enam

11.5K 2.7K 309
                                    

Yang mau baca, santuy aja kali, ga usah heboh nagih-nagih bacak kayak eke ngutang apaan gitu sama kalian. Padahal, pas eke cek profil, follow eke juga kagak. Artinya, elu tu kayak tamu kaga diundang, tau2 minta nasi, ples bawa kulkas eke kabur.

Di sini yang baca mesti sabar. Yang ga sabar silahkan ke aplikasi karyakarsa atau KBM app. Sudah bab 9 dan besok up bab 10.

Dah, jangan rewel lagi. Follow, kek. Ngebacot bae. Sok pula bilang otor paporit. Paporit pret lo. Besok otor sebelah up, lu puji dia pula. Emang gw kaga paham gombalan lu pada?

Baca-baca aja. Ga usah puji. Ga makan pujian.

***

6 Pelangi di langit Gladiola

Gladiola kira, Hans yang naksir Ranti atau ucapan mama tentang celana dalamnya yang jamuran di depan Hans adalah hal paling memalukan di dunia. Tetapi, kenyataannya terjadi di saat hujan turun dengan deras dengan Hans menunggu dia selesai mengisi air isi ulang ke dalam galon. Pakaian Gladiola sudah basah dan Hans menggerutu kalau perempuan muda itu bekerja terlalu lambat sehingga Gladiola kemudian dengan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. 

Malangnya, dia lupa kalau sedang memakai sandal jepit butut dengan tali hampir copot dan baru dua langkah dia menggotong galon menuju Hans yang sudah siap menyambut, Gladiola malah terpeleset dan satu galon berisi 19 liter air menimpa tubuhnya tanpa ragu-ragu. Untung saja kepalanya tidak membentur ujung keramik tangga batu yang sudah gompal. Ada sandal milik papa yang nangkring di sana dan ketika jatuh, Gladiola masih sempat menyelamatkan galon milik Hans. 

"Woi, ngapain lo jatuh-jatuh segala?" Hans melompat dari motor dan membiarkan saja kendaraannya jatuh ke samping sementara Gladiola menatap nyalang ke arah langit basah yang kini seolah menertawakan kebodohannya. 

"Astaga." 

Gladiola memejamkan mata. Kini, suara mama terdengar dari balik pintu warung. Tidak peduli hujan turun makin deras, dia bisa menangkap sang ibu berbicara, "Gue nggak mau tahu. Lo ganti kalau galonnya pecah." 

"Tolongin Mbak, Ma." rengek Gladiola. Dia saja masih terkapar di tanah becek depan warung. Tangannya gemetar menahan galon penuh air yang tadi menghantam dadanya. Gladiola sampai merasa kalau tulang rusuknya remuk, tetapi, ketika dia berusaha untuk bisa bangkit dengan mengharap pertolongan sang ibu, mama bilang dia terlalu manja. 

Bahkan Hans yang mulanya terlihat gentleman, membantu mengambilkan galon berat yang menimpa tubuhnya itu kemudian menertawai rambut ijuk Gladiola yang terkena kotoran ayam peliharaan uwak tetangga.

"Sori. Sori. Gue refleks." Hans cepat-cepat menutup mulut karena dilihatnya Gladiola masih diam. Mama yang mulanya mengomel tidak lagi terdengar suaranya tetapi, anak perempuan tertuanya itu belum juga mengangkat tubuhnya dari tanah. 

Sakit karena jatuh, tidak sebanding rasanya dengan ditertawai oleh orang yang paling dia suka. Tetapi, memang salahnya sendiri memilih Hans yang jelas-jelas sinting dan memang tidak punya perasaan kepadanya. 

"Oi, bangun." 

Kali ini, tangan Hans terulur. Sayangnya, Gladiola terlalu malu dan gengsi untuk menyambut tangan pemuda itu. Lagipula, dia sadar diri. Telapak tangannya tidak sehalus Ranti. Miliknya kapalan karena terlalu banyak mengupas kulit kelapa dengan kapak dan juga mengangkat galon yang jumlahnya sudah tidak terhitung lagi. Gladiola tidak mau menggadaikan kewarasannya hari ini dengan mendengar rundungan lain daru Hans. 

Karena itu, dia kemudian memilih bergerak ke samping dan perlahan mengangkat tubuhnya sendiri. Air hujan telah membuat baju dan rambutnya basah. Untung saja dia memakai kaus berwarna hitam. Jika tidak, Hans tentu bakal melihat tali kutangnya yang talinya putus dan dia ikat supaya tidak lepas. 

Pelangi di Langit GladiolaWhere stories live. Discover now