61

6.4K 1.7K 530
                                    

Banyakin komen kalau mau dobel up nanti malam. Eke tunggu 500 komen (kalo ada)

Btw, silahkan nabung ya. Kalo jadi, eke mo open PO Pelangi di Langit Gladiola. Bukunya bakal tebal banget kayak Yaya-Malik. Soalnya dah lebih dari 170ribu kata dan sebelum di layout aja dah 811 halaman.
Harganya kayaknya sekitar 120-130rb ya. Moga2 ga lewat 750 karena eke belum masukin epilog. Kalo lebih dari situ, terpaksa kita jadiin 2 buku, karena eke takut lepas. Tapi, dari buku Yaya kemarin kayaknya aman. Eke pindah percetakan soalnya.

Isinya apa aja? Bab regular sampe 101, bab extra bali 10 bab kalo ga salah, bab kotak boks 1 bab. Puas banget bacanya.

Gift?

Masak eke kasih gift kutang?🤣🤣🤣

Kalo mo lanjutin yang di KK atau KBM juga boleh.

***

61 Pelangi di Langit Gladiola

Hans Bastian Adam menjadi satu-satunya orang yang paling kaget di rumah keluarganya, sewaktu dia melihat sosok wanita berambut ikal, sedang berbaring berbantalkan paha ibu kandung pria itu, di atas sebuah kasur Palembang, di ruang tengah rumah. Mata Gladiola terpejam dan kedua alisnya naik begitu dia memperhatikan, wanita muda itu sepertinya memakai pakaian tidur milik Kania. 

"Ola nginep?" 

Suara Hans agak terdengar antusias. Hampir tidak pernah wanita itu menginap lagi di rumah mereka sejak Gladiola kelas dua SMA. Apalagi, waktu itu dia tahu kalau Hans sedang mengincar Ranti. Kini, melihatnya lagi terbaring, dengan rambutnya yang tergerai hingga punggung, membuat Hans merasa kembali ke masa-masa lima atau enam tahun yang lalu. 

"Iya. Kenapa? Lo pasti mau jingkrak-jingkrak, kan?" Kania yang sedang duduk di sofa kanvas di belakang tubuh montok ibunya membalas. Tangan kanan Kania memegang ponsel dan wajahnya dipasangi masker lumpur yang membuat abangnya terkejut. 

"Jingkrak-jingkrak kenapa?" Mama Hans menaikkan alis, memandangi kedua anaknya dengan wajah bingung.

"Nia suka bikin gosip aja." Hans merenggangkan kedua tangan. Setelah itu diletakkannya kunci mobil ke atas meja dan dia melepas jaket kulit yang dia pakai saat ini. Aroma parfum mahal kesukaannya menguar dan Kania yang mencium baunya segera mengangkat alis, “Buset baunya.”

Tidak ada yang salah dengan parfum yang dipakai Hans, tapi, dasar Kania saja yang suka menggoda abangnya. Alasannya jelas, dari bibir pria itu tersungging senyum yang lama tidak tampak, terutama setelah dia menghabiskan waktu seminggu terakhir di Sumatera, memeriksa perkebunan sawit milik orang tuanya serta melaksanakan tugasnya sebagai seorang anak buah di perusahan pengeboran minyak. 

“Padahal lo suka. Di Palembang gue lihat lo mampir ke toko parfum dan beliin satu buat mantan lo itu.” Hans membalas dengan suara pelan. Tapi, jawabannya berhasil membuat Kania memicingkan mata. Sampai sejauh itu, kah, penyelidikan yang dilakukan abangnya kemarin? 

“Dasar penguntit.” Kania mendesis. Tangannya bersedekap. Jika ada piring kosong di hadapannya saat ini, bisa dipastikan dia bakal melemparnya ke wajah abangnya. 

“Ya, nggak apa-apa. Daripada adik gue bunting dan gue punya keponakan ilegal.”

2-0. Kania jadi makin ingin berdiri dan menjambak abangnya. Lagipula, kenapa mereka jadi membahas dirinya. Tadi dia, kan, cuma mengomentari parfum yang dipakai Hans bukan yang lain.

Saat itu, Hans memakai jin biru pupus, kemeja kanvas berwarna putih dengan logo perusahaan tempatnya bekerja di bagian dada. Ada papan nama tersemat di dada kanan bertuliskan namanya dan jika masih naksir kepadanya, Kania yakin, Gladiola bakal kesengsem habis. Hans adalah definisi cowok paling tampan yang pernah dilihat Kania, selain Dino tentu saja. Tapi, Dino sialan itu bahkan tidak memiliki sifat baik hati dan bertanggung jawab seperti yang dimiliki Hans saat ini. 

Pelangi di Langit GladiolaWhere stories live. Discover now