empat

13K 2.7K 170
                                    

4 Pelangi di langit gladiola

“Olaaa, Nenek berak.”

Dia tahu, melarikan diri ke rumah nenek tidak lantas membuat hidupnya yang suram jadi menyenangkan. Sebaliknya, tinggal di rumah nenek 11 12 dengan kehidupan di rumah. Tidak ada beda sama sekali dengan perlakuan para adik papa kepadanya yang merasa amat riang gembira bila dia mampir. Alasannya jelas, sebagian tugas mengurus nenek kemudian pindah ke bahunya.

Dua tahun lalu nenek jatuh di kamar mandi. Tidak bisa melakukan apa pun kecuali tidur. Saking lamanya tidak bergerak, kedua jari tangan nenek melengkung kaku. Dulu, ketika awal-awal jatuh, anak-anaknya memasang bola kasti di tangan nenek sebagai terapi. Tetapi, seiring waktu, mereka mulai sibuk dan lelah mengurus emaknya sendiri. Lagipula, nenek seolah kembali ke masa kanak-kanak, doyan mengoceh dan berteriak sehingga membuat anak-anaknya kesal.

Belum lagi buang air dan pipis sembarangan di atas kasur yang sengaja dipasangi perlak membuat aromanya menyebar ke segala penjuru rumah bila didiamkan. Karena itu, kedatangan Gladiola seperti oase di tengah gurun.anak-anak perempuan nenek bisa melarikan diri dan menikmati hidup. Bila Gladiola protes, maka mereka dengan mudah membalas, “Hei, Kriting. Lo cucu pertama. Dari kecil sudah diasuh sama nenek lo. Balas budi dikit sekarang.”

Balas budi? Bukankah mereka sebenarnya lebih berhak? Gladiola hanya diasuh beberapa bulan saja lantaran saat itu mama dan papa bertengkar. Mama memutuskan untuk minggat dan papa yang masih bekerja terpaksa meninggalkan Gladiola dengan ibunya. 

“Kalian juga sebenarnya lebih wajib.” keluh Gladiola di dalam hati. Dia tidak berani melawan. Toh, tinggal di situ juga dia menumpang.

Ada dua anak perempuan yang terpaksa mengasuh nenek dari sembilan bersaudara. Anak-anaknya yang lain sudah menikah. Lima di antaranya lelaki dan merasa tidak pantas mengerjakan pekerjaan seperti menceboki dan memandikan ibunya, sementara dua anak perempuan lain tidak diizinkan oleh suami mereka. Jadilah, dua anak perempuan yang tersisa hidup seperti sapi perah, harus mengerjakan pekerjaan rumah, mencari uang, plus mengasuh nenek. 

Nenek sendiri hidup dari uang pensiun kakek. Tetapi, jumlahnya amat sedikit. Cuma tujuh ratus ribu. Kakek adalah PNS pesuruh yang dulu gajinya setara dengan golongan satu. Uang pensiun itu, cukup tidak cukup digunakan untuk membiayai kebutuhan nenek berupa susu, popok sekali pakai, sabun mandi, sabun cuci dan juga beras.

Bibi yang pertama bernama Dela, seorang janda ditinggal suaminya minggat entah ke mana atau meninggal. Gladiola juga merasa status pernikahan sang bibi tidak jelas. Mengaku sudah menikah di Pekan Baru, tetapi saat anak laki-lakinya berusia tujuh bulan, dia menelepon papa sambil menangis-nangis dan mengatakan kalau suaminya meninggal dan minta dijemput. Setelah kembali, Bibi Dela yang mulanya banyak harta, perlahan-lahan mulai kehabisan uang. Dengan sisa-sisa uangnya yang terakhir karena turut menghidupi nenek dan kebutuhannya, dia mulai sering marah-marah tidak jelas.

Bibi yang kedua, belum menikah hingga usianya empat puluh lewat, bukan karena dia tidak laku, meski untuk bagian itu Gladiola juga kurang yakin. Bibi Ambar adalah anak perempuan urutan terakhir, terpaksa ditugasi mengurus nenek sehingga hampir seluruh masa remajanya tidak dia nikmati dengan baik. Kadang, Gladiola merasa kasihan kepadanya. Tetapi, gara-gara mulut dan ucapannya yang pedas termasuk selalu merundung Gladiola dengan panggilan Kriting, Pesek, dan sebagainya, dia kemudian menyimpan rasa kasihan itu di dalam hati. Walau mereka sebenarnya senasib, si sulung dan si bungsu yang terpaksa menjalani tugas mengurus rumah tetapi paling sering disebut sebagai beban keluarga juga karena tidak bekerja.

Sebuah panggilan terdengar lagi dan Gladiola segera duduk. Dia berada di dak lantai atas rumah nenek, sedang duduk menggambar dan di sebelahnya sebuah buku matematika terbuka tepat di halaman 78. Dia gagal menjawab soal ulangan kemarin dan setelah pusing mencoret-coret di buku catatan, dia memutuskan untuk menggambar Ko Edward si Tukang Risol yang sebenarnya tidak pernah ada di dunia. 

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang