CHAPTER 5 : KUTUKAN UNTUK SANG KEADILAN

42 6 0
                                    


"Putusan Majelis Hakim, Mahkamah agung Dirgeland. Berdasarkan Undang-undang Pasal 401 ayat 3. Menjatuhkan pidana pada terdakwa penculikan, penyiksaan dan percobaan pembunuhan pada anak. Dengan hukuman penjara dua puluh delapan tahun, tanpa remisi tanpa toleransi. Serta hukuman akumulasi, berupa hukum pasung selama lima belas tahun di dalam penjara. Karena terdakwa telah menyerang banyak pihak dan melukai banyak orang, secara sadar dan waras. Terdakwa di nyatakan bersalah!"

Tok tok tok!!!

Suara ketukan palu terdengar, pertanda bahwa vonis telah resmi di jatuhkan pada terdakwa penculikan anak seorang dokter. Sesaat setelah suara lantang Sang ketua majelis hakim membacakan putusan, ketukan palu pun menyusul serta suara melengking dari seorang perempuan yang merupakan istri dari terdakwa tersebut.

"TIDAK ADIL!!! INI TIDAK ADIL!! KAU MENGHUKUM SUAMIKU, YANG JELAS JELAS MENEGAKKAN KEBENARAN BAHWA ANAK KAMI MATI DI TANGAN PARA MEDIS SIALAN! SEDANGKAN DOKTER BAJINGAN ITU MASIH HIDUP DENGAN TENANG, INI TIDAK ADIL YANG MULIA!" teriak wanita itu dengan nyalang.

Dia berusaha menerobos pagar pembatas ruang sidang, namun di tahan oleh salah satu kerabat nya yang juga kini tengah menahan amarah.

"KAMI INI KORBAN, ANAK KAMI MENJADI KORBAN KELALAIAN DOKTER ITU. SEHARUSNYA DIA YANG DI HUKUM! BUKAN SUAMIKU," kecam wanita itu dengan tangis histeris. Dia masih berusaha menerobos untuk menghampiri meja hijau kehakiman.

Sang ketua majelis hakim menatap wajah itu dengan tatapan tenang, setenang dan sejernih telaga. Dia menarik nafas panjang, kemudian melipat kedua tangannya di atas meja.

"Apakah menjadi korban, artinya berhak menyakiti orang lain?" tanya Yohan dengan tenang.

"Dia berhak mendapatkan itu! Dia harus merasakan apa yang aku dan istriku rasakan, Kami kehilangan anak kami satu-satunya. Dan dia juga harus mendapatkan itu," sahut Sang terdakwa dengan tatapan tajam penuh dendam.

Yohan tersenyum miring menatap terdakwa itu. "Tidak ada satupun alasan, yang bisa membenarkan tindakan kejahatan."

Sepasang suami-istri itu hanya menatap dalam, penuh angkara dan kebencian pada Majelis hakim. Karena tidak puas dengan hasil putusan yang membuat mereka seolah-olah bersalah. Padahal mereka hanya ingin balas dendam atas kematian anak mereka, akibat di tangani oleh Dokter yang melakukan malpraktik.

Ya, mereka menganggap apa yang mereka lakukan itu bukan lah kesalahan.

Walaupun dokter tersebut telah di tetapkan sebagai tersangka, namun mereka tetap belum puas karena kematian anak mereka terlalu menyiksa. Lantas ayah dari anak itu melakukan balas dendam, dengan cara menculik dan menyiksa anak dari Sang dokter. Sehingga tindakan itu tertangkap oleh aparat dan dia pun di jerat hukuman.

"Sidang Perkara pidana ditutup. Terdakwa bisa kembali ke dalam tahan. Silahkan," ucap Yohan mengakhiri sidang tersebut.

Para polisi yang membawa terdakwa pun masuk dan bergerak memborgol kedua tangan terdakwa, Pria itu pasrah membiarkan dirinya di seret ke dalam jeruji derita.

Sedangkan Sang istri masih menangis histeris, kali ini dia berusaha menggapai suaminya namun tenaganya sudah habis. Dia di tahan oleh banyak orang di sekelilingnya, hingga akhirnya wanita itu jatuh lemas ke atas lantai meratapi kepergian suaminya yang di bawa oleh aparat kepolisian kembali ke dalam jeruji penjara.

Yohan hanya menatap datar pada wanita itu, kemudian dia berdiri dan berniat meninggalkan ruang sidang.

"YOHAAAAN!!!!"

Tapi teriakan kencang wanita itu menghentikan langkah Sang Ketua Majelis Hakim, bahkan kedua hakim pembantu pun turut menghentikan langkahnya.

"TIDAKKAH KAU BERFIKIR BETAPA SAKITNYA MENJADI ORANG TUA YANG KEHILANGAN PERMATA HATI, BELAHAN JIWA MEREKA? TIDAKKAH KAU IBA PADA SEPASANG SUAMI-ISTRI YANG DIZOLIMI, HINGGA MENDERITA ATAS KEPERGIAN SANG ANAK, DENGAN BERJUTA RASA SAKIT?" Wanita itu menatap sendu pada pria gagah dengan balutan jubah kebesarannya di atas mimbar pengadilan.

ETERNAL LOVE {HISTORY OF EPHEMERAL PRINCESS} ✓Where stories live. Discover now