46

5K 1.4K 235
                                    

Ada loncat-loncat sedikit. Partnya ga penting, kalo di-up di sini ga bakal dapat banyak komen. Buat yang penasaran, ke sebelah aja gapapa.

Kalau mau lihat judul bab berapa, biasanya eke tulis sebelum worknya mulai.

Kayak ini, bab 49.

Bab selanjutnya gitu, ya. Kalo sepi komen, eke lewatin beberapa bab. Kasih bab yang kira2 kalian bakal komen aja.

***

49 Pelangi di Langit Gladiola

Ketika Ridho mengabari kalau mereka akan mengunjungi rumah keluarga pria itu, Gladiola merasa kalau dadanya menjadi agak sedikit berdebar-debar. Dia sudah beberapa kali datang ke tempat itu. Tidak lama setelah berpacaran, Ridho sudah mengenalkan Gladiola dengan keluarganya. Mereka semua baik, tetapi, seperti yang telah terjadi kepada keluarganya sendiri dan juga keluarga Hans, Gladiola merasa kalau dia tidak memiliki rasa percaya diri yang besar jika berhadapan dengan sebuah keluarga lengkap dan bahagia yang selalu menghargai tiap anggotanya, tidak seperti yang terjadi dengan dirinya sendiri. 

Ridho memiliki seorang kakak perempuan dan seorang adik perempuan. Ayah mereka sudah meninggal ketika Ridho berusia sepuluh tahun dan si bungsu berusia tiga tahun. Ibu mereka mencari nafkah lewat berjualan kue dan mengajar kursus. Kadang juga, ibu Ridho mengajar mengaji, bagi anak-anak yang tinggal di sekitar rumah mereka. Tapi, kakak sulung Ridho yang bernama Riana, membantu perekonomian keluarga mereka dengan kerja keras dan dia pada akhirnya berhasil menyekolahkan dua adiknya hingga ke bangku sarjana meski dirinya sendiri cukup berpuas diri sebagai tamatan SMA saja. Riana mendaftar sebagai TKW ke Taiwan dan setelahnya, dia mampu menghidupi keluarganya dengan tangannya sendiri.

"Mbak Riana ada?" Gladiola bertanya ketika mereka tiba di perempatan dekat rumah Ridho. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Suasana jalan masih ramai, maklum, karena saat itu adalah akhir pekan. 

"Ada. Kan, semingguan ini menginap di rumah Ibu. Kaki Ibu kumat lagi."

Gladiola memegang kantong oleh-oleh di dalam pelukannya agak sedikit kuat. Perasaannya campur aduk. Begitu melihat ada penjual roti bakar di pinggir jalan, dia menepuk bahu kanan Ridho, "Mampir sebentar, Mas. Beli roti bakar."

"Kamu mau beli roti?"

Gladiola mengiyakan. Mereka mampir di sebuah gerobak roti dan Gladiola memesan satu buah roti bakar kepada sang penjual. Setelah menunggu selama lima menit, pesanan mereka jadi dan Ridho kemudian melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Mereka juga sempat berbincang dan begitu Gladiola bertanya tentang Riana yang hendak membahas sesuatu dengan dirinya, Ridho berkata kalau sebaiknya mereka mendiskusikan hal tersebut setelah mereka tiba nanti yang kemudian malah membuat Gladiola semakin berdebar-debar.

"Ngomongnya kayak mendadak banget. Aku dag dig dug, tahu." Gladiola membalas dengan suara pelan dan dari kaca spion motor, Ridho memberi respon dengan sebuah senyum tipis.

"Nanti kamu bakal tahu sendiri."

Bakal tahu sendiri. Bukannya senang, Gladiola malah makin merasa gugup. Dia tidak bisa bicara apa-apa lagi dan hanya berharap kalau hari cepat-cepat malam dan dia bisa kembali ke rumah tanpa perlu merasakan kegelisahan di dalam hati yang anehnya muncul begitu Ridho memberitahu kalau ada sesuatu yang penting dan segera dia kembali dari Palembang, Gladiola mesti mampir ke rumah keluarga kekasihnya. Dia sebenarnya tetap bakal mampir tanpa diminta. Namun, dengan adanya pesan titipan seperti ini, perasaan wanita itu jadi agak cemas. 

Mereka tiba di rumah keluarga Ridho beberapa saat kemudian dan yang pertama kali menyambut adalah kakak Ridho, Riana. Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu sedang menyapu teras dan begitu melihat motor bebek milik adiknya Riana menghentikan pekerjaannya demi melihat sosok Gladiola yang turun lalu berjalan membuka pintu pagar. 

Pelangi di Langit GladiolaWhere stories live. Discover now