21

13.4K 1.3K 63
                                    

Pagi-pagi sekali Bianca datang ke rumah sakit untuk menjenguk sepupunya yang sedang sakit. Bianca duduk di kursi samping ranjang Kara, memperhatikan Kara yang sedang menikmati sarapan paginya.

Kara yang merasa sejak tadi di perhatikan pun menghentikan kegiatannya sejak lalu beralih menatap Bianca. "Kenapa? Mau?" tawarnya yang di jawab anggukan kepala oleh Bianca.

"Mau, suapin tapi" jawab Bianca menarik kursinya agar lebih dekat dengan Kara.

"Panggil Abang dulu, baru aku kasih" ucpa Kara tersenyum lembut pada Bianca.

"Dih, beda sebulan aja minta di panggil Abang. Ogah gue, mending gak usah nawarin kalau gak niat ngasih" ucap Bianca memalingkan wajahnya.

"Beda sebulan itu lumayan lama, yang beda semenit aja minta di panggil Abang. Tapi kalau gak mau ya udah gak pa-pa aku makan sendiri, ini enak banget loh.... Yakin gak mau coba?"

Bianca menghela napasnya lalu bangkit dari duduknya. "Ehh... Mau ke mana?" cegah Kara menahan tangan Bianca.

"Pulang" ketus Bianca melepaskan genggaman tangan Kara.

"Kamu di marahin Papa lagi?" tanya Kara menarik tangan Bianca untuk duduk di tepi kasurnya. "Kenapa lagi? Coba ceritain jangan marah-marah gitu, nanti gak cantik lagi. Masa adeknya Kara jadi jelek gitu"

"Aku cuma pulang terlambat Papa malah ngomel sepanjang hari. Yang dulu-dulu pake acara di ungkit lagi, kan kesal jadinya"

"Emang terlambatnya sampai jam berapa?"

"Dua malam-"

Plak

Kara memukul lengan Bianca dengan pelan, membuat Bianca menatap Kara dengan mata berkaca-kaca yang di buat-buat gadis itu. "Jahat, hiks Mama lihat aku di pukul sama Abang," drama Bianca dengan pura-pura menangis pun membuat Anka jengah melihatnya.

"Kapan lo balik?" suara Anka mengalihkan perhatiannya mereka berdua.

"Habis di suapin Abang sarapan gue baru balik, iya gak Bang?" jawab Bianca tersenyum mengejek Anka.

"Lo di suruh pulang sama bokap lo sekarang" tegas Anka menarik tangan Bianca, namun Kara lebih dulu menahan tangan Bianca.

"Lo kenapa sih? Kalau gak suka tinggal keluar aja" ucap Bianca menepis tangan Anka. "Abang, Aaa mau makan itu" pinta Bianca menunjuk roti di tangan Kara.

Dengan senang hati Kara menyuapi Bianca dengan roti miliknya. "Sekalian buburnya mau gak?" tawanya tersenyum lembut pada Bianca.

"Gak, gak suka kecuali buburnya di ganti nasi padang atau nasi rendang" balas Bianca.

"Lo kalau lapar tuh pulang sana makan di rumah atau gak beli" ucap Anka menatap tak suka pada sepupunya.

"Suka-suka gue lah mau makan di mana. Kok lo yang ribut Kara yang gue mintain makanannya aja santai aja," balas Bianca lalu bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Anka.

"Gak semua orang itu bisa hidup enak kaya lo menikmati kekayaan orang tua, jadi anak paling pintar satu sekolah. Paling di sayang di mana pun lo berada, lah gue. Nilainya turun satu aja udah di bahas setiap hari. Sepuluh tahun kemudian juga bakal di bahas terus." ucapnya lalu melangkahkan kakinya meninggalkan ruang rawat Kara.

Kara menyandarkan tubuhnya di kasurnya lalu menatap Anka yang hanya diam berdiri di tempatnya. "Bianca gak makan di luar karena gak ada uang yang buat beli. Kalau ada mana mau dia jauh-jauh ke sini cuma buat minta makan," ucpanya tersenyum tipis.

"Dia aja yang lebay, di marahin aja kabur dari rumah. Kan dia sendiri yang salah pulang terlambat ke rumah." balas Anka lalu duduk di kursi samping ranjang kembarannya.

"Anak yang banyak di tuntut sama yang gak di tuntut apa-apa itu beda An, dia pergi dari rumah karena dia tau jalan buat pergi." ucap Kara menahan tangan Anka yang ingin menyentuh rambutnya.

"Lo bilang dia lebay cuman di marahin doang kabur dari rumah. Tapi lo gak nanya alasan dia pergi kenapa, lo gak nanya gimana orang tuanya marahin dia sampai dia milih buat pergi. Semua orang punya porsinya masing-masing buat ngerasain sakit, beda sama yang mati rasa. Mau sekarat pun dia gak tau yang namanya sakit" ujarnya menujuk makanan yang ada di atas meja.

