30

9.5K 2.1K 199
                                    

Gaes, rameken komen dan vote dong. Jam 9 atau 10 eke up lagi bab 31.

Met lebaran.

Badan eke jadi lebar---an wkwkkw.

***

30 Pelangi di Langit Gladiola

Hening hampir dua puluh detik di depan ranjang tempat Gladiola berada saat Hans tiba-tiba memutuskan untuk masuk. Seharusnya, Tata yang lebih Gladiola tunggu dibandingkan pemuda itu. Segera setelah sadar, Gladiola kemudian berdeham dan menoleh kepada Kania yang sama bingung dengan dirinya karena tidak menyangka kalau saat itu abangnya datang.

"Lo udah dijemput." 

Dengan wajah polos Gladiola bicara kepada Kania. Dia tidak bermaksud mengusir sahabatnya pulang. Akan tetapi, bila Hans sudah berada di situ, memangnya apa lagi yang dilakukannya selain menjemput adiknya? Hans tidak punya kepentingan menunggui Gladiola. Dia tidak sepenting Ranti yang punya tempat khusus di hatinya. Realistis saja. Setelah bertahun-tahun menjadi korban rundungan dan perasaannya tidak pernah berbalas, Gladiola lebih percaya kehadiran Hans di tempat itu untuk menjemput adiknya ketimbang menjenguk. 

"Ih, gue nggak pulang malam ini. Lo ngapain, sih, ke sini lagi?" 

"Gue nggak ke sini lagi." Hans berusaha tersenyum, menjawab pertanyaan adiknya, "Dari pagi tadi gue nggak balik, nemenin Om Syahrul."

Syahrul Efendi adalah nama papa Gladiola. Salah satu hal yang paling disyukuri oleh gadis itu adalah Hans naksir Ranti. Karenanya, walau sudah bertahun-tahun lewat, tidak pernah satu kali pun dia mendengar Hans menghina nama papanya. Bahkan, pekerjaan orang tua Gladiola yang cuma tukang sayur dan tukang ojek juga tidak pernah mendapat cacian dari bibir Hans. Hal itu juga membuatnya cukup bersyukur. Tidak peduli seburuk apa pun perlakuan kedua orang tuanya kepada Gladiola, dia bakal membela mereka bila ada yang berkata buruk. Setidaknya, dengan kerja keras mereka berdua, hingga detik ini dia masih bisa bernapas.

Itu juga yang menjadi alasan dia harus terus berbakti kepada mereka walau Kania kerap berkata, seharusnya orang tua Gladiola berdosa karena selalu melontarkan kata-kata jahat kepadanya. Bukankah anak-anak tidak pernah bisa memilih lahir dari rahim siapa? Dia juga tidak bisa meminta diberi wajah lebih cantik dari Ranti sehingga membuat mama selalu kesal kepadanya. 

"Ya, itu urusan lo." suara Kania terdengar lagi. Kali ini dia memilih berdiri. Namun, suaranya telah dia pelankan karena takut mengganggu pasien sebelah. 

"Gue bukan mau jemput. Mau lihat Ola." 

Gladiola yang masih mengunyah nasi, tidak menyangka kalau dia disebut oleh Hans. Secara tidak sengaja juga, dia yang tadinya menoleh ke arah tirai yang tertutup di sebelah kanannya demi memberi ruang kepada dua kakak beradik itu bicara, lalu refleks mengalihkan pandang kepada Hans. Hari ini, pria muda itu terlihat amat tampan. Dia memakai kaos putih polos tanpa kerah dan celana jin hitam. Sebagai luaran, Hans melindungi tubuh dengan kemeja flanel kotak-kotak berwarna hijau dan hitam yang Gladiola tahu betul dibeli dari toko mana. Dulu, dia menghabiskan setengah hari untuk menguntit Hans berbelanja. Gila? Memang. Dan dia menertawai betapa bodoh dan polosnya dia dulu.

Kania diam sejenak, memindai apa yang bakal dilakukan Gladiola begitu Hans mendekat. Dia menduga bakal ada perang seperti yang sudah-sudah. Tapi, hari ini keadaan Gladiola tidak terlalu baik. Wajahnya masih pucat dan sesekali, walau tanpa suara, Kania menemukan alis sahabatnya naik dan tangan kanannya yang tidak dipasang infus mencengkeram besi ranjang. Apakah efek obat bius sudah habis? Dia tidak banyak bicara sejak tadi dan Kania tahu, dokter telah bercerita kepada mereka semua tentang benjolan Gladiola. 

"Dada gue masih ada. Itu kalau lo mau tahu. Nggak diangkat dan suatu saat, suami gue nggak bakal jijik lihat dada bininya." Gladiola memulai duluan. Jika Hans hendak merundungnya, dia masih punya tenaga. 

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang