26

12.2K 1.3K 56
                                    

"Mabk, jangan beres-beres dulu adek masih tidur," ucap Zain pada wanita yang biasanya datang setiap pagi hari untuk membersihkan rumahnya.

"Adek? Adek siapa?" tanya wanita itu menatap Zain dengan raut wajah bingung, setahunya anak majikannya hanya satu kecuali anak angkatnya ada tiga. Tapi bisanya tidak masalah jika mereka masih tidur dirinya membersihkan rumah.

"Adek baru aku, anak baru Bapak" jelas Zain yang membuat wanita itu terkejut bukan main.

"Bapak udah nikah? Kapan? Kok mbak gak di kasih tau, terus kenapa kemarin-kemarin gak bilang. Kalau bilang kan hari ini mbak masak-masak buat kalian semua"

"Mana mau Bapak nikah lagi, itu anak kemarin di kasih sama sahabatnya Bapak, Mbak" ucap Zain dengan wajah serius.

"Masih bayi?"

"Gak, udah gede udah bisa di ajak main. Nah itu adek udah bangun" tunjuk Zain pada Kara yang berjalan ke arahnya.

"Selamat pagi," sapa Zain tersenyum lembut pada Kara yang sepertinya nyawa anak itu belum kumpul sepenuhnya.

"Aku udah terlambat pergi ke sekolah, aku mau pulang," ucap Kara melihat ke sekelilingnya mencari pintu keluar.

Zian bangkit dari duduknya lalu menarik tangan Kara dengan lembut, memintanya untuk duduk di sofa. "Baru pulang dari rumah sakit, gak usah mikirin sekolah dulu. Kita sarapan dulu habis itu minum obat, nanti kalau udah benar-benar sehat baru sekolah," ucapnya dengan lembut mengusap rambut Kara.

"Aku udah lama bolos sekolah, nanti gak naik kelas lagi,"

"Gini ya, soal naik kelas itu gampang. Yang penting sekarang kamu sehat dulu baru mikirin yang lain, emang kamu mau di rawat lagi di rumah sakit?"

"Tapi aku gak sakit" balas Kara menatap Zain.

Zain menarik lengan Kara lalu menaikkan lengan baju Kara. "Ini namanya sakit, walaupun gak ada rasanya tapi tetap aja harus di obati. Kalau luka-luka ini belum hilang tandanya kamu masih sakit,"

"Harus hilang semua?"

"Iya, harus, kalau gak nanti jadi infeksi. Dan kalau bakteri itu sampai ke tulang kamu tangan kamu di amputasi, terus sekolah gak bisa nulis lagi," ucpa Zian dengan lembut.

"Nanti kalau gak naik kelas aku harus tinggal di asrama, aku masih mau tinggal sama Ayah sama Ibu. Gak mau tinggal di asrama," ucpa Kara menundukkan kepalanya.

"Nanti aku bantuin biar naik kelas, tapi sekarang harus nurut dulu. Ini gak boleh basah terus, harus minum obat tepat waktu dan gak usah mikirin sekolah dulu. Nanti kalau udah benar-benar sembuh aku bantuin biar kamu naik kelas," ucap Zian tersenyum lembut.

"Bisa-bisanya kamu masih mau tinggal sama mereka, kalau aku yang di posisi kamu. Udah minggat dari dulu, aku gak tau yang kamu pikirkan itu apa Kar, tapi aku janji bakal bantuin kamu sampai kamu dapetin apa yang kamu mau," batin Zain terus menatap Kara yang hanya diam menundukkan kepalanya.

"Oh, iya aku lupa. Kenali ini Mbak Muti, Mabk kenalin ini adek aku. Namanya Kara," ucap Zian mengalihkan perhatian Kara.

Kara menoleh ke sampingnya, dia mengulurkan tangannya pada wanita yang berdiri di sana. "Kara, salam kenal"

"Salam kenal, adek suka sarapan apa? Biar Mbak buatin spesial buat adek," ucap Muti tersenyum ramah pada Kara.

Kara menoleh pada Zain, dia tidak pernah di tanya ingin sarapan apa. Karena biasanya semua makanan untuk dirinya sudah tersaji di meja makan, suka tidak suka itu adalah menu sarapannya dan harus di makan tanpa adanya penolakan.

"Kamu suka roti bakar?" tanya Zain yang di jawab anggukan kepala oleh Kara.

"Roti bakar aja Mbak tiga, Mbak juga sekalian bikin nanti kita sarapan bareng-bareng," ucap Zain.

"Oke, Mabk bikini dulu ya. Abang sama adek tunggu di sini sebentar. Gak lama" ucap Muti segera pergi ke dapur, membuat sarapan untuk anak majikannya.

"Kita nunggu sambil nonton tv ya, biar gak bosen," ucap Zain.

"Boleh?" tanya Kara menatap Zain yang tengah menghidupkan televisi.

"Boleh, di sini boleh apa aja yang kamu mau. Bebas gak ada ngelarang gak ada yang marah, jangan takut di sini gak akan ada yang marahin" ujar Zain memberikan remote tv pada Kara.

Kara mengambil remote tv dari tangan Zain. "Terima kasih," ucapnya lalu beralih duduk di atas karpet.

"Cuma di bolehin nonton tv pagi-pagi udah keliatan seneng banget, kaya habis dapat hadiah mewah. Sayangnya kamu malah di takdirkan hidup sama keluarga yang aneh dan gak bersyukur. Keluarga yang mementingkan kehormatan dan harus menjadi yang terbaik," batin Zain lalu duduk di sebelah Kara. Dengan antusias Zain menanyakan tentang tayangan kartun di tv, ternyata Kara cukup tahu tentang kartu itu dengan senang hati Kara pun menjelaskan tentang alur cerita dari kartun tersebut.

................

Anka baru saja turun ke bawah untuk sarapan pagi, dia menghentikan langkahnya ketika melihat meja makan yang kosong tidak ada satupun orang di sana.

"Kara belum bangun?" monolognya lalu kembali ke atas, menuju kamar adiknya.

Sampai di depan pintu kamar adiknya, Anka membuka pintu kamar depan pelan-pelan. Pemandangan pertama yang di lihatnya adalah kamar yang gelap gulita, Anka menyalakan lampu. "Kamarnya masih rapi, gak mungkin udah berangkat sekolah kan?" gumamnya lalu keluar dari kamar adiknya.

Anka menju kamar tamu di mana Zain tidur di sana, tanpa basa-basi Anka langsung masuk ke dalam kamar. "Berengsek!" umpatannya lalu keluar dengan membanting pintu kamar.

Dia pikir ucapan Zain yang katanya ankn membawa adiknya pergi dari rumah dengan cara apapun itu bohong, ternyata Zain memang benar-benar membawa adiknya kabur dari rumah.

Anka berjalan keluar dari rumah lalu meminta sopir pribadinya untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana Raka bekerja. "Pak lebih cepat lagi, aku harus buru-buru sampai rumah sakit sebelum Om Raka pulang," ucap Anka pada sopirnya.

Pria itu menuruti perintah anak majikannya, menambah kecepatan mobilnya. Sampai di rumah sakit Anka turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.

"Om Raka" panggil Anka pada Raka baru saja keluar dari lift.

"Anka, kamu ngapain di sini? Kara sakit lagi? Atau kamu yang sakit?" tanya Raka menghampiri anak sahabatnya itu.

"Zain bawa kabur Kara, dia pasti ada di rumah Om. Aku gak tau rumah Om di mana jadi aku ke sini" ucpa Anka.

"Anak itu ada-ada aja ulahnya," gumam Raka lalu mengajak Anka untuk duduk agar tidak menghalangi jalan.

"Nanti Om yang urus Zain, tapi bukannya kamu sama Ayah Ibu kamu minggu ini ada acara keluarga ya?" tanya Raka dengan lembut.

"Aku gak ikut," jawab Anka menepis tangan Raka yang menyentuh rambutnya. "Balikin adek aku Om"

"Gak mungkin kamu gak ikut, kamu pasti ikut. Jadi buat sementara Kara biar sama Om dulu, kasihan kan dia baru aja keluar dari rumah sakit udah di tinggal sendirian di rumah."

"Aku bisa temenin Kara, jadi ayo pulang aku mau jemput adek aku. Sekarang,"

"Hari ini jadwal kamu cek up ke rumah sakit,  sore ini Kara juga harus cek up ke rumah sakit. Rumah sakit kalian itu beda, dan gak mungkin Ayah sama Ibu kamu mau ngalah salah satu buat temenin Kara," ucap Raka mencoba memberikan pengertian pada Anka.

"Aku bisa cek up lain kali, yang aku mau adek aku balikin sekarang" tegas Anka menatap Raka penuh dengan amarah.

"Ayah sama Ibu kamu udah beli tiket dan udah atur jadwal kamu cek up ke luar negeri selama tiga hari. Dan momen itu juga akan di manfaatkan untuk berkumpul dengan keluarga besar Ayah kamu, di sini Om cuma mau batu kamu biar Kara gak kesepian di rumah, dan ada yang temenin Kara cek up" jelas Raka agar anak itu tidak salah paham.

"Ayah kamu cuma beli tiket pesawat untuk tiga orang, yaitu untuk kamu Ibu kamu dan Ayah kamu sendiri. Om tau itu semua karena Ayah kamu sendiri yang bilang kemarin malam, setelah kita selesai makan malam" sambungnya lagi.

"Semoga aja paham, karena gak mungkin juga aku minta Zain buat balikin Kara sekarang. Yang ada anak aku ngamuk-ngamuk, iya kalau cuma marah-marah doang kalau sampai kabur. Aku juga yang repot," batin Raka berharap anak sahabatnya itu mau meminjam adiknya sebentar pada Zain.

KARA Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz