Pelangi tidak habis pikir dengan penjelasan Zoe. Katanya, dia ingin memasak mie ala-ala chef Renata. Zoe berniat merebus telur untuk topping macam di iklan. Namun bodohnya, dia yang sama sekali tidak mengerti urusan dapur— selain merebus air, menggoreng telur yang biasanya akan terasa hambar atau justru keasinan, menggoreng nugget dan memasak mie instan— malah merebus telur menggunakan microwave.
Alhasil, terjadilah ledakan di dapur yang membuat Pelangi ngomel-ngomel. Rayden menertawakannya. Zoe hanya garuk-garuk tengkuk sebelum beralih menyalahkan Rayden yang menyuruhnya berkutat di dapur.
Untungnya, Zoe dan dapur dalam keadaan aman-aman saja.
Lebih tak habis pikir lagi, bagaimana ia bertindak tanpa memikirkannya matang-matang. Bagaimana Pelangi bisa dengan mudah menyandarkan kepalanya seolah tak tahu malu.
Astaga, cewek macam apa dia ini?
Meskipun Rayden sama sekali tidak keberatan, tapi tetap saja itu memalukan.
"Awas."
Pelangi mengerjap kala Rayden tiba-tiba menarik lengannya. Hampir saja terserempet motor karena melamun.
Sekarang ini, mereka tengah berjalan di jalanan komplek menuju rumah Pelangi. Rayden bersikeras mengantarnya pulang, tanpa alasan yang jelas. Padahal jarak rumahnya dengan rumah Zoe teramat dekat.
Memang hanya jalan kaki, namun bukan sekedar menapaki, lantaran bahagia justru seolah menghakimi.
"Ngapa bengong Lo?"
Cowok itu berpindah ke sisi kanan, seolah melindungi.
"Enggak, kok," elak gadis itu.
Untuk sekarang, sepertinya tidak ada pilihan lain selain pulang, jika memang ia tidak mau menambah masalah.
"Kesurupan baru nyaho, Tung."
Pelangi refleks menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Tung?" tanyanya bingung. "Kentung?"
"Ngi... tung," jawab Rayden kelewatan santai. "Keren juga nama, Lo."
"Itu bukan nama gue! Kayak lutung!!"
"Astagfirullah, langsung sadar dong."
Pelangi mengeram tertahan. "Minta digampar nih anak."
Rayden terkekeh, sebelah tangannya terjulur. Mengelus pundak Pelangi. "Muka Lo nggak cocok main gampar-gamparan, ah. Lucu gitu."
Tepat saat Rayden tersenyum lebar, Pelangi tiba-tiba memegang bawah bibir cowok itu. Hal yang tentu berhasil mengejutkan Rayden dengan cepat, yang lantas membuat langkahnya terhenti. Begitu pula dengan Pelangi.
Sekarang, mereka berdiri saling berhadapan.
Setelahnya, gadis ini malah menggerakkan tangannya. Seolah mengelus penuh perasaan, atau mungkin menggodanya secara terang-terangan?
"K-kenapa?"
Memalukan sekali. Masa cowok sekeren Rayden bisa gugup, sih? Sialan!
"Gigi kelinci." Pelangi tersenyum sumringah, selayaknya anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru dan merasa begitu bahagia. "Lucu."
Rayden menghembuskan nafas lega. Ia pikir, Pelangi berniat menyosor bibirnya.
Cowok itu menempatkan tangan kanannya di kedua pipi Pelangi, mengapitnya hingga membuat bibir gadis di hadapannya monyong ke depan. "Lo juga."
"Sama." Dia terkekeh.
"Lo suka sama gigi gue?"
Pelangi mengangguk, masih mempertahankan senyumnya. "Lucu banget!"
"Jigongnya suka nggak?"
Gadis itu menggeleng, membuat tangan Rayden— yang masih menjepit pipinya— terlepas.
"Harus suka dong. Kan, sepaket."
Pelangi diam saja. Sialnya, hanya melihat senyum gadis itu yang masih bertahan, berhasil membuat Rayden menyukainya tanpa bantahan.
"Kalo gue suka ini." Rayden menyingkirkan tangan Pelangi dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menjumput rambut Pelangi yang menjuntai. Mengendusnya, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Layaknya bertukar posisi, kini giliran Pelangi yang membeku. Senyumnya sudah menghilang, digantikan raut muka penuh keterkejutan. Wajahnya pias sempurna.
"Wangi banget." Cowok itu lantas menjauh, tersenyum miring kala tatapannya bertemu dengan cewek itu. "Lempeng amat muka, Lo."
Rayden tidak tahu saja bagaimana rasanya saat cowok itu benar-benar mendekat dengan jarak seolah terikat. Bagaimana degup jantungnya yang tiba-tiba menggila dengan tak wajar. Belum lagi, aroma tubuhnya yang menguar tanpa ampunan.
Hanya dengan begitu saja, berhasil membuat Pelangi lemah bukan main.
Pelangi tidak mengatakan apa-apa. Langsung balik badan dan melanjutkan langkahnya. Berbelok di jalanan komplek, yang menandakan jika ia akan segera tiba di rumahnya. Tinggal jalan lurus saja.
"Tung."
Pelangi bahkan tidak tahu jika Rayden sudah menyamakan langkahnya. Terlalu cepat, sama seperti apa yang ia rasakan barusan.
"Tang tung tang tung, Lo kira gue kendang?!" ucapnya tanpa menoleh.
Rayden tertawa kecil. "Serius ini gue mau nanya."
"Apaan?" Pelangi masih tidak berani menoleh.
Cowok itu terdiam, seperti sedang mempertimbangkan apa yang akan dia lontarkan. "Lo tau nggak kenapa rumah Zoe sama sekali nggak ada pajangan foto?"
Sebenarnya, untuk urasan yang sebenarnya tidak begitu penting— namun tetap saja terasa jangal— Rayden sudah menyadarinya cukup lama. Aneh saja dengan rumah mewah seperti itu yang hanya diisi banyak lukisan. Dimulai dari lukisan pemandangan, lukisan abstrak yang tentu saja Rayden tidak tahu arti seninya, juga lukisan manusia.
Sepasang manusia yang terasa aneh, bahkan terkesan creepy.
"Tanya ke orangnya, lah. Emang gue tahu."
Pertanyaan pertama, tidak mendapat jawaban.
"Terus orang tuanya kemana? Sesibuk itu, ya, ampe nggak pernah nonggol sekalipun?"
"Mamanya udah meninggal, udah lama. Gue juga udah lupa meninggalnya karena apa," jawab gadis itu.
"Papanya?"
"Gila kerja." Pelangi tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Rayden juga ikut berhenti. Gadis itu menatap Rayden dengan tubuh yang sudah mengarah sepenuhnya ke arah cowok itu.
"Zoe mungkin kelihatannya nggak ikhlas kalo kalian nginep di rumah dia. Tapi aslinya dia pasti seneng, rumahnya jadi nggak sepi." Usai itu, Pelangi kembali melanjutkan langkahnya.
Untuk urusan sepi, mungkin Zoe dan Pelangi sama-sama merasakan.
"Apalagi kalian kan... nggak waras semua."
Rayden menye-menye.
"Papanya prosopagnosia."
"Apaan?"
"Buta wajah," sahut Pelangi. "Kadang, sama anaknya sendiri aja nggak inget. Malah tanya siapa, padahal itu, kan, Zoe."
"Amnesia, mereun?"
"Bukan!"
"Lah anjir, kocak bener."
Pelangi menyenggol lengan cowok itu. "Kocak apanya! Kesian tau."
"Emang dari lahir begitu apa gimana?" tanya Rayden sembari menendang krikil di depan kakinya.
"Enggak, kok. Baru tiga tahun yang lalu kalo nggak salah."
"Lagian udah tau begitu masih aja gila kerja."
"Kayaknya tadi ada yang ngomong cukup nggak berlaku buat manusia." Pelangi melirik ke arah cowok itu. "Mungkin Papanya Zoe juga gitu."
"LALAPANNNN!!!!"
Pelangi hafal betul siapa yang sering memanggilnya dengan nama itu. Ia lantas menoleh ke belakang, tepat saat Elen tiba di hadapannya. Gadis dengan kaki berbetuk huruf O itu menumpukkan kedua tangannya di lutut. Tampak ngos-ngosan.
"Nggak usah pake Pan kenapa, sih?" tanya Pelangi kemudian. "Heran deh kenapa orang-orang suka banget jelekin nama orang."
"Yang penting nggak jelek-kelekin orangnya." Rayden menyahut, Pelangi melirik dengan tatapan sinis.
"Pegangin gue, cepetan!" Elen menggerak-gerakkan tangan kananya tanpa mengubah posisi. "Kaki gue lemes banget mau jatoh."
Pelangi segera memegang lengan Elen, menahan tubuhnya. "Lagian Lo habis ngapain coba?"
Elen menarik nafas dalam-dalam lebih dahulu. "NGAPAIN??! NYARIIN LO, LAH!" Dia ngegas dengan kepala mendonggak. "Gue jadi batal jalan sama Ervin! Lo nggak tahu aja seberapa nggak enaknya punya pacar beda sekolah."
Pelangi dan Rayden sama-sama memandang Elen dalam diam.
Elen menegakkan tubuhnya setelah merasa lebih rileks, lalu melepaskan tangan Pelangi. "Lo nggak tahu gimana gue bujuk Ervin biar kalo diajak jalan mau mandi! Parah Lo si Ervin jadi ngomel-ngomel ngalahin emak gue!"
"Ngapain dicariin, orang gue nggak ilang, kok."
Sumpah demi apa pun, Elen ingin mencakar wajah Pelangi sepuas mungkin!
"Bener-bener ya, Lo! Mampus habis ini diomelin, mati sekalian Lo." Elen menakut-nakuti dengan wajah julid. "Ayok sini gue kawal sampe rumah, bodo amat sama Ervin. Sekarang nontonin Lo diomelin dulu biar asyik!"
Elen sudah siap menyeret Pelangi saat suara Rayden menyapa telinga cewek itu. "Ceweknya Ervin?"
Elen menoleh, seolah baru menyadari keberaan Rayden. "Eh, iya." Dia cengar-cengir.
"Yang katanya pacaran dari kelas lapan?"
Elen mengangguk. Pelangi memandang keduanya secara bergantian.
"Betah amat."
"Iya, dong. Dekil-dekil begitu Ervin tuh setia, nggak macem-macem," sahut Elen dengan percaya diri.
"Yang kameren mencak-mencak karena ribut gara-gara cewek itu? Nggak macem-macem yang begitu?" Pelangi menyahut. Pasalnya, jika Elen sudah ribut dengan pacarnya, Pelangi juga ikut repot.
"Itu ceweknya aja yang gatel. Minta digaruk pake garu emang!"
Pelangi mencibir pelan.
"Berarti dulu kita satu sekolah dong?"
Anehnya, Pelangi tidak suka saat Rayden menyebut kata 'kita'.
Elen memandang Pelangi, seolah berucap, "apa gue bilang! Mustahil Rayden kenal gue."
"Iya," sahut Elen. Lalu segera menarik lengan Pelangi, membuat gadis itu tergopoh-gopoh sembari ngomel. Tapi Elen tak peduli.
Seakan baru menyadari sesuatu, Elen menoleh ke belakang, tepat ke arah Rayden yang masih diam di tempat. "Lo ikut juga, Den! Seru tau nontonin Lala diomelin, lucu banget. Kita nonton bareng-bareng!"
****
Apa pun itu yang aku gatau, biasanya cuma hasil riset dari artikel-artikel web. Jadi kalo ada kesalahan, mohon dimaklumi🙏🥺
Atau mungkin, bisa coment kalo kalian tahu itu salah, biar bisa direvisi.
Kosakata berantakan dan mungkin malah ganyambung, harap dimaklumi juga. Aku lagi dalam tahap belajar😭
Kenapa giginya bisa sama😭😭
23-12-20.