60

6.9K 1.5K 219
                                    

Bab 59 ternyata ga ada, ga tau dah, dari kemaren masalah nomor bab ini aneh mulu.

Dah tamat di KK dan KBM, tinggal epilog, ntar aja kalau eke rajin ngetiknya wkwkw.

Yang ga sabar, ke sono.

Betewe, mampir dong ke work eke yang lain, Neng Hana dan Pak Hakim

***

Kania Bella Adam yang diminta oleh Gladiola untuk datang menemuinya sekitar pukul sebelas ke food court di lantai empat mal yang biasa mereka datangi hanya bisa tertegun sewaktu melihat sahabatnya itu memandangi empat cup minuman yang hampir semua isinya tandas. Empat cup dari berbagai merk terkenal itu Kania tebak berisi thai tea, kopi cappucino, americano, serta teh Poci dingin yang membuatnya langsung bergidik. Apakah Gladiola menghabiskan semua itu sejak pagi atau malah beberapa waktu saja? Tapi, mengingat saat itu pukul sebelas, dan mal buka pukul sepuluh, mau tidak mau dia merasa amat cemas. 

“Ya ampun, Bra. Lo minum sendiri semuanya? Atau bekas orang?” Kania mendekat dan buru-buru menggeser cangkir-cangkir plastik tersebut dari hadapannya. Meski begitu, terdengar keluhan dari bibir Gladiola yang berkata kalau minuman-minuman tersebut tidak perlu dijauhkan darinya.

“Jangan, Nia. gue masih mau minum. Atau gue beli yang baru aja, ya?”

Gladiola mengambil dompet dari dalam tas monogram bermerk yang dikenal oleh Kania. Saat itulah, dia melihat sahabatnya itu mengerjap dan sesuatu yang bening menetes dari pipinya.

“Aduh, Bra, jangan. Lo bisa diabetes kalau kayak gin …” Kania berhenti bicara karena disadarinya Gladiola menangis. 

“Ola?” Kania menyentuh lengan kiri Gladiola dan dia sadar, kedatangannya ke tempat tersebut karena sesuatu yang tidak beres telah terjadi, “Lo nangis lagi?”

Gladiola tidak menjawab melainkan memberi anggukan lemah. Lalu dia menutup wajah dengan kedua tangan. Tadi, setelah berpisah dari Ridho di parkiran motor pegawai di supermarket The Lawson, dia masih bisa mengangkat wajah. Tangisnya pun cepat reda seiring dia angkat kaki dari tempat tersebut dan mengabaikan panggilan Ridho yang masih mengharapkan dia kembali.

Tapi, dia kemudian berpikir, untuk apa Ridho melakukannya? Dia juga tidak memilih Gladiola untuk melanjutkan masa depan bersamanya. Meski amat sayang kepada pria itu, Gladiola bodoh bila masih bertahan,

“Gue bodoh, Nia. Bodoh banget …”

Bahu Gladiola naik turun saat menangis dan Kania tahu, dia belum pernah melihat sahabatnya seperti itu, bahkan saat dia patah hati ditinggal Hans berpacaran dengan Ranti. Wajah Gladiola yang putus asa saat ini sama persis dengan dirinya ketika ditinggalkan oleh Dino beberapa waktu lalu. Kania yang tidak tahan melihat air mata yang menurutnya lebih dahsyat dari wabah flu yang begitu mudah menulari tubuhnya, lantas mengambil tempat duduk di sebelah Gladiola lalu mengusap punggung sahabatnya itu. 

“Lo masih nangisin dia? Udah, dong, Bra. gue jadi mau ikut nangis juga.” 

Gladiola bukannya mau menangis. Tapi, setiap dia ingat yang telah terjadi, dia merasa amat sedih. Kenapa Ridho begitu mudah melepaskannya? Apakah perasaan pria itu kepadanya cuma main-main saja? Gladiola terlalu berharap banyak kepadanya sehingga kalau dia sendirian seperti ini hatinya terasa amat hampa.   

“Nggak gitu, Nia. gue cuma sakit hati. Masak dia bilang ibu sama mbaknya tersinggung dengan ucapan mak gue, lo inget, kan? Yang bisa-bisa gue cuma dikasih duit sepuluh ribu doang.”

Kania ingat akan hal itu. Dia juga mengatakan hal yang sama. Toh, belum-belum saja Gladiola sudah diancam dengan urusan berhenti bekerja, jadi ibu rumah tangga, dan wajib mengasuh ibu Ridho sementara jelas sekali ada dua anak perempuan dari wanita itu dan Kania sendiri merasa amat tidak rela karena bila sahabatnya terkurung di rumah keluarga itu, dia juga bisa dipastikan bakal kesulitan bertemu dengan Gladiola. 

Pelangi di Langit GladiolaWhere stories live. Discover now