20

10.3K 2.2K 193
                                    

Di sebelah udah bab 49. Silahkan mampir.

Pasukan sudah mulai menggalau di sebelah🤣😜

Hayooo kalian tim siapa?

***

20 Pelangi di Langit Gladiola

Butuh waktu sekitar lima belas menit buat Gladiola ketika akhirnya menyadari bahwa Hans yang merasa menyesal telah membuat sahabat adiknya tersebut jatuh kemudian jadi amat bertanggung jawab. Gladiola terpaksa harus mencuci rambutnya di kamar mandi kursus. Rambutnya yang sepanjang punggung biasanya tergelung, namun, entah kenapa hari ini dia merasa amat malas melakukannya. Biar saja rekan-rekan di tempat kursus melihat kriwil-kriwil yang dulu menurut teman-teman sekolahnya tampak sangat aneh, termasuk menurut pendapat Hans yang sejak dulu gemar mengatai rambutnya.

Anehnya, kini, saat mereka duduk berhadapan di depan warung bakso dan mie ayam, dengan rambut Gladiola yang lepek karena habis dibilas, Hans tampaknya tidak keberatan dengan penampilan gadis itu. Padahal dulu, Gladiola selalu menahan hati bila dia mendengar Hans mengatainya.

Kriwil kriting… ting… ting nyak. 

Gladiola bahkan masih kesal saat mengingatnya sehingga dia tidak sadar telah menggebrak meja, membuat semua orang memandangi mereka berdua dengan tatapan menyelidik. Mungkin menurut mereka, pasangan timpang yang saat ini mereka lihat sedang bertengkar.

“Gue mau balik.” Gladiola bangkit. Pipinya bersemu merah karena tatapan orang-orang barusan. Tapi, Hans segera menahan tangannya dan seperti biasa, Gladiola dengan cepat menepis tangan pria itu agar melepaskan tautan tangan mereka. Hans kemudian memang melakukannya. Tetapi pria muda itu kemudian mengusap-usap punggung tangan kanannya. Pukulan Gladiola barusan seperti memang disengaja dan dia menunggu momen tersebut untuk menghajar kakak sahabatnya itu.

“Masih hujan. Sekarang tambah deras. Lo duduk aja di sini.”

“Apa pangkat lo melarang-larang gue?” ketus Gladiola. Dia memakai tas punggung mungil bahan kanvas. Melihatnya sekarang membuat Hans teringat lagi dengan gadis berseragam SMANSA JUARA yang dulu selalu tersipu tiap dia goda. Nyatanya, sekarang dia persis sekali kucing betina yang kakinya terluka. Setiap patah kata yang keluar dari bibir Hans bakal dia balas dengan ucapan ketus dan pedas. 

“Kalau nekat, lo bakal demam. Lagian tadi barusan jatuh, kan? Minimal makan dulu.” ajak Hans dengan suara rendah. Dia tahu, Gladiola tetap akan meninggikan suara bila membalasnya.

“Gue demam, kek, mati, kek, nggak ada urusan sama lo.” 

Pipi Gladiola bersemu merah sewaktu bicara. Hans tahu, rona merah itu adalah rona kemarahan, bukan malu-malu. Buktinya, sekarang saja Gladiola hampir melompati bangku kayu tempat mereka duduk agar dia bisa melarikan diri. 

“Bukannya besok lo mesti kerja? Kalau demam artinya lo mesti bolos. Lagian, gue juga nggak maksa. Tapi, tadi memang salah gue sampai lo jatuh. Kalau mau, lo tunggu sebentar sampai hujan berenti. Jajan dulu nggak apa-apa, daripada masuk angin.”

“Itu urusan gue.” 

Gladiola masih nampak tidak bersahabat. Dia bahkan bergeming ketika Hans mengiming-iminginya makan. Memangnya dia kira Gladiola tidak punya uang? 

"Ola, makan dulu. Nanti gue yang antar pulang." Hans bangkit dan bicara dengan nada lebih lembut lagi dibanding sebelumnya. Dia tidak tahu mengapa malam ini otaknya jadi seperti itu. Yang pasti, dia merasa kalau keadaan Gladiola sedang tidak baik-baik saja meski wanita muda di hadapannya bersikap amat tidak bersahabat.

"Eh, Hans, gue kasih tahu, ya." Gladiola menekan suaranya. Matanya masih berkilat menahan dongkol. Akan tetapi, Hans merasa masa bodoh dengan penolakan itu.

Pelangi di Langit GladiolaWhere stories live. Discover now