[S1] Enigma ft Hwang Hyunjin

By zyrurui

57.6K 11.6K 3.3K

Farel, lelaki berusia tiga puluh enam tahun yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Lima belas tahun yang l... More

开始 ❤️
一 | Sore itu
二 | Dua Orang Asing yang Dipertemukan Kembali
三 | Makan Malam yang Tidak Diinginkan Farel
四 | Pelukan di Dalam Bioskop
五 | Salah Orang
六 | Hari Sial
七 | Namanya "Mas"
八 | Niat Terselubung
九 | Apakah Aku Jatuh Cinta Lagi?
十 | Farel Jujur
十一 | Sarapan di Rumah Farel
十二 | Lamaran
十三 | Tipe Idaman
十四 | Ciuman Pertama
十五 | Gara-gara Ciuman Itu
十六 | Minta Izin
十七 | Masalah Hati
十八 | Waktu yang Salah
二十 | Penolakan Airis
二十一 | Tidak Menyerah
Hello, it's me
二十二 | Pertengkaran
二十三 | Kenyataan Dari Sudut Pandang yang Berbeda
Season 2 is coming soon!

十九 | Bawa Pulang Farel

1K 264 67
By zyrurui

Gue keluar dari kamar mas Alam seraya menggendong Jojo. Mas Alam tadi menyuruh gue untuk ke ruang tamu karena ada temannya datang. Katanya temannya itu tim wedding organizer yang akan membantu pernikahan kita. Sesuai jadwal, hari ini akan menentukan konsep pernikahan, undangan dan sovenir.

Begitu sampai di ruang tamu, gue disambut dengan suara gelak tawa. Mas Alam dan kedua temannya yang duduk di hadapannya sedang tertawa, entah menertawakan apa. Namun, perlahan-lahan berhenti ketika gue ambil tempat di sebelah mas Alam. Perhatian mereka segera teralihkan ke gue. Jujur, gue tidak nyaman diperhatikan oleh orang-orang selain mas Alam.

"Ini calon istri kamu, Lam? Muda banget," celetuk seorang perempuan berambut pendek, nyaris seperti lelaki rambutnya.

"Iya. Namanya Airis. Usianya baru dua puluh satu tahun," ucap mas Alam seraya merangkul pinggang gue. "oh, ya, Airis, ini Evelyn dan Tirta. Mereka tim WO yang akan bantu pernikahan kita."

Gue tersenyum tipis pada keduanya, lalu menjabat tangan kedua orang tersebut dengan kaku. Sebenarnya dapat gue lihat kalau mereka terkejut. Yah, mereka terkejut lantaran gue berusia jauh di bawah mas Alam. Jaraknya tujuh belas tahun, sih.

"Kok kamu mau, sih, sama om-om, Ris? Alam ini termasuk om-om, loh, untuk seusianya kamu." ujar Evelyn. Suaranya terdengar begitu keheranan.

"Alam pakai pelet kali, ya. Buktinya Airis mau aja," Tirta berseloroh, lalu tertawa.

Gue hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Sejatinya tidak peduli mau usia berapa kalau mas Bian setuju dan gue nyaman, pasti gue mau. Sekalipun om-om seperti mas Alam ini.

Ganteng dan umur belakangan.

Duit nomor dua.

Akhlak nomor satu.

Prinsip gue.

"Airis masih kuliah kan?" tanya Evelyn lagi.

"Mau sidang, kak," jawab gue kalem.

Evelyn terkejut sampai matanya melebar. "Belia banget, duh. Gue sidang aja baru umur dua puluh empat. Airis cepet banget,"

"Dulu aksel dua kali. Makanya cepet kelar, kak." jawab gue agak sombong.

Yah, tidak munafik. Gue pernah aksel di SMP dan SMA makanya gue cepat masuk kampus. Selain itu, guru pribadi gue mas Bian sendiri. Lelaki itu otaknya cerdas luar biasa. Ia mampu segala pelajaran eksak dan bahasa. Makanya gue bisa secepat itu karena bantuan mas Bian juga.

"Airis gak ada niatan ambil magister gitu? Daripada nikah sama om-om," lagi Tirta berceletuk.

Gue sontak menatap mas Alam. Mukanya terlihat masam-mungkin karena gue ditanyai terus dan mas Alam diolok-olok om-om terus. Padahal gue mau tanya boleh kuliah lagi atau tidak. Secara setelah menikah, gue akan ditanggung mas Alam.

"Kamu mau kuliah lagi?" tanya mas Alam ke gue.

"Kalau mas kasih izin. Kalau enggak, ya, gak usah." jawab gue.

"Dipikir nanti dulu, ya? Kan kamu juga belum lulus,"

Gue menganggukkan kepala, menyetujui saran lelaki keturunan Tionghoa ini.

"Aslinya si Alam gak mau, tuh. Kan dia udah tua. Mikirnya ke arah momongan udah," ganti Evelyn yang berceletuk. Tirta tertawa menanggapinya.

Sementara mas Alam, tampak malu-malu. Semburat merah terlihat di pipinya. Gue seketika melihat jawaban atas celetukan Evelyn dari wajahnya mas Alam. Sepertinya memang nanti mas Alam tidak akan memberikan gue izin untuk kuliah lagi.

"Udah, yuk! Bahas konsepnya biar cepat! Mau jalan sama Airis sebentar lagi," mas Alam berkata, mengalihkan pembicaraan.

Kedua teman mas Alam menganggukkan kepalanya. Evelyn lantas memberikan beberapa katalog pernikahan. Demikian pula Tirta. Mas Alam mengambil salah satu katalog yang diberikan oleh Evelyn, sedangkan gue baru mengambilnya setelah menurunkan Jojo dari gendongan. Kucing munchkin ini mengeong beberapa kali seolah tidak terima diturunkan. Akhirnya gue membaca katalognya sembari memangku Jojo.

"Alam sama Airis mau nikahnya di mana? Gedung atau outdoor? Dari referensi kami sendiri konsep bisa disesuaikan. Jadi konsep outdoor bisa dipakai di indoor juga," ujar Evelyn.

Gue melirik mas Alam yang serius membolak-balikkan halaman katalog. Ia tampaknya sedang melihat konsep tempat pernikahan. Ah, kalau punya gue sendiri ini katalognya berisi referensi undangan.

"Airis gimana? Outdoor apa indoor?" tanya mas Alam tanpa melihat ke arah gue.

"Hm...aku maunya di dalam ruangan aja, Mas. Takut hujan," jawab gue jujur. Gue anti air hujan sekali.

Bukannya bisa berubah jadi duyung kalau kena air hujan, melainkan langsung demam.

"Iya, sih. Airis gak bisa kena air hujan. Dia punya imunitas rendah," katanya. "jadi ambil indoor aja."

Mas Alam kemudian menunjukkan referensi yang dipegang olehnya. Gue bersama dengannya melihat-lihat konsep pernikahan di buku itu. Ada beberapa yang bagus dan cocok dengan gue. Namun, harganya tidak cocok sama sekali. Mahal banget untuk konsep yang gue pilih dalam hati.

Konsep saja hampir menyentuh seratus juga. Belum katering, belum gaun, belum tata rias, belum undangan, belum sovenir dan masih banyak lagi. Astaga. Menikah itu mahal ternyata.

Beberapa saat dilalui dengan diskusi konsep, gue dan mas Alam akhirnya menemukan konsep bagus, tetapi sedikit lebih murah. Konsepnya menyadur dari Indian reception wedding. Untuk undangannya mas Alam yang memilih. Konsepnya classy dan elegan dengan dasar warna hitam. Untuk sovenir, gue sendiri yang pilih. Gue pilih botol tumbler dari kaca. Tadinya pilih sendok dan garpu dari melamin, cuma mas Alam tidak setuju.

Terlalu murce katanya.

Ya, sudah.

"Jadi pilihannya sudah fiks?" tanya Evelyn ketika kami sudah selesai berdiskusi.

"Sudah, sih. Semuanya sudah fiks." mas Alam menjawab, mewakili kami.

"Oke. Jadi minggu depan tinggal diskusi soal gaun, tata rias, dan katering aja,"

Gue menggembungkan pipi sambil mengelus kepala Jojo. Terbersit gue ingin pakai gaun yang tidak terlalu besar bagian bawahnya, seperti kurungan ayam begitu. Gue mau yang menjuntai bebas, tetapi sedikit mekar. Pada saat sedang berpikir, gue tidak sengaja bertatapan dengan Tirta. Lelaki itu memberikan tatapan penuh selidik-kalau gue tidak salah.

"Berhubung diskusi udah selesai, gue dan Tirta pamit undur diri, Lam. Habis ini masih ada janji dengan klien lain," ujar Evelyn seraya melihat arloji di tangannya.

"Oke. Gak masalah."

Evelyn dan Tirta kemudian membereskan katalog yang mereka bawa. Mereka sempat berbincang sejenak terkait pembayaran konsep tersebut. Namun, hanya sebentar saja. Evelyn dan Tirta akhirnya pamit pergi dari rumah mas Alam. Kini di rumah tersisa aku, mas Alam dan Jojo.

"Kapan sidang, Ris?" tanya mas Alam ketika aku membereskan cangkir kopi di meja ruang tamu.

"Enggak tau, Mas. Skripsiku masih di jalan." jawab gue alakadarnya.

Skripsi gue agak tersendat perkembangannya memang. Meski demikian, hasil penelitian sudah dikantongi dengan baik. Dari data hingga dokumentasi sudah didapatkan. Akan tetapi, untuk pembahasan dan studi literatur untuk mendukung hasil penelitian masih belum selesai. Hal ini terjadi karena pikiran gue terganggu. Yang ganggu siapa lagi kalau bukan mas Farel.

Duda rusuh, tapi ganteng.

Mengabaikan pikiran yang mulai tertuju pada mas Farel, gue membawa cangkir tersebut ke dapur. Selama perjalanan ke dapur, gue ditemani Jojo. Kucing ini mengiringi langkah gue seraya mengeong. Dia tampak sedang bersenandung dengan bahasa kucingnya.

"Mas Alam!" gue memekik kaget karena tangan lelaki ini melingkari perut saat hendak mencuci cangkir kotor.

"Kaget banget gitu," celetuknya, lalu tertawa.

Suara tawanya masuk tanpa permisi ke dalam telinga. Adem sekali gitu rasanya.

"Ya..." gue berhenti bicara. Tersedak ludah sendiri. "...baru pertama kali kayak gini."

"Mas baru pertama kali juga, sih, kayak gini. Dulu gak pernah. Kaku banget malah," ujarnya.

Gue memutus konversasi sejenak dengan mencuci cangkir-cangkir itu. Pada saat yang sama, gue menikmati kenyamanan back hug darinya. Sungguh, banyak sekali kupu-kupu imajiner di dalam perut karena momen ini.

"Ris," panggil mas Alam usai keran air gue matikan barusan.

"Kenapa, Mas?" tanya gue.

"Kamu gak masalah kan nikah sama mas? Umur kita terpaut jauh, loh, Ris. Selain itu...mas seperti merenggut masa depan kamu," kata mas Alam, yang terdengar agak sedih.

"Hm...gak masalah, sih, walau umur kita beda jauh. Umur cuma angka," gue mencoba untuk menghilangkan stigma buruk dalam pikirannya. "Lagian kenapa mas bisa berpikir demikian? Cuma nikah, kok. Bukan berarti masa depanku berhenti kan?"

"Gak gitu, Ris. Mas udah tua, loh, ini. Takut nanti terjadi banyak hal,"

"Gak masalah, Mas. Dijalani aja dulu." tandas gue.

Suara air mengalir di wastafel berhenti tatkala gue mematikan keran airnya. Sama halnya dengan konversasi antara gue dan mas Alam barusan, berhenti juga. Namun, mas Alam mendadak melepaskan pelukannya dan membalikkan gue ke arahnya. Tatapan kami seketika bertemu.

"Kamu yakin kan menikah sama mas?" tanya mas Alam sekali lagi. Dari tatapannya terpancar jelas kalau ia ragu.

Gue menganggukkan kepala. "Iya. Aku yakin."

Tidak ada ucapan yang gue dapatkan setelah menjawab pertanyaannya, kecuali rasa tidak percaya diri darinya. Masihlah gue melihat keraguan di matanya dan mas Alam terlihat tidak percaya diri. Entah, gue tidak mengerti dengan lelaki ini.

"Mas sayang sama kamu. Jangan pergi," pintanya sebelum memeluk gue di depan wastafel.




"Mas Yan, gue mau keluar dulu sama temen," Galuh berpamitan pada Fabian yang sedang menonton acara On The Spot di televisi.

Lelaki yang dipanggil oleh Galuh, menolehkan kepalanya sejenak. Tanpa menjawab, Fabian kembali memberikan atensinya ke arah televisi. Galuh dari sisi kiri, menghampiri kakak sepupunya itu dan mengulurkan tangannya.

"Gue mau jalan dulu, Mas. Mas Yan mau titip gak?" tanya Galuh pada lelaki berstatus sesepuh di rumah ini.

"Kamu emang mau kemana? Tumben malam-malam keluar?" Daripada menjawab, Fabian malah bertanya ke Galuh.

Galuh mendudukkan dirinya di samping Fabian. Lelaki berusia sembilan belas tahun ini pun menatap Fabian dari samping. "Gue mau ke town square, Mas. Temen gue mau traktir makan. Yah, kan gak boleh nolak rezeki. Makanya gue ikut," katanya.

"Jangan lama-lama! Jam sembilan pulang!" seru Fabian, yang langsung diangguki oleh Galuh.

"Iya, Mas. By the way, gak mau titip?" tanya Galuh sekali lagi.

Fabian menggelengkan kepalanya. "Habis ini Airis pulang. Mas udah titip makan ke dia."

"Ah...ya udah. Gue berangkat dulu," Galuh berpamitan seraya mengulurkan tangannya pada Fabian. Seperti yang dilakukan Airis, Galuh mencium tangan Fabian. Setelahnya lelaki itu melenggang keluar dari rumah.

Galuh masuk ke dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah. Ia duduk di samping pengemudi, yang tak lain tak bukan adalah Farel. Lelaki itu yang mengajak Galuh keluar kali ini untuk makan malam sekalian curhat.

"Airis belum pulang?" tanya Farel seraya mengemudikan mobilnya di jalanan kompleks.

"Belum. Biasanya mbak kalau udah di rumah mas Alam bisa sampai malam," jawab Galuh. Lelaki itu memutar kepalanya ke arah Farel. Tampak olehnya yang lebih tua menggeram kesal.

"Saran dari gue nih mas Farel, mending cari cewek lain aja. Mbak Ai juga kan udah dilamar. Mau nikah abis wisuda. Lebih baik nyari yang lain," celetuk Galuh. Ia memutar kepalanya ke arah jendela, menatap sekilas pertokoan pinggir jalan.

"Kamu tuh, niat bantu gak, sih? Dibilang mau Airis malah suruh nyari yang lain!" protes Farel.

Galuh mengedikkan bahunya. "Yah...gue, sih, makin kesini makin pesimis. Mas Farel gitu aja. Gak ada kemajuan. Malah hubungan mbak Airis sama mas Alam aja yang semakin di depan kek Yamaha,"

Farel menginjak rem, memberhentikan mobilnya di depan lampu merah. Ia menghela napasnya sejenak. "Saya udah maju asal kamu tau. Cuma nembus tamengnya yang susah. Dokter Bian susah ditembus. Dia benci sama keluarga saya,"

"Lah, kok gitu?" tanya Galuh penasaran.

"Ayah saya itu teman dekat om Arman. Ibu saya masih sepupu dengan tante Lingga," ujar Farel.

Galuh menaikkan salah satu alisnya. Tidak mengerti. Yang ia tahu hanya nama Arman, ayahnya Bian dan Airis. Ia tidak tahu siapa itu Lingga.

"Om Arman itu ayahnya dokter Fabian dan Airis. Sementara tante Lingga itu ibu tiri mereka. Ceritanya keduanya menikah saat dokter Fabian duduk di bangku SMP. Pernikahan mereka diam-diam terjadi sampai beberapa tahun. Peran orang tua saya di sana menutupi pernikahan mereka dari ibunya dokter Fabian beserta keluarganya. Ibu saya bahkan menyuruh almarhum tante Nina bercerai dengan suaminya. Kata lainnya mendukung pernikahan om Arman dan tante Lingga. Tante Nina gak mau. Beliau tetap mempertahankan pernikahan itu sampai dirinya benar-benar dibuang oleh suaminya," Fabian bercerita pada Galuh.

Galuh tertegun. Baru tahu dirinya akan cerita tersebut. Selama ini dirinya hanya tahu kalau Airis dan Fabian anak yatim piatu. Ayahnya pergi entah kemana. Namun, ternyata punya keluarga lain.

"Perselingkuhan itu terjadi waktu mbak Airis udah lahir atau gimana?" tanya Galuh.

"Saya kurang tau. Bunda enggak cerita. Mungkin bagian yang itu bunda saya belum tau. Tapi ada yang diceritakan oleh bunda saya. Om Arman enggak pernah dateng sewaktu Airis lahir sampai pemakaman almarhum tante Nina. Lepas tangan begitu saja," jawab Farel.

Lagi, yang lebih muda tertegun. Tepatnya terkejut. Tidak menyangka akan setragis itu.

"Jadi...gue tau alasannya kenapa mbak gue jomblo dari lahir. Mungkin berkaca dari pengalaman orang tuanya, mas Bian enggak pernah ngizinin mbak Airis pacaran," Galuh tiba-tiba menarik kesimpulan. Ia teringat kehidupan Airis belakangan ini setelah mendengar cerita Farel.

