56

6K 1.5K 337
                                    

Udah tamat di sebelah, tinggal epilog. Main-main, gih, ke sono.

Betewe, dah baca work baru eke? Neng Yasi-Bapak Hakim dan Pak Jaksa yang bukan Hakim dan bukan Jaksa.

Nah, bingung, kan?

2 hari ini pada gembira ria semua itu rakyat di KK, kaga tahu eke kenapa.

Meski begitu, halah, sok puitis bangat, wkwk, kalian setia aja ama Mas Dodo Ganteng.

***

 56 Pelangi di Langit Gladiola

Ridho yang kemudian seolah tidak ada kabar hingga berhari-hari kemudian membuat Gladiola seperti anak ayam kehilangan induk. Dia sudah berusaha menghubungi ponsel pria itu, akan tetapi Ridho tidak menjawab. Gladiola ingin datang ke supermarket, namun, dia tahu bila ponsel saja Ridho enggan membalas, dia juga tidak bakal mau ditemui oleh Gladiola.

“Gara-gara seratus juta.” keluhnya usai jam pulang kantor. Wajahnya memandang kuyu ke arah depan lobi dan tidak ada bayangan motor bebek yang biasa dikendarai oleh kekasihnya tersebut dan jujur saja, hatinya terasa amat pedih. Apakah Ridho jadi benar-benar tersinggung karena ucapan mama? Sejak mengirim pesan tangkapan layar beberapa hari lalu, tidak ada lagi kata-kata atau tulisan berupa pesan yang dikirimkan pria itu untuknya. Gladiola sudah memberi waktu. Tapi, lewat tiga hari tanpa ada kabar dari pria yang selama ini selalu ada untuknya membuat Gladiola tahu, masalah yang terjadi cukup pelik.

Ridho tidak pernah meninggalkannya. Itu yang pertama. Dalam satu hari akan ada minimal dua pesan atau satu panggilan darinya. Rasanya seperti ditusuk pisau tajam tepat di jantung dan Gladiola tidak pernah sedih seperti hari ini. 

“Cewek, cemberut aja.” 

Sebuah suara kemudian berhasil membuat Gladiola mengangkat kepala. Tapi, bukan Ridho yang memanggil melainkan Kania yang sepertinya hampir dua minggu tidak bertemu dengannya. Wajah wanita dua puluh lima tahun tersebut terlihat jauh lebih semringah dibandingkan beberapa minggu sebelumnya, ketika baru berpisah dengan Dino. Malah, kalau dilihat-lihat, sekarang Gladiolalah yang terlihat kacau.

“Kok, lo tahu gue mau pulang?” Gladiola bertanya dengan wajah bingung saat Kania mendekat dan memeluknya dengan erat. 

“Tahu, dong. Gue ada informan terpercaya.” Kania mengedipkan mata. Dia tersenyum amat lebar sedang Gladiola tidak paham maksud kata-katanya itu. 

“Gue penasaran kenapa muka lo kusut.” Kania bicara lagi setelah pelukan mereka lepas. Wajahnya menatap Gladiola penuh harap. Tetapi, seperti biasa, Gladiola selalu misterius.

“Soal itu …” Gladiola lesu kalau harus memberi tahu. Tapi, yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Kania Bella Adam, sahabatnya yang punya sifat lebih kepingin tahu dari pada Shinichi Kudo. Karena itu, Gladiola yang merasa percuma saja menolak dan menghindar, pada akhirnya tidak melawan sewaktu Kania menarik tangannya menuju ke arah parkiran. Toh, tidak ada tanda-tanda bahwa Ridho bakal muncul sore itu. Dia juga hendak meminta pendapat Kania tentang perlu tidaknya mendatangi Ridho bila pria tersebut masih mendiamkannya seperti ini.

“Lo udah dapat SIM?” Gladiola melirik ke arah Kania begitu dia melihat sebuah city car berwarna abu-abu yang masih tampak baru. Sepertinya, papa sahabatnya tersebut membelikan mobil untuk Kania yang tampak uring-uringan pasca ditinggal mantan kekasihnya. Mungkin itu juga jadi sebab Kania tampak bahagia.

“Sudah, dong. Gue bikin SIM dulu baru dibeliin mobil.” balas Kania. Suara cerianya jelas tidak sedih dan Gladiola menebak kalau sekarang dia tidak terlalu memikirkan Dino lagi.

“Beli cash?” Gladiola bertanya lagi. Melihat sifat papa Kania, jarang mereka membeli barang secara kredit. Mobil baru seperti milik Kania saat ini pasti bukan masalah buatnya.

Pelangi di Langit GladiolaWhere stories live. Discover now