45

6.5K 1.6K 348
                                    

Alhamdulillah, udah ada yang komen lagi. Eke seneng. Yang pelit komen, moga kantongnya bolong, jadi kalo naro recehan jatuh mulu. Biar diambil ama bocah buat isi kuota FF.

Betewe di sebelah olahans udah mo tamat. Tinggal 1 epilog lagi. Bab boks boks ama Bang Dodo udah eke posting di KBM, Karyakarsa, dan juga Nihbuatjajan. Yang duitnya terbatas, boleh noh, ke akun eke Nihbuatjajan. Mayan lebih murce dari KK dan ga perlu pake koin. Eke juga udah apdet 2 bab "Kabur ke Bali" ama bab Shopee terima paket. Wkwkwk.

Bentar lagi eke posting work baru, insyaallah giliran dia terbit. Sehari ewang. Eh, ewang bahasa Indonesia apa bukan, yak? 🤭

Terbitnya kalo bab awal di watty juga dapet giliran. Tapi, kalo dah bab 10 ke atas, maap-maap, yang VIP dapet jatah lebih cepat setahun lebih dulu dibanding kalian🤭

Yang pertama Not So Perfect Love Story, Neng Alaia dan Pak Aayas.

Yang kedua, Sebaris Cinta dari Halaman Pertama yang aslinya mo eke kasih judul, "Pelakor Lenje Gila Korea Merebut Tunanganku" yang eke batalin, gile aje, panjang ga muat kalo ditemplokin di depan cover buku🤭🤭

Dahlah, baca bab ini sambil misuh juga boleh. Puas-puasin noh. Tar eke muncul lagi kalo open PO, ini kalo kalian pada malas komen. Silahkan nabung  ya. Eke mo buat tebel+Hard Cover.

Yang pesen lewat penulis dapat gift. Yang olshop, nggak.

***

45 Pelangi di Langit Gladiola

Hari Minggu pagi, Gladiola pada akhirnya menampakkan wajah di depan rumah keluarga Adam setelah berminggu-minggu absen. Kedatangannya tidak sendiri. Ada Ridho yang ikut mengantarnya. Waktu tiba, Hans sedang berada di pekarangan, mengeluarkan beberapa buah kipas angin dan Gladiola menduga dia sedang membersihkan semua benda tersebut.

“Assalamualaikum.”

Hans langsung berhenti bekerja. Dia bahkan refleks berdiri dan menjawab salam Gladiola. Sesaat, dia sempat diam karena memperhatikan penampilan wanita muda itu. Sebuah celana jin model boyfriend, sepatu berhak lima senti berwarna fuchsia serta kemeja lengan panjang berwarna hampir mirip dengan sepatunya. Rambut Gladiola digelung dan dirapikan dengan sebuah bandana motif bunga. Make up-nya juga tidak menor. Tipis saja. Tapi, Hans merasa udara di sekitarnya telah habis sehingga membuatnya megap-megap kesusahan mencari oksigen. 

Sial. dulu si keriting itu tidak seperti itu. Kini, secuil ikal yang keluar dari balik bandananya membuat tangan Hans gatal. Tidak. Dia tidak menyukai ikal-ikal itu. Hans terpaksa memejamkan mata dan berusaha meraih lap yang tadi jatuh di bawah kakinya. Suara Ridho kini mengganggu gendang telinganya.

“Yang, sarapannya ketinggalan.”

Yang? Peyang? Kuyang? Apakah pria kurang ajar itu tidak punya panggilan lain? Anehnya, Gladiola tampak senang-senang saja mendapatkan panggilan tersebut. Dengan langkah ceria, Gladiola kembali mendekat ke arah Ridho dan mengambil sebuah kantong kresek bening berisikan beberapa boks sterofoam. Sesuai kata pria yang kini sudah turun dari motor bebek matik itu, isinya adalah bubur.

“Siang aku jemput, ya.” suara Ridho terdengar lagi sewaktu Gladiola selesai menerima kantong pemberiannya. Wanita itu mengangguk dengan senyum merekah dan dia tidak menolak sewaktu Ridho mengusap pipi kanannya dengan lembut. Mereka saling pandang selama beberapa detik sedang Hans sesekali mencuri lihat dari belakang.

Sewaktu motor yang Ridho kemudikan berlalu meninggalkan dirinya dan Gladiola meniti jalan menuju pintu masuk, Hans berdeham. Suaranya berhasil membuat Gladiola menoleh ke arahnya.

“Hans? Tumben nggak jalan.” 

“Mama sakit, Nia masih lesu.” balas Hans sambil menunjuk ke arah dalam rumah dengan bibirnya. Kemarin, ibu sahabatnya memaksakan diri untuk kembali ke rumah. Lagipula, putrinya sudah berada di Jakarta, di rumah mereka. Tidak ada alasan bagi wanita itu untuk berlama-lama di rumah sakit.

Pelangi di Langit GladiolaWhere stories live. Discover now