13

13.4K 1.1K 29
                                    

Plak!!

Sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipi Kara. "Apa lagi yang kamu lakukan Kara? Berantem sama siapa lagi kamu?" marah Banu yang baru saja menemui kepala sekolah Kara.

Dia mendapatkan laporan jika anaknya baru saja berkelahi dengan teman sekelasnya dan membuat anak itu mendapatkan banyak luka karena ulah Kara.

"Dia yang mulai duluan Yah" bela Kara pada dirinya sendiri, tapi memang apa yang di katakan itu benar. Anak itu yang memulainya dulu, bahkan keadaan dirinya juga sama dengan anak itu.

"Dia mulai duluan? Apa setiap hari dia cari ribut sama kamu duluan? Minggu ini udah tiga kali aku datang ke sekolah mu hanya untuk mengurus mu. Apa kamu pikir pekerjaan ku hanya mengurus mu setiap hari?" kesal Banu menatap tajam anaknya yang menundukkan kepalanya.

"Aku menyekolahkan mu bukan untuk menjadi bajingan! Aku membayar sekolah mu agar kamu belajar buka menjadi berandalan seperti ini"

"Maaf" lirih Kara tetap menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap Banu yang tengah marah pada dirinya.

"Maaf mu itu gak berguna, yang ku inginkan kamu berhenti membuat ku malu. Contoh saudara kembaran kamu Anka, dia gak pernah buat Ayah sama Ibu malu Kara. Gak kayak kamu. Setiap hari ada aja masalah yang kamu buat"

"Anka juga pernah berantem sama teman sekelasnya Yah, tapi Ayah gak marahin dia. Ayah sama Ibu malah marahin teman Anka" ucap Kara memberanikan dirinya untuk menatap Ayah-nya.

"Itu karena Anka gak salah, karena udah jelas yang salah temannya sedangkan kamu udah jelas salah tapi gak mau di salahin. Padahal udah jelas banyak yang lihat kalau kamu yang salah" balas Banu.

Kara tersenyum tipis pada Banu lalu kembali menundukkan kepalanya. "Aku cuma punya Ayah Ibu sama Anka, kalau kalian udah gak percaya aku gak bisa apa-apa Yah" ucapnya dengan meneteskan air matanya.

"Itu karena kamu bodoh, kamu mau mendapatkan yang seperti Anka? Maka kamu harus satara dengan Anka. Jangan hanya bisa membuat malu, semua anak-anak yang sekolah di sini pun tau kamu lah murid paling bodoh di sini" ucap Banu lalu masuk ke dalam mobilnya.

"Hari ini jam les mu di tambah satu jam. Pulang ke rumah sebelum jam makan malam atau kamu tidur di luar" ucapnya lalu pergi meninggalkan Kara begitu saja.

"Siapa yang nyuruh lo tidur di kasur gue! Turun anjing gue jadi kegencet nih" teriakan Kara menyadarkan lamunan Banu, yang sejak semalam tidak bisa tidur memikirkan kondisi anak bungsunya.

Anka yang terbangun karena suara teriakan adiknya pun segera turun dari ranjang pasien. "Mana yang sakit?" khawatir Anka memeriksa seluruh tubuh adiknya.

Plak

"Ngapain lo tidur di tempat tidur gue?" sungut Kara menepis tangan Anka.

"Kenapa ribut-ribut? Ini masih pagi, semalam Ibu yang nyuruh Anka tidur di kasur kamu" sahut Naira yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Tempat tidurnya kan muat buat bertiga, makanya Ibu suruh Anka tidur di situ. Kasihan kalau tidur di sofa gak enak" sambungnya lagi.

"Gue tidur di teras enak-enak aja, asal ngantuk merem aja tuh" gumam Kara yang masih bisa di dengar oleh Anka.

"Mau ke mana?" tanya Banu bangkit dari duduknya mendekati ranjang anaknya.

"Mandi mau sekolah, mumpung masih gelap bisa pulang buat ganti baju" jawab Kara lalu mencabut infusnya dengan seenaknya sendiri.

"Kara!" bentak Banu mamah tangan anaknya.

"Panggil dokter" titah Banu pada Anka.

Anka segera memencet tombol yang ada di dekat ranjang Kara untuk memanggil dokter. "Duduk diem, tangan kamu jadi berdarah gitu" ucap Anka menarik berberapa lembar tisu lalu membersihkan darah yang keluar dari tangan adiknya.

"Cuma darah doang yang keluar, gak usah lebay. Sakit aja gak" ucap Kara menyingkirkan tangan Anka.

"Awas aku mau ke kamar mandi"

"Biar Ibu bantu ke kamar mandinya" ujar Naira membantu anaknya berjalan menuju ke kamar mandi.

"Gak usah Bu, aku bisa jalan sendiri" tolak Kara melepaskan genggaman tangan Naira.

Ceklek

Suara pintu di buka dari luar mengalihkan perhatian mereka. "Selamat pagi dokter" siap Kara tersenyum manis pada dokter Sarah dan dua suster yang masuk ke ruang rawatnya.

"Pagi Kara" ucap dokter Sarah tersenyum ramah pada keluarga pasiennya.

Kara berjalan mendekati ranjangnya lalu duduk di tepi kasur, apa yang di lakukan Kara membuat keluarganya cukup terkejut. Apa lagi dengan sikap manis Kara dengan dokter Sarah.

Dokter Sarah yang di bantuan suster untuk kembali memasangkan infus Kara yang terlepas, selesai memasangkan infus anak itu. Dokter pun memeriksanya.

"Kamu tau, kalau melepas infus secara paksa biasa membuat tanganmu terluka. Jika di biarkan lukanya akan terinfeksi dan bakteri masuk ke dalam tubuh mu. Dan yang lebih berbahaya tangan mu bisa saja di amputasi karena bakteri" ucap dokter Sarah setelah selesai memeriksa Kara.

"Aku bukan anak kecil, mana bisa di tipu dengan cara itu dok" balas Kara.

"Yang di bilang dokter itu benar, gak bohong" sahut Anka.

"Kamu bukan dokter, jangan sok tau" ucap Kara sekilas menoleh ke arah Anka.

"Dokter kapan aku bisa pulang?"

"Nanti setelah kondisi mu pulih, kamu boleh pulang untuk sekarang kamu masih membutuhkan perawatan dan pengawasan dari rumah sakit" jawab dokter Sarah.

"Aku baik-baik aja dok, gak ada yang sakit juga. Jadi ngapain lama-lama di sini aku maunya pulang hari ini"

"Kalau mau cepat pulang harus nurut apa kata dokter, kalau di bilangin tuh jangan ngeyel biar cepat sembuh" ucap Anka mendekati ranjang adiknya.

"Saya permisi dulu, nanti sarapan Kara di antara ke sini" ucap dokter lalu keluar dari kamar rawat Kara.

Banu mendekati ranjang Kara lalu duduk di kursi samping ranjang. "Kamu udah sering ketemu dokter Sarah?" penasaran Banu yang memperhatikan keakraban dokter Sarah dengan anaknya.

"Lumayan sering, kamarin malam sama barusan ketemu" jawab Kara tanpa melihat ke arah Banu.

"Ayah gak bercanda Kara, kamu udah sering ketemu sama dokter Sarah?" tanya Banu membalikkan tubuh anaknya agar menghadap kearahnya.

"Satu tahun yang lalu, aku pernah ketemu sekali"

"Jangan bohong"

Kara tersenyum tipis menatap Banu. "Ayah aneh, Ayah kan gak pernah percaya sama aku. Jadi mau aku bohong atau juru buat Ayah sama aja, aku tetap salah" ucapnya melepaskan tangan Banu yang mencengkram lengannya dengan keras.

"Dulu aku ketemu dokter Sarah di rumah sakit kecil, dan sekarang ketemu lagi pas dokter Sarah udah tugas di rumah sakit besar. Gak salah dong kalau aku nyapa dokter? Apa buat Ayah itu salah juga?"

Tanpa menjawab pertanyaan anaknya, Banu keluar dari kamar rawat Kara. Dia mendudukkan dirinya di kursi tunggu, mengusap wajahnya dengan kasar. Mengingat kembali apa yang di katakan dokter semalam, dah hal apa saja yang sudah dia lewatkan tentang anak bungsunya.


KARA Where stories live. Discover now