"Mas Bian selalu jaga mbak. Menyembunyikan mbak dan gak pernah mengenalkan mbak Airis ke temannya. Gue tau sendiri karena gue cukup dekat dengan mereka," Galuh berhenti, tersenyum simpul sejenak. "lucunya...gue baru tau alasannya."

"Yah...tapi dokter Fabian ambil keputusan yang salah. Ia menikahkan adiknya begitu saja dengan temannya. Padahal belum tau perasaan Airis," Farel setengah menggerutu.

"Kalau diliat, sih, Mas...aslinya mbak Ai tuh naksir juga sama mas Alam. Mereka cocok gitu menurut gue. Cuma-"

Ucapan Galuh terpotong karena Farel tiba-tiba membunyikan klaksonnya beberapa saat. Bunyinya yang keras membuatnya terkejut. Namun, Galuh terheran kemudian lantaran tidak menemukan penghalang di depan mobilnya. Seketika ia paham alasan Farel bertingkah seperti itu.

Cemburu.

"Gini mas Farel...coba kalau deketin mbak Airis lebih lembut. Maksud gue beri perhatian. Secukupnya tanpa berlebihan. Jangan maksa mbak Airis untuk menerima mas Farel. Main lembut aja. Mbak gue tipikal orang yang baper kalau disayang dan diperhatikan. Secara dia kurang kasih sayang walau mas Bian selalu bertindak seperti ibu dan ayah untuknya," ujar Galuh memberi saran.

"Tapi Airis keras kepala, Luh! Susah dibujuk. Mana kemarin tengkar lagi!" gerutunya. "sama adeknya aja tengkar terus. Lagi sama masnya."

Galuh tidak menanggapi gerutuan Farel. Ia memilih memalingkan mukanya ke arah jendela, sehingga konversasi di antara mereka terputus begitu saja. Farel pun tidak berbicara kembali. Ia mengemudikan mobilnya menuju town square. Tempat mereka akan makan malam saat ini.

Butuh beberapa saat bagi Farel dan Galuh tiba di town square. Mereka disambut oleh lentera-lentera kapsul yang menggantung, pertokoan, suara lagu kpop dan orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Keduanya berjalan beriringan di sepanjang jalan berpaving di sana. Keduanya bak orang pacaran yang sedang marahan. Tidak ada konversasi ketika berpijak di dalam area itu.

Sesaat melintasi salah satu tempat makan, Galuh berhenti tiba-tiba. Tidak sengaja ia melihat Alam yang sedang tersenyum kepada orang di hadapannya. Melalui dinding restoran yang terbuat dari kaca, Galuh bisa melihat Alam di dalam sana dengan jelas.

"Kenapa berhenti?" tanya Farel ketika mendapati Galuh berhenti di belakangnya.

Ternyata ia melihat Alam di dalam sana dengan seorang perempuan. Dari gesturnya sudah terlihat kalau itu Airis. Galuh kenal betul gestur tubuh sepupunya itu.

Galuh melirik lagi ke dalam restoran sejenak, kemudian lanjut berjalan. "Mbak Airis sama mas Alam di dalam sana,"

"Ada Airis?" tanya Farel. Tidak percaya.

"Kayaknya di dalam sana. Soalnya bareng mas Alam tadi kan," jawab yang lebih muda.

Tanpa menunggu Galuh, Farel berjalan tergesa-gesa ke restoran sebelahnya. Diikuti Galuh, Farel masuk ke dalamnya. Dokter spesialis kandungan ini benar-benar cemburu. Ia ingin bertemu dengan Airis dan mengajaknya pulang. Persetan ada tunangannya.

"Mas, yakin?" tanya Galuh cemas. Pasalnya Farel berjalan menuju meja Airis dan Alam.

"Yakin," jawabnya tegas.

Hampir sampai di meja Airis berada, Farel berhenti. Galuh sampai menabrak lelaki itu karena berhenti mendadak. Usut punya usut, Alam beranjak dari tempat duduknya. Lelaki itu entah pergi ke mana, tetapi sepertinya ke kamar mandi.

Farel lanjut mendekati meja Airis. Ia dalam sekejap mendapati raut wajah terkejut dari wanita pujaan hatinya. Ia, tersenyum tipis kala mimik wajah Airis berubah lagi. Airisnya resah.

"Makan malam?" tanya Farel basa-basi.

"I-iya," Airis menjawabnya agak gugup. "Kenapa Galuh bisa sama mas Farel?"

Tatapan Airis mengarah ke adik sepupunya. Galuh