66

6.4K 1.6K 397
                                    

Bab asli 70, ya. Kalo gemes eke lompat-lompat, ya ke sebelah aja.

Mo cari ebook eriska helmi yang resmi dan murah ada di nihbuatjajan

Yang nyari renjana ama bhumi bulan ama gagal move on ada di kbm app. Eh, lupa, ding, renjana belum eke salin. Wkwkw.

Bentar lagi PO Ola, Hana, ama Gendhis.

Gendhis up ga di WP?

Kaga.

Jangan ditanya lagi.

Habis ini ada beberapa work yang tayang ekslusif di KK dan KBM. Tar previewnya di sini. Tapi, nanti. Sekarang eke masih mode bae walaupun bab kemarin kalian pada pelit, medit komen padahal gratis.

Apakah eke sayang kalian? Tentu tidak. Sayangnya eke cuma sama yang rajin komen. Tar kalo sempat eke balas ya komen kalian.

***

70 Pelangi di Langit Gladiola

Gladiola tiba di rumah orang tuanya sekitar pukul sepuluh pagi di hari Minggu. Bukan tanpa alasan dia datang jam segitu. Biasanya dagangan sayur mama sudah mulai habis karena kebanyakan pembeli datang pagi-pagi sekali. Hari Minggu juga menjadi alasan mama tidak terlalu banyak belanja di pasar karena banyak juga tetangga mereka yang menghadiri undangan pernikahan dan sebagainya sehingga di hari itu juga, daya beli jadi sedikit menurun. 

Begitu membuka pagar, dia menemukan kalau kedua orang tuanya mulai bersantai. Papa sedang mencuci mesin parut kelapa dan mama sedang duduk menghitung pendapatan hari itu. Ranti tidak terlihat, mungkin dia sudah keluar bersama teman-temannya atau malah masih tidur. Adiknya baru saja tamat kuliah dan sepengetahuan Gladiola, kini adiknya sudah bergabung dengan salah satu provider komunikasi terkenal.

“Assalamualaikum.” Gladiola mengucap salam. Jantungnya sedikit berdebar. Sudah beberapa minggu dia tidak mampir. Sejak putus dengan Ridho, suasana hatinya amat kacau dan Gladiola sempat menyalahkan orang tuanya sebagai penyebab hancurnya hubungan cinta antara dia dan sang mantan kekasih. Tetapi, setelah berusaha untuk legawa, Gladiola kemudian berdamai dengan dirinya dan menguatkan hati, tidak peduli betapa kecewanya dia, mantan orang tua tidak pernah ada di dunia ini. 

Papa yang kini sedang menyiram bagian dalam mesin parut dengan segayung air, segera menjawab, “Waalaikumsalam. Sendiri?”

Basa-basi yang tidak lucu pikir Gladiola di dalam hati sewaktu dia ingin mencium tangan ayahnya. Apakah papa buta? Atau papa lupa kalau sekarang dia sudah diputuskan oleh Ridho?

“Iya, sendiri, Pa.” Gladiola menjawab sekenanya. Matanya lalu menjelajah mencari posisi sang ibu dan dia segera mendekat begitu melihat sang mama telah selesai menghitung uang dan memasukkan hasil keringatnya pagi itu ke sebuah tas pinggang yang sudah copot resletingnya. Gladiola juga mendapati kaki kanan dan kiri sang mama terdapat noda lumpur yang mengering. Hal tersebut berarti wanita itu tidak sempat mencuci kakinya sejak kembali dari pasar tadi. 

“Ma.” Gladiola mencium tangan sang mama dan sang ibu membalas dengan senyum tipis.

“Laris, ya? Udah pada abis.” Gladiola mencoba basa-basi.

“Yah, beginilah. Kaga belanja banyak juga. Pelanggan kita pada lari ke sebelah.” ujar sang mama dengan nada rendah. Gladiola sendiri sudah tahu kalau tetangga sebelah mereka juga berjualan seperti yang dilakukan oleh keluarganya. Tetapi, apakah mereka bisa melarang? Kesedihan mama lebih karena pelanggannya banyak yang berpindah haluan. Bahkan, sobat mama yang paling akrab sekali pun. 

“Mama udah masak?” Gladiola sebenarnya cuma bertanya. Namun, sang mama sudah menunjuk ke arah sebuah baskom kecil di dekat mereka yang berisi beberapa potong ayam sisa jualan yang tidak laku. Sudah pasti, jika sudah begitu, ayam tersebut akan diolah jadi menu makan siang mereka. 

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang