36

8.4K 1.8K 164
                                    

Jangan benci-benci banget sama Hans

Sama Maknya Ola

Apalagi sama Ranti yang cantik jelita.

Jangan cinta-cinta banget ama Ridho. Konon kata netizen, yang baek kek dese cepat matinya.

🤭🤭🤭

***

 "Ya, udah. Siap-siap masuk, gih." Ridho mengusap pelan puncak kepala Gladiola, terasa lembut walau bagi orang lain, kriwil-kriwil di rambut wanita itu jarang mereka lihat. Hari ini, Gladiola hanya menguncir rambutnya hingga ke belakang dengan beberapa karet warna-warni dan menggunakan beberapa bobby pin di sisi kiri rambutnya. Dia tampak cantik dan dandanannya amat serasi dengan pakaian yang dipakainya, sebuah kulot berwarna cokelat muda dengan tanktop putih. Gladiola melindungi tubuhnya dengan outer rajutan berwarna krim dan di depannya, sudah ada bucket hat berwarna senada dengan outer yang dipakai oleh Gladiola. Benda tersebut nangkring di atas tas tempat makanan dan Ridho sudah memegangnya untuk dia pakaikan ke kepala sang kekasih.

"Sabtu aku pulang." Gladiola bicara sebelum akhirnya mereka bangkit dan berjalan menuju pintu masuk. Gladiola agak merasa sedih karena perpisahan sementara ini dan balasan Ridho hanyalah sebuah anggukan sebelum dia membalas, "Nanti kujemput."

"Mau oleh-oleh apa?" tanya Gladiola lagi. Langkah mereka amat pelan dan tangan keduanya masih bertaut, "Pempek, mau?"

"Nggak usah dipaksa beli kalau nggak sempat. Kamu pulang dengan selamat udah senang. Soal pempek, di sini juga ada." 

Gladiola sempat menahan diri untuk tidak tersenyum sewaktu mendengarnya. Terdengar gombal dan klise, tapi, baginya hal tersebut amat manis. Kebanyakan orang bakal menitip oleh-oleh bila ada yang pergi ke luar kota. Tumben sekali Ridho malah tidak menginginkan apa-apa. Buat Gladiola hal tersebut adalah hal langka bahkan untuk di zaman sekarang. Dia masih ingat mama, papa, bahkan Ranti sudah berpesan agar dia tidak melupakan mereka semua ketika berada di Palembang nanti, yang artinya sama saja dengan siapkan oleh-oleh yang banyak kalau pulang. 

"Pulangnya dari sini hati-hati, ya. Nanti aku kabari lagi kalau sudah di dalam atau pesawatnya mau berangkat."

Ridho mengangguk. Dia kembali mengusap kepala Gladiola yang sudah dia pakaikan topi lalu tersenyum dengan amat manis sebelum akhirnya tautan tangan mereka terlepas. 

"Iya. Kamu juga." 

Gladiola menghela napas selama beberapa saja sebelum akhirnya dia melambai dan menyeret koper masuk ke ruang boarding. Sesekali dia menoleh ke arah belakang. Ridho masih mengawasi sambil sesekali melambai begitu pandangan mereka bertemu. Pria itu amat tampan dengan setelan kemeja putih dan celana wol abu-abu. Tapi, mereka harus berpisah dan Gladiola mempercepat langkah setelah petugas memintanya untuk meletakkan barang-barang di rel untuk dipindai dan dia masuk ke gate sebelahnya. 

Urusan pemeriksaan selesai ketika Gladiola memasuki ruang tunggu. Tersisa waktu sekitar empat puluh menit dan dia kemudian memutuskan untuk makan siang sendiri di sana. Untungnya, suasana di ruang tunggu tidak terlalu ramai dan Gladiola berada di sudut sehingga dia bisa makan tanpa terganggu. 

Sekitar lima menit usai makan, petugas mengumumkan lewat pengeras suara bahwa Gladiola dan penumpang lain dipersilahkan untuk memasuki pesawat. Dia pun bergegas mengikuti antrean dan mempersiapkan tiket miliknya yang telah dicetak saat check in di lantai bawah tadi. 

Begitu berhasil mendapatkan tempat duduk, Gladiola tersenyum senang karena menyadari kalau dia mendapat tempat di sebelah jendela. Hal tersebut adalah yang paling dia sukai sejak pertama kali dia bisa menumpang pesawat, sebuah cita-cita yang sejak dulu dia niatkan di dalam hati setiap habis kena marah mama atau dirundung oleh adiknya sendiri. Bedanya, dulu dia menginginkan pergi setelah mengumpulkan uang. Sekarang, tanpa mengeluarkan sepeser pun, Gladiola bisa pergi dan di akhir pekerjaannya, dia akan menikmati satu atau dua hari berlibur di kota tujuan tempat dia bertugas dan rasanya, tidak ada yang lebih membuatnya bangga dibanding apa pun. 

Gladiola lalu mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar di luar jendela. Dia juga mengabadikan foto dirinya sendiri kemudian setelah beberapa koleksi, dia mengirimkan hasil bidikannya sendiri ke nomor Ridho sambil menambahkan pesan pendek, Nanti kita liburan berdua, ya, Mas. 

Ridho sendiri juga mengirimkan pesan dan mengatakan kalau dia masih berada di bandara, menunggu waktu keberangkatan Gladiola sebelum akhirnya pulang, sehingga membuat wanita muda itu tidak bisa menahan rasa haru. Padahal, dia tahu, Ridho bisa langsung pulang, tanpa perlu menunggunya. Tetapi, balasan pria itu kembali membuatnya amat terkejut. 

Nggak lama, kok. Nggak apa-apa. Kalau menunggu pesawatmu terbang aja aku nggak sabar, gimana nanti aku menjalani waktu seumur hidup sama kamu?

Beberapa penumpang lewat dan Gladiola kemudian buru-buru mengetik balasan kalau dia harus mematikan ponsel dan Ridho mengucapkan salam perpisahan sebelum akhirnya Gladiola benar-benar menyalakan mode pesawat dan menyimpannya ke dalam tas. 

"13B di sini, Mas." 

Suara pramugari membuat Gladiola mengangkat kepala. 13 B adalah tempat di samping tempat duduknya. Ternyata penumpangnya adalah seorang laki-laki. Karena itu juga, Gladiola kemudian memilih mengambil sebuah majalah dari saku kursi di hadapannya dan mulai melihat-lihat. Namun, begitu penumpang di sebelahnya mulai duduk, Gladiola menangkap aroma familiar dengan indra penciumannya. 

Kayak bau parfum Hans. Tapi, nggak mungkin orangnya ikut sampai sini. Lagian, dia, kan, udah nggak nelepon-nelepon gue lagi. Ih, masak gue kepikiran dia, sih?

Gladiola mengusap pelipisnya sendiri dan merasa kesal harus memikirkan Hans ketika dia sedang membaca. Entah mengapa tahu-tahu saja nama Hans terbersit di kepala padahal sejak tadi dia sudah bersama Ridho.

Amit-amit, La. Udahlah, nggak usah dipikirin. Lo, sih, kek bocah baperan terus. 

Gladiola menghela napas, lalu berusaha menoleh ke arah pramugari yang mulai mengambil posisi ketika perjalanan mereka dimulai. Di saat yang sama, dia mencengkeram pegangan kursi dan merasakan hal paling menyebalkan setiap dia menumpang burung besi, lepas landas.

"Tenang aja. Nggak bakal kenapa-kenapa, kok. Tarik napas aja, terus istighfar sering-sering."

Hah? 

Setelah aroma parfum, kini suara yang mampir ke gendang telinganya terdengar amat mirip Hans hingga Gladiola bergidik dibuatnya. Dia amat yakin tidak bermimpi, tapi, entah kenapa, melihat kenyataan yang saat ini terjadi, dia malah takut sendiri. 

"Hai, Ola. Lo bilang nggak mau pergi, tahu-tahunya kita malah sebelahan."

Bola mata Gladiola bergerak amat pelan ke sumber suara dan dia merasa seluruh rambut halus di tubuhnya meremang karena yakin, pemilik suara itu adalah orang yang sama dengan masa lalunya yang amat menyebalkan. 

"Gue senang."

"Jangan GR." Gladiola memotong, "Gue nggak ada niatan pergi bareng lo."

Cih. 

Dari awal saja dia sudah berpikir kalau perjalanan dinas ini sudah tidak beres, seolah alam sengaja mengacaukan jadwal dan membuatnya selalu berdekatan dengan manusia yang seharusnya dia jauhi. 

Dia tidak bakal kalah dan sekarang, hal yang paling tepat dia lakukan adalah pura-pura tidur dan membiarkan Hans mengoceh sendiri tentang rencananya dan entah apa lagi. 

Gladiola tidak mau peduli sama sekali.

***

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang