XVII

24 0 0
                                    

Perkataan Cita memang ada benarnya. Sebelum semuanya jadi kacau, entah bagaimana, seharusnya Haikal bisa menetapkan status mereka. Suasana kacau yang bagaimana pun Fla tidak bisa memastikan. Dia hanya tahu, hidup nyaman itu tidak akan selamanya bertahan. Hidup adalah roda yang berputar, ketika ia sedang berada di zona nyaman berarti ia sedang berada di bagian atas. Sudah pasti dia akan mendapat bagian di bawah, dalam waktu dekat.

Bagaimana kalau tiba-tiba Haikal pindah sekolah? Atau tiba-tiba dia diajak pacaran lagi oleh Andah? Atau mungkin bahkan tiba-tiba Haikal menjauhinya? Bukan hal yang mustahil mengingat Reyhan pernah melakukan itu.

Keresahannya pun segera dia utarakan pada Cita dan Wia, yang jelas membuat kedua temannya jadi lelah sendiri. Fla ini ingin kepastian tapi tidak berani bertanya. Tetapi tentu saja saran Wia untuk menanyakan hal itu langsung pada Haikal sudah basi sejak lama. Buktinya Fla masih tetap dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

"Fla, Reyhan itu bukan tolok ukur. Dia ninggalin kamu bukan berarti semua orang bakal ninggalin kamu juga. Haikal yang tau kamu deket sama Reyhan malah santai, dia orang baik, Fla. Mungkin aja dia cuma nyari waktu yang pas." Cita tersenyum lemah.

"Kalau kamu enggak mau nanya langsung, ya udah! Kamu bikin suasana yang mendukung aja untuk si Haikal nyatain, atau pancing-pancing aja laaah kalau emang malu nanya langsung. Jangan mikir aneh-aneh duluan." Wia ikut menguatkan.

Tapi tentu saja pemikiran-pemikiran itu masih ada. Mudah saja mengatakannya tapi susah untuk dilakukan. Fla tersiksa dengan pemikirannya tetapi hanya bisa dipendamnya dalam hati, menunggu dirinya untuk siap dan berani menanyakannya pada Haikal... suatu hari nanti, dan berharap tidak akan ada dia yang harus memberanikan diri karena Haikal yang duluan maju.

Dan hari itu pun tiba, hari di mana Fla akhirnya meluncur terjun ke bawah. Ketakutan itu menjadi kenyataan, walau pun kenyataannya lebih menyeramkan dari yang ia bayangkan. Siang itu tiba-tiba teman Cita yang ada di kelas yang sama dengan Haikal menghampiri mereka sambil tergopoh-gopoh. Di belakang gadis itu mengikuti dua anak laki-laki yang Fla kenali sebagai teman sebangku Haikal dan teman dekat Haikal.

"Udah tau belum, Fla?" Prisil mengguncang lengan Fla.

"Ah? Apa?" Fla kaget karena tiba-tiba diserbu oleh tiga orang yang terlihat panik.

"Haikal! Tadi pagi dia kecelakaan pas mau ke sekolah!" Seru Bagas. "Sekarang katanya dia ada di rumah sakit deket sini, di Rumah Sakit Muhamadyah."

"Becanda jangan keterlaluan, Gas!" Cita menepuk lengan Bagas.

"Berita kayak gini masa kita bohong, Citaaaa?" Prisil duduk di sebelah Cita di bawah pohon kersen.

Fla seketika membeku. Telinganya seakan dimasuki air sehingga ia tidak bisa mendengar jelas penjelasan Bagas, Prisil dan Andra. Perkiraannya benar, sesuatu terjadi. Pasti selalu begini. Reyhan, juga Haikal. Semuanya pasti akan meninggalkannya pada akhirnya.

"Pulangnya ikut Bagas, Fla! Bagas mau ke sana sama anak-anak sekelas. Kamu ikut motor Bagas aja." Bagas mengguncang bahu Fla dan saat itu pula air mata Fla jatuh.

"Eeeh jangan nangis dulu! Pasti gak apa-apa kok, si eta mah! Budak baong mah sok salamet wae (anak nakal mah selalu selamat)!" Bagas dan yang lainnya segera menghibur Fla. "Makanya nanti pulang sekolah ikut aja sama Bagas."

Sepanjang hari itu dia tidak bisa fokus belajar. Bahkan bimbel hari ini pun sepertinya dia tidak akan mampu ikuti. Kalau pikirannya kacau mana bisa dia konsentrasi? Sepulang sekolah pun dia langsung ngacir menuju IPA 1, kelas Haikal. Bagas dan dua orang temannya, ketua kelas dan Prisil sebagai sekretaris kelas, sudah menunggu Fla. Mereka langsung tancap gas menuju rumah sakit.

Di jalan, Bagas menjelaskan kalau ada wali kelas dan wakil kepala sekolah yang sudah duluan menjenguk. Mereka, Bagas, Prisil dan Ketua Kelas hanya sebagai perwakilan kelas untuk mengetahui keadaan Haikal dan menunjukkan mereka peduli. Fla terdiam di jok belakang motor Bagas dan sesekali meneteskan air mata.

Ketika mereka sudah sampai, mereka disambut wali kelas dan ibunya Haikal yang sedang bicara pelan di depan sebuah pintu. Mereka memperkenalkan diri dan Bagas mendorong Fla maju.

"Tante, inii... e... temen deket Haikal juga." Bagas memperkenalkan Fla dan Fla pun tersenyum dengan canggung dan mengulurkan tangan untuk sun tangan.

"Oooh, ini Flarisia ya? Haikal pernah cerita." Ibu Haikal tersenyum lemah dan menyambut uluran tangan Fla dan mengusap punggung gadis itu dengan lembut. "Semoga Haikal cepet bangun, ya! Dia pasti seneng liat Fla ada di sini."

Fla langsung merasa pipinya bersemu di saat yang tidak tepat. Lalu sekali lagi Ibu Haikal menjelaskan keadaan dan kronologi kecelakaan menurut saksi. Tidak ada yang spesial, hari itu Haikal hanya sedang tidak beruntung. Karena hujan semalam membuat jalanan basah dan licin. Haikal hanya sedang tidak beruntung, karena saat dia kepleset di jalan, mobil di sebelah kanannya sedang melaju kencang. Mobil itu juga yang segera membawa Haikal ke Rumah Sakit. Ibu Haikal menunjuk seorang pria duduk dengan lesu tak jauh dari mereka dan menjelaskan bahwa pengendara itu menolak pulang sebelum tahu keadaan Haikal.

Ketika mereka sedang berdiam diri, meresapi semua cerita Ibu Haikal, tiba-tiba pintu lift terbuka tak jauh dari mereka.

"Haia! Mana Haia!" Suara ribut memenuhi ruangan.

"Ssst! Andah! Gak boleh berisik!"

"Tante! Tante! Mana Haia!"

"Eh... Andah?" Ibu Haikal terpana.

Fla, Bagas, Prisil dan ketua kelas terpana, membeku saking kagetnya.

"Ini salah Andah, Tante. Andah enggak tau Haia jadi gini!" Andah menangis tersedu-sedu, temannya yang menemani di sebelahnya langsung memeluk bahu gadis itu sambil menenangkan.

"Lho, Andah bukannya udah putus sama Haikal?" Ibu Haikal bertanya bingung.

"Engga. Kita gak pernah putus, Tante."


Way Back to YouOnde histórias criam vida. Descubra agora