22

13.1K 1.3K 93
                                    

"Kita bicara bukan lagi seorang dokter dengan orang tua pasien. Tapi seorang sahabat," ujar Raka menatap Banu yang duduk di depan meja kerjanya.

"Kamu tau apa yang terjadi sama Kara, kamu sama Naira bilang ingin dia sembuh. Tapi mana? Perlakuan kalian sama aja gak ada bedanya dari dulu sampai detik ini." kesal Raka pada sahabatnya.

Entah apa yang Banu dan Naira pikiran, sampai mereka tidak bisa merubah sikapnya pada anak bungsunya, bahkan tadi mereka tega meninggalkan anak itu sendiri di rumah sakit dan mereka pergi ke kantor untuk mengurus pekerjaan mereka berdua.

"Aku tau udah jadi tradisi di keluarga kamu, kalau anak-anak di tuntut untuk menjadi yang terbaik dari anak-anak lain. Tapi dulu kamu ngerasain sendiri gimana stresnya di tuntut ini itu, harusnya kamu belajar dari masa lalu kamu dan kamu seharusnya gak nuntut ini itu sama anak kamu,"

Raka bangkit dari duduknya lalu memberikan selembar kertas hasil lab milik Kara. "Biar aku perjelas kalau kamu masih mempermasalahkan kecerdasan anak kamu. Dalam kasus yang di alami Kara, gangguan kecerdasan dan kesulitan mengontrol buang air kecil atau besar itu di sebabkan karena kelainannya dan itu karena penyakit dia sendiri. Dalam hal ini seharusnya kamu bersyukur Kara bisa bertahan sampai sekarang ini, karena kebanyakan akan meninggal di saat masih bayi,"

"Berikan pada ku, jika kamu dan istri mu gak mau ngerawat dia. Aku ganti semua biaya selama kamu ngerawat dia, dengan syarat setelah semuanya lunas jangan pernah ketemu Kara lagi. Selamanya" ucap Raka yang membuat Banu menatap tajam ke arahnya.

"Apa maksud mu berengsek!" marah Banu bangkit dari duduknya lalu mencengkram kerah kemeja Raka.

"Kamu yang berengsek, buat apa kamu pertahankan Kara kalu ngurus dia aja gak bisa. Yang ada di otak kamu cuma Anka," ucap Raka melepaskan tangan Banu.

"Kamu gak tau apa-apa, dan kamu itu gak paham-"

"Apanya yang gak paham? Semuanya udah jelas Banu kalau Anka yang sakit keluarga kamu keluarga Naira ikut khawatir, bahkan mereka bergantian nginap di rumah sakit buat jagain Anka. Beda sama Kara yang sakit, baru keluar dari rumah sakit aja kamu biarin dia pergi ke sekolah dan berakhir dia balik lagi ke rumah sakit. Kamu nyalain Kara, padahal yang salah itu kamu buakn dia." sela Raka yang sudah bosen dengan alasan Banu yang menurutnya tidak masuk akal.

Apa susahnya dia merubah sikapnya pada Kara, bukankah Kara dan Anka sama-sama anaknya. Mereka anak kembar, darah dagingnya sendiri tapi memperlakukan kedua anak itu dengan cara yang berbeda.

"Aku gak tau yang di otak kamu itu isinya apa, kamu sama Naira sama aja. Orang tua yang gagal percuma punya banyak uang, punya nama yang terpandang. Ngurusin anak aja gak bisa, sekarang keluar dari ruangan aku. Bisa gila lama-lama kamu di sini" usir Raka lalu berjalan mendekati pintu, membuka pintu ruangannya dan mempersilahkan Banu untuk keluar.

Banu berjalan keluar dari ruang Raka, sebelum Banu benar-benar meninggalkan ruangannya. Dokter Raka menahan tangannya, "Kapan aku bisa jemput anak ku pulang ke rumah? Kebetulan anak pertama aku udah minta adek dari lima tahun yang lalu tapi sayangnya istri aku udah gak bisa kasih adek buat dia. Jadi secepatnya kamu atur waktu biar aku-"

Bugh

Banu melayangkannya pukulannya pada sahabatnya lalu mencengkram kerah kemeja Raka. "Jangan mimpi sialan" umpatannya lalu melepaskan cengkraman dengan kasar, meninggalkan ruangan Raka begitu saja.

Raka mengusap sudut bibirnya. "Lo yang sialan, anjing sakit juga. Astaghfirullah ada yang dengar gak? Dokter gue bisa-bisanya ngomong anjing," monolog Raka memperhatikan sekelilingnya mana tahu ada suster atau dokter lain yang mendengar ucapannya.

..........

"Kamu belum ngantuk? Udah jam berapa ini, kamu dari tadi udah nonton tv, gak bosen?" tanya Anka ambil menahan kantuknya. Sejak tadi dia meminta adiknya untuk istirahat dan tidur tapi adiknya sama sekali tidak menanggapi ucapannya.

"Lihat tuh, Ibu aja udah ngantuk," tunjuk Anka pada Naira yang tertidur di sofa panjang.

"Ya tinggal tidur aja, ngapain nungguin gue," ucap Kara tanpa mengalihkan perhatiannya.

Anka bangkit dari duduknya lalu bersiap naik ke atas kasur, namun minatnya itu dia urungkan ketika adiknya menatapnya dengan mata melotot. "Mau ngapain lo?"

"Katanya suruh tidur, ya Abang mau tidur sini lah,'' jawab Anka menepuk tempat tidur sebelah adiknya.

"Lo bisa pulang tidur di rumah, kalau mau tidur di kasur," balas Kara lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada tayangan tv di hadapannya.

"Kenapa? Kamu gak suka?"

"Gak, gue gak suka. Sana jauh-jauh gue gak mau dekat-dekat sama lo, gue mau sendiri." tegas Kara mengibaskan tangannya meminta Anka untuk pergi.

"Aku minta maaf-"

"Gak mau, sana pergi aku gak mau," usir Kara menatap Anka yang berdiri di samping ranjangnya.

Anka yang tidak perduli dengan penolakan adiknya, dia pun memaksa untuk naik ke atas ranjang.

Apa yang di lakukan Anka tentu tidak membuat Kara diam, anak itu mengambil buah yang ada di atas meja. Memukulkan buah pir itu pada kepala Anka.

"Aaa! Sakit Kara." teriak Anka membuat Naira terbangun sendiri tidurnya, dan bersamaan dengan Banu yang baru saja membuka pintu kamar rawat.

"Kenapa/ Ada apa?" tanya keduanya bersamaan, mereka segera menghampiri kedua anaknya.

"Turun," ucap Kara mendorong tubuh Anka agar segera turun dari atas kasurnya, dia tidak perduli dengan tatapan tajam dari kedua orang tuanya.

"Kara" tegur Naira menahan tangan Kara yang terus mendorong tubuh Anka. "Kamu kenapa sih? Udah malam jangan bikin masalah,"

"Bukan aku yang kenapa? Tapi Anka yang kenapa? Aku gak salah," ucap Kara mendongakkan kepalanya menatap Naira dan Banu.

"Udah malam tidur" pungkas Banu lalu mematikan tv, lalu meminta Anka untuk turun dari kasur. "Tidur di sofa, atau kamu mau pulang?"

"Aku tidur di sofa aja Yah" ucap Anka berjalan mendekati sofa panjang yang ada di ruangan tersebut.

"Itu selimut punya gue, kenapa ada sama lo? Lo nyolong di kamar gue?" ucap Kara menatap Anka yang dengan seenaknya mengambil selimutnya tanpa seizinnya dari dirinya.

"Pinjam sebentar, aku ambil di tempat jemuran mana tau kalau punya kamu." bohong Anka, dia tidak mengambil di tempat jemuran melainkan di kamar pemilik selimutnya.

"Bohong, gue gak nyuci hari ini. Gue juga belum pulang hari ini, lo maling di kamar gue-"

"Kara Anka, cukup" sela Banu menatap tajam kedua anaknya. "Cuma selimut doang di permasalahin, maunya apa sih? Udah tengah malam gak malu ribut-ribut di rumah sakit?"

Anka melipat selimutnya lalu mengembalikannya pada adiknya. "Iya aku ambil di kamar kamu tapi pas pulang," ucap Anka tersenyum lembut.

Kara mengambil selimutnya dari tangan Anka dengan kasar. "Lain kali jangan ambil barang orang tanpa izin, itu namanya maling,"

"Iya aku minta maaf, lain kali izin dulu sama kamu" balas Anka tersenyum tipis, mengingat ucapannya dulu pada adiknya. Sama persis tapi dengan nanda yang berbeda, ternyata cukup menyakitkan hati meskipun dengan nanda yang bicara halus.

"Baju kotor yang ada di kamar kamu, tadi aku minta Bibi buat tolong cuciina"

Kara menghela napasnya, menatap sinis pada Anka. "Ada lagi?"

"Aku minta kamar kamu di beresin, karena berantakan tadi pas aku lihat"

Ucapan Anka membuat Kara tersenyum. "Yang taruh barang-barang gak kepakai kan lo, katanya kamar lo sempit makanya lo taruh di gunung. Mainan lo yang dari jaman lo SD juga masih ada di sana," ucap Kara membaringkan tubuhnya, memeluk selimutnya lalu memejamkan matanya.

KARA Where stories live. Discover now