Bab 11

1.5K 96 0
                                    

Sejak kejadian di Danau Beauwat, Jehna semakin menjadi pendiam. Pikirannya hanya sibuk dengan memikirkan Jack. Mulutnya hanya mengucapkan satu kata, Jack. Setiap malam ia selalu menangis histeris. Paginya ia bangun dengan wajah yang mengenaskan.

John merasa bahwa sudah saatnya ia memberikan surat yang diberikan Jack untuk Jehna. John mengetuk pintu kamar Jehna dengan pelan, kemudian ia membuka pintu itu.

Jehna sedang berbaring. Ia menatap langit-langit kamar, tapi tatapannya kosong. Matanya sembab dan bengkak. Hidungnya merah. Bibirnya pucat.

John menghentikan langkahnya saat melihat kondisi Jehna. Inikah saat yang tepat untuk memberikan surat itu kepada Jehna? Tapi, kalau bukan sekarang kapan lagi?

John berjalan ke arah Jehna dengan langkah yang pelan. Lalu ia duduk di atas kasur samping Jehna. Jehna tersentak, kemudian ia menatap John dengan tatapan datar. John tersenyum kecil, Jehna kembali menatap langit-langit kamarnya.

"Jehna..." panggil John. Jehna tidak menoleh. Tapi John tau ia sedang mendengar. "Lo.. baik-baik aja kan?"

Pertanyaan bodoh! Ya tentu saja Jehna sedang tidak merasa baik-baik saja. John mengernyitkan dahinya saat ia tau bahwa itu merupakan pertanyaan yang paling bodoh. Tapi kemudian ia melanjutkan lagi.

"Gue, ada sesuatu buat lo."

Jehna menoleh, lalu memiringkan kepalanya. John memberikan surat itu kepada Jehna. Jehna mengambilnya dengan pelan. Kemudian Jehna menatap nama itu. Hatinya langsung perih. Tubuhnya menjadi lemas.

"Ini..." suara Jehna sangat pelan. Seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap surat itu. Haruskah Jehna membuka surat ini?

Jehna menatap John. John menatapnya, kemudian John mengangguk. John bangkit dari duduknya, kemudian ditepuknya bahu Jehna dengan pelan. Dan ia pun melangkah keluar dari kamar Jehna.

Jehna kembali menatap surat itu. Kenapa rasanya susah sekali untuk membuka surat ini? Jehna menarik nafas, kemudian ia menghembuskan nafasnya dengan pelan. Tangannya, meskipun bergetar tetapi ia tetap memberanikan diri untuk membuka surat itu.

Hai Jehna,

Mungkin saat kamu membuka surat ini, kamu sudah jauh dari jangkauanku. Tapi, memang itu kenyataannya. Kamu memang sudah jauh dari jangkauanku. Aku sudah pergi jauh. Tidak ada kemungkinan lagi bahwa aku bisa datang dan menemuimu.

Tapi, percayalah. Aku selalu ingin menemuimu. Rasanya kalau tidak ada kamu, aku kehilangan sesuatu. Sesuatu itu adalah hal yang sangat aku butuhkan. Sesuatu itu adalah kamu. Aku baru menyadarinya sekarang. Sudah terlambat yah? Aku tau, aku memang bodoh.

Aku tidak hanya bodoh, tapi aku brengsek. Kamu sudah tau kan akan hal itu? Aku bodoh, karena tidak bisa mempertahankan perempuan yang aku cintai. Aku brengsek, karena membiarkan perempuan yang aku cintai disakiti.

Aku tidak akan pernah bisa memilikimu. Meskipun aku sangat ingin memilikimu. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin melihat perempuan yang aku cintai tersakiti lagi. Aku tidak sanggup.

Jehna, ada banyak hal yang aku ingin sampaikan kepadamu. Tapi aku rasa, itu tidak penting sekarang. Yang penting sekarang adalah, aku sudah pergi jauh dari kehidupanmu sehingga kamu bisa menjalani hidupmu seperti biasa.

Aku mohon. Jangan berubah. Aku masih ingin melihatmu tetap menjadi dirimu meskipun aku tidak bisa. Tapi aku ingin.

And for all of my mistakes, I'm sorry. I know those mistakes can't be forgotten, but I just need you to forgive me. I'm really really really sorry.

I love you.

Jack Xavier.

Dan saat itu juga, air mata Jehna langsung tumpah. Ia menangis dengan hati yang perih. Nafasnya terasa sesak. Jehna tidak ingin menangis. Ia ingin menghentikan tangisnya, tapi semakin dicoba, air mata Jehna semakin deras.

Beautiful in Its Time (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang