⁰²¹ bab dua puluh satu

4.4K 730 56
                                    

━━━━━━━

021

━━━━━━━

 "Gue masih nggak habis pikir, deh, Ti. Harusnya kan sekarang bukan tugas kita lagi buat ngurusin lomba-lomba ekskul mading. Lo harusnya lebih keras ke anak kelas dua."

Siang itu agak mendung, dan anak-anak di kelas tengah ribut membicarakan berbagai topik karena nihilnya penghuni meja guru sejak satu jam yang lalu. Neri juga pergi entah ke mana, sehingga Canda akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah kursi Tiara sambil menemani temannya itu merancang desain karton untuk lomba mading yang akan diadakan awal bulan depan. Sebuah earphone terhubung pada salah satu telinga mereka masing-masing, dan sepertinya hal itu cuma menambah pening kepala Canda karena suara alunan musik dari ponsel Tiara kalah dengan kericuhan anak-anak sekelas.

Tiara melirik Canda yang tengah meringkuk di kursinya dengan sweater yang digunakan sebagai bantal untuk meletakkan kepalanya di atas meja. "Keras ke siapa? Yang datang aja biasanya cuma si Lala."

Canda manyun. Rambutnya yang dicepol bergerak seiring dengan kepalanya yang dianggukkan pelan. "Iya, siiih. Yah, kalau gitu harusnya lo minta Lala ajak teman-temannya supaya mereka rajin datang!"

"Yah, nggak gampang juga, Can."

"Iya, sih."

Tiara mendengkus sambil menyentil kening Canda. Kemudian, ia pun kembali menggoretkan pensil ke atas kartonnya, dan mata Canda pun kembali bergerak mengikuti setiap pergerakan yang dibuat temannya itu.

Canda baru akan memejamkan matanya untuk tidur-tidur ayam ketika tiba-tiba pintu kelas terbuka dari luar. Seluruh pasang mata dalam kelas, tentu saja, langsung menoleh ke asal suara, karena selama beberapa menit terakhir sepertinya nggak ada anak sekelas yang pergi ke toilet.

Namun, yang menjengukkan diri di balik daun pintu bukanlah guru, atau lebih parahnya lagi kepala sekolah, melainkan Ariq.

Tapi, tetap saja hal itu nggak membuat anak-anak tenang, karena Ariq itu kan Einstein Sekolah, yang artinya dia pasti punya hubungan spesial dengan guru-guru! Canda, sih, nggak berpikir demikian. Cewek itu cuma sedikit berharap kalau Ariq datang karena—

"Uh, Canda ada?"

—dia.

Hening sejenak, sebelum akhirnya Juno membuka mulut sebelum Canda sempat berkedip. "Canda dipanggil guru?"

"Nggak."

"Oh? Terus, dipanggil sama siapa?"

"... Dipanggil sama gue."

Canda buru-buru bangkit ketika suasana tiba-tiba rusuh kembali, kali ini karena adanya drama singkat yang dipentaskan dua orang yang, ironisnya, paling nggak bisa akting di sekolah. Sambil melangkah cepat menuju ke arah pintu, Canda melepas cepolnya agar rambutnya menutupi wajah.

Siulan panjang Juno adalah hal terakhir yang terdengar dari dalam kelas sebelum Canda membanting pintu agar tertutup rapat.

Sayangnya, selama apapun gerakan Canda menutup pintu, cepat atau lambat dia tetap harus menghadapi Ariq. Jadi, setelah mengecek kerapatan pintu seenggaknya lima kali, Canda pun membalikkan tubuhnya untuk bertemu pandang dengan Ariq yang tengah menyengir ke arahnya.

Cowok itu, seperti biasa, kelihatan lembut banget. Rambutnya kelihatan halus, meskipun acak-acakan, dan meskipun seharusnya terlihat mengkhawatirkan, Canda merasa kantung mata Ariq lucu banget. Yah, intinya, Ariq kelihatan seperti Ariq yang biasanya, lengkap dengan hoodie-nya yang kali ini berwarna merah terang.

"Sori, gue jadi bikin heboh."

