LVI

4 0 0
                                    

"Maneh kena kutukan rumah sakit! SERIUS!" Cita dan Wia menggeleng-gelengkan kepala mereka dengan takjub.

"Ada apa sih sama rumah sakit?" Fla mengurut-urut keningnya. Pening. "Harusnya itu rumah sakit tempat orang sembuh ya! Ini malah cari penyakit!"

Hari itu sudah hari ketiga Helqi harus pergi ke rumah sakit untuk Rena, karena kondisinya yang membaik semenjak Helqi datang, dokter menyarankannya untuk menjenguk lebih sering. Tentu saja demi kemaslahatan orang banyak (keluarga Rena dan Rena sendiri tentunya), Helqi terpaksa harus berkunjung sampai dokter benar-benar mengizinkan pulang.

"Bukan sama rumah sakit, kayanya kamu kena kutukan eijtwin." Wia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan serius bak detektif.

"Eij...twin...?" Cita dan Fla mengulang berbarengan.

"Haikal-Helqi." Wia menjentikkan jari telunjuknya. "Kamu kena kutuk si anak kembar, deh! Pasti. Kayaknya kisah cinta lo dulu ama Reyhan gak gini-gini amat."

Ketiganya mengangguk-angguk, seakan-akan teori Wia adalah teori paling masuk akal yang pernah terjadi pada alam semesta.

"Jadi si Helqi kenapa juga kudu nurut sama ortunya si Rena? Mun urang mah, ih, BHAY! (Kalau aku sih, BHAY!)" Cita mulai mengompori.

"Gimana enggak merasa bersalah, ya? Si Rena minum panadol dua strip karena stress gara-gara dia, ampir lewat tuh anak kalau aja engga buru-buru ketahuan." Fla menghela napas. Tidak habis pikir, kenapa bisa gadis itu begitu frustrasi hanya karena kesalah pahaman masa lalu.

"Ya Allah, kenapa sih Fla hidup kamu gak bisa biasa-biasa aja. Ketemu cowok ganteng, dua biji, identik pula! Trus mantan masa lalu jadi temenan." Cita menggeleng-geleng.

"Tapi dua-duanya bermasalah, dih! Cape gak sih?" Wia mengedikan kepalanya. "Aku mah mending gak punya pacar dari pada pusing."

"Emang maneh gak punya, kan!"

"GAK USAH DIUNGKIT YA!"

Lalu kedua jomblo itu mulai bertengkar sia-sia, karena jika salah satu menghina yang lain, hinaan itu malah kembali pada mereka juga. Yang tidak jomblo alias Fla malah jadi mikir, bener juga kata Wia, ya!

***

Fla sedang menggambar anteng sore itu. Semakin hari ia semakin rajin karena harus menyiapkan portfolio untuk seleksi FSRD ITB yang sudah semakin dekat tanggal pengumpulannya. Karena konteks kelasnya sudah bukan materi pelajaran, mereka semua tersebar di seluruh penjuru tempat bimbel. Ada yang mengerjakan di kantin, di halaman, di kelas, di lorong kelas, di ruang rapat, ada yang sambil berkonsultasi dengan para pengajar. Semua orang sedang sibuk, termasuk anak-anak yang akan mendaftar ke jurusan Arsitek.

Reyhan hari itu duduk bersama teman-temannya di ruang rapat sambil mengarsir gambar-gambar bentuknya. Sementara Fla bersama teman-temannya di lorong yang menghadap ke ruang rapat. Sebetulnya Reyhan mengajak Fla untuk mengerjakan portfolio bersama, tetapi mereka mengerjakan bagian yang berbeda. Jadi mereka memutuskan untuk bergabung dengan orang-orang yang mengerjakan bagian yang sama.

Reyhan sudah hampir selesai dengan arsirnya dan sedang menanggapi obrolan teman-temannya sampai tiba-tiba ia melihat Fla tiba-tiba berdiri dan berjalan menghilang dari pandangan. Entah kenapa Reyhan ikutan bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan. Ia akan mengajak Fla untuk beli minum sebentar di kantin. Tapi ia melihat Fla berjalan ke arah tempat parkir motor di luar. Reyhan berjalan perlahan mendekati Fla dari belakang. Terdengar suara gadis itu yang bicara dengan orang di seberang telepon.

"Oh... Iya. Gak apa-apa. Emang Rena masih belum baikan? ... Hmm. Iya. Gak kok, santai aja. Aku bisa pulang sendiri... ... ... Iya. Besok? Gak kemana-mana, sih. Mau ngerjain portfolio aja... ... Besok emang gak mesti nemenin Rena? ... ... Oh. Ya udah, gak apa-apa. Agak siangan aja, kamu nemenin dia dulu. ... Hm... Gak usah jemput, nanti kamu bolak-balik. Aku pergi sendiri aja... Iya beneran. Jam berapa? ... Oh, Sebelasan? Oke!" Fla terdiam sejenak dan menatap ponselnya. Ia segera berbalik untuk kembali ke dalam tapi ia memekik kaget karena tiba-tiba ada Reyhan di sana.

Reyhan menangkap Fla di kedua bahunya dan gadis itu membelalak kaget.

"Kenapa si Rena?" Reyhan mengernyitkan dahinya menunduk menatap Fla.

"Eh... um, Re. Sejak kapan kamu ada di sini?" Fla mundur dan melepaskan diri dari Reyhan.

"Jawab, La. Ngapain lagi si Rena?"

Fla menghela napas dan ia menarik Reyhan keluar parkiran. Reyhan pikir mereka akan ke kantin, tapi Fla malah mengajaknya berjalan keluar pagar dan berbelok ke jalan kecil di sebelah bimbelnya.

"Banyak orang kalau di kantin," Fla tersenyum lemas. "Kita jalan-jalan aja, yuk! Pegel gak sih tangan dipake ngarsir gambar terus?"

Reyhan, seakan terhipnotis dengan mata bulat Fla, mengangguk dan berjalan perlahan di sebelah Fla. Lalu ia menyimak dengan sungguh-sungguh, ya setidaknya ia berusaha menyimak dengan sungguh-sungguh. Karena cara Fla bercerita, cara dia menceritakan kekhawatirannya atas keadaan Rena, keadaan mental Rena, juga mental Helqi, Reyhan baru sadar kalau sisi Fla yang ini lah yang membuatnya dulu bisa jatuh cinta setengah mati padanya.

"Kamu gimana?" tanya Reyhan setelah Fla selesai dengan ceritanya dan mereka sudah hampir sampai di ujung jalan sepi itu.

"Gimana apanya?" Fla menatap Reyhan heran.

"Perasaan kamu gimana?" Reyhan  berhenti melangkah, ia tidak mau cepat-cepat kembali ke tempat bimbel. Fla ikut berhenti dan mereka kini berhadapan.

"Gak tahu." Fla menggigit bibirnya sambil melirik ke kiri dan kanan.

"Emang gak marah Helqi setia banget nungguin Rena di rumah sakit?" Reyhan memastikan.

"Kayaknya aku gak ada hak untuk marah, deh." Fla tersenyum pasrah.

"Helqi kan pacar kamu."

"Tapi Rena sampai kayak gitu karena Helqi, kalau Helqi gak boleh jenguk nanti dia makin gawat keadaannya," Fla menunduk, "aku gak tega."

Reyhan menatap tubuh mungil di hadapannya dan entah kenapa tiba-tiba ia pun merasa sakit. Seakan-akan Fla masih bagian dari dirinya juga. Lalu tanpa sadar ia meraih Fla dan merengkuhnya dalam dekapannya.


Way Back to YouWhere stories live. Discover now