"Yang Bianca makan tadi punya gue, gak nyentuh sedikit pun punya lo," sambungnya lagi.

"Kemana Bianca? Dia udah pulang?" tanya Naira yang baru saja masuk ke ruang rawat Kara.

"Belum lama pulang Bu" jawab Kara menoleh ke arah Naira.

Naira mendekati ranjang Kara lalu memberikan bingkisan makanan pada Anka. "Kamu sarapan dulu sana"

"Ayah ke mana Bu?" tanya Anka bangkit dari duduknya.

"Kantor sebentar, siang nanti balik ke sini lagi. Kamu kalau udah sarapan tolong pulang sebentar ambil barang-barang punya Kara. Ibu udah minta Bibi siapin di rumah"

"Iya Bu" patuh Anka.

................

Sore ini Kara hanya tinggal sendirian di rumah sakit, karena kedua orang tuanya sedang pergi. Sedangkan Anka sejak tadi juga belum kembali ke rumah sakit.

Kara duduk di samping jendela kamar rawatnya, menatap hujan yang sejak tadi tak kunjung reda.

"Gak ada orang berarti kalau gue mau keluar gak harus izin dulu kan?" monolognya lalu dengan mudahnya dia mencabut infusnya sendiri.

Kara berjalan mendekati pintu kamarnya, dia melihat ke sekelilingnya dan tidak menemukan siapapun di sana. Perlahan dia melangkahkan kakinya menelusuri lorong rumah sakit yang tampak begitu sepi.

Kara terus berjalan hingga dia sampai di ruangan paling ujung. Anak itu menghentikan langkahnya. "Kamar apa ini? Kok sepi? Boleh masuk kali ya?" gumamnya lalu mengetuk pintu di hadapannya.

"Permisi, boleh masuk?" ucap Kara setelah mengetuk pintu kamar itu.

Baru saja Kara ingin membuka pintu itu, seseorang menepuk pundaknya dari arah belakang. "Ngapain kamu di sini?" suara Banu mengalihkan perhatian Kara.

Kara berbalik menghadap Banu yang sudah berdiri di belakangnya. "Ayah ini kamar rawat siap?" tanyanya sambil menujuk ke arah pintu.

"Kamu gak bisa baca? Udah jelas tulisan segede itu gak keliatan. Itu kamar mayat, mau ngapain kamu kelayapan ke sini?" ucap Banu menarik tangan anaknya menjauh dari sana.

"Tadi gak keliatan tulisannya, mana tau kalau itu kamar orang mati." ujar Kara mengikuti langkah lebar Banu.

"Apa semua orang mati di taruh di sana dulu Yah? Kenapa gak langsung di bawa pulang? Terus nanti kalau ketukar sama orang lain gimana?" tanya Kara setelah sampai di kamar rawatnya.

"Ayah-"

"Diam!" tegas Banu membuat Kara menghentikan ucapannya. Anak itu berjalan mendekati ranjangnya lalu mendudukkan dirinya di tepi kasur.

"Anka panggil dokter sekarang" titah Banu pada Anka yang ingin mendekati adiknya.

"Iya Yah" patuh Anka segera pergi keluar untuk memanggil dokter.

Kara hanya diam tak lagi bertanya-tanya pada Banu, dia mengambil gelas yang ada di atas meja lalu meminum air dari dalam gelas itu. Namun saat kembali meletakkan gelas di atas meja, karena pandangannya yang kabur membuatnya tak sengaja menjatuhkan gelas itu ke lantai.

Crang

"Kara apa yang kau lakukan!" bentak Banu menarik tangan Kara yang tengah memunguti pecahan gelas di atas lantai.

"Aku gak sengaja Yah, aku minta maaf," ucap Kara berusaha melepaskan tangan Banu, membuat lengan Banu terkena noda darah yang berasal dari tangannya.

Banu mencengkram tangan Kara dengan keras, sedangkan Kara hanya diam dengan ekspresi biasa saja. Dia tidak merasakan kesakitan sama sekali.

"Ayah aku mau bersihin pecahan gelasnya, nanti keburu Anka ke sini. Nanti kena dia," ucap Kara mengalihkan perhatian Banu.

Banu menarik tangan Kara menjauh dari pecahan kaca lalu meminta anak itu untuk duduk di sofa. "Sekali aja gak bikin ulah gak bisa? Sekarang alasannya apa lagi Kara?"

Kara hanya diam menundukkan kepalanya, percuma dirinya menjawab pertanyaan Ayah-nya.


KARA Where stories live. Discover now