"Justru gue yang sori, teman-teman sekelas gue pada norak."

Ariq tertawa. Ia menunjuk ke arah salah satu bangku panjang yang terletak di depan kelas, dan Canda pun mengikuti langkahnya untuk duduk bersama. Tangan Canda refleks bergerak untuk menyisir rambutnya yang terasa berantakan seiring dengan langkahnya menuju bangku.

Sedetik setelah mereka duduk, tangan Ariq terjulur untuk menepuk pergelangan tangan Canda yang masih berada di rambutnya. "Udah cantik."

Canda megap-megap. Ia membutuhkan waktu untuk memproses semuanya dalam otak, dan untungnya Ariq memang nggak bermaksud untuk buru-buru. Cowok itu hanya menatap Canda dengan geli, dan Canda hanya bisa membalas tatapan Ariq selama beberapa sekon, sebelum akhirnya ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Apaan, siiih."

Ariq mengulum senyum, lalu ia pun menyodorkan buku paket Biologi-nya ke arah lawan bicaranya tersebut. "Nih."

"Hah? Maksudnya?" tanya Canda sambil menyisirkan rambutnya ke belakang supaya nggak menutupi mata. Pipinya masih bersemu, dan kalau Ariq menyadarinya, cowok itu nggak berkomentar apa-apa. "Neri mau pinjam buku lo?"

"Nggak. Lo aja yang pinjam."

"Kan gue punya sendiri ...?"

"Ambil aja."

Canda menautkan alis.

━━

Mata Ariq terasa panas dan berair akibat belum tidur, tapi cowok itu nggak merasa mengantuk sedikit pun. Di luar, hujan mengguyur kota Jakarta, dan selain cahaya dari fairy lights yang menempel bersama dengan para stiker dan poster di langit-langit kamar, nggak ada cahaya apapun lagi yang menerangi kamarnya selain lampu-lampu kota dari gedung-gedung pencakar langit lain di sekitar gedung apartemen tempat tinggalnya.

Dua hari lagi! Ariq nggak tahu apakah dia bersemangat karena akhirnya bisa juga mengunjungi airshow, atau karena dia bisa pergi bersama Canda. Atau mungkin, dia bersemangat karena dia pergi ke airshow bersama Canda. Iya, pasti begitu.

Ariq menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi ke dalam selimut. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping kasurnya, sebelum akhirnya jarinya bersentuhan dengan permukaan licin case ponselnya.

Setelah memastikan kalau cahaya ponselnya sudah diatur serendah mungkin, ia pun mematikan mode pesawat yang sejak tadi sore dinyalakannya agar lebih fokus belajar, karena hari ini Kak Dhafin datang lagi ke rumah untuk membahas materi-materi yang sebagian besar terlewat oleh Ariq di kelas pendalaman materi karena tertidur.

Ponsel Ariq bergetar-getar bagaikan sedang kejang selama semenit setelahnya. Pesan demi pesan menyerbu memenuhi gadget cowok itu — sebagian besar dari grup angkatan, dan beberapa di antaranya merupakan akun-akun yang mengirimkan pesan berisikan iklan. Oh, dan juga ada dua pesan dari Reza, dan juga empat buah pesan dari Canda.

Karena sejak kecil Ariq selalu diajarkan untuk mendahulukan prioritas, ia pun membuka pesan dari Canda terlebih dahulu.

Canda : ariq!

Canda : ini ada brosur.

Canda : di dalam buku biologi, maksud gue.

Canda : lo butuh, nggak? takut kebuang.

Ariq : hmm, coba lo lihat-lihat aja brosurnya.

Ariq : menurut lo tempatnya gimana?

Ariq mengerjapkan matanya, berusaha untuk menyingkirkan air yang sejak tadi terus muncul menggenangi matanya. Sepertinya, dia benar-benar harus tidur.

Ariq menunggu selama lima menit, dan ketika jam menunjukkan pukul satu tepat, cowok itu pun menyerah dan segera meletakkan ponselnya kembali ke nakas.

━━

130219

Impulsif (on revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang