kalem, nggak macam-macam kayak kalian."

Ariq berdeham pelan sambil langsung menunduk menatap bukunya. Terdengar koor 'Iya, Buuu,' lagi yang terdengar ogah-ogahan seperti sebelumnya, sebelum akhirnya Bu Sari kembali melanjutkan materinya.

Ketika akhirnya Bu Sari memutuskan untuk memberikan tugas dari buku paket, Reza pun menyodorkan ponsel yang tadi kutak-katiknya di kolong meja kembali pada Ariq, yang tentu saja menyambutnya dengan semangat '45.

"Tumben banget handphone lo sampai bunyi."

Meskipun kelas nggak sehening tadi, karena ada yang sedang mendiskusikan jawaban dan juga bertukar pendapat, Ariq dan Reza terpaksa harus tetap berbisik-bisik supaya nggak membuat Bu Sari bete lagi.

"Iya."

"... And?"

"And ... apa?"

"Gue udah menyelamatkan lo dari terkaman Bu Sari, dan lo nggak kasih gue penjelasan apa-apa?"

Ariq berdecak. Dibukanya pulpen gel-nya untuk digoretkan ke permukaan kertas buku tulis. "Karena tadi gue cubit handphone gue, makanya dia teriak."

"Ha-ha-ha," dengkus Reza. Ia memperhatikan Ariq sejenak, dan begitu cowok itu menyadari kalau Ariq nggak berniat untuk menjawab pertanyaannya dalam waktu dekat, ia pun manyun sembari ikut membuka buku tulisnya — menulis hari, tanggal, dan juga membuat tulisan 'Evaluasi' yang ia buat selama mungkin, kemudian digesernya buku paket Ariq agar ia bisa melihat isinya juga.

Keduanya bekerja dalam keheningan. Nggak sampai sepuluh menit kemudian, Ariq sudah berhasil menyelesaikan setengah dari keseluruhan tugas, dan ketika Reza memutuskan untuk mencocokkan hasil kerja temannya itu dengan miliknya sendiri, Ariq pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana untuk mengecek pesan masuk yang membuat Bu Sari mengomel beberapa menit yang lalu.

Canda : tempatnya bagus.

Ariq mematikan, kemudian menyalakan sinyalnya kembali. Ditariknya halaman tersebut ke bawah agar pesan-pesannya ter-refresh, lalu ditutupnya aplikasi chat tersebut sebelum akhirnya dibukanya lagi dari awal.

Tapi, hingga semenit berlalu, memang hanya itulah pesan dari Canda yang masuk ke ponselnya.

Duh, Ariq harus jawab apa, dong?

"Tanya aja, kapan dia ada waktu?"

Jantung Ariq nyaris copot ketika Reza tiba-tiba menyeletuk di sebelahnya. Cowok itu langsung menoleh cepat ke arah temannya sambil mengerutkan kening. "Terus, kalau dia ada waktu, gimana?"

"Yah, kalian pergi ke sana berdua, dong, Jenius."

"Kalau dia nggak mau?"

"Dia nggak bakalan bilang kalau dia ada waktu."

"Benar juga."

"Kayaknya, anak TK juga ngerti deh, Riq, kalau lo tanyain hal yang sama."

"Ouch."

 "Kenyataan memang menyakitkan."

━━

130219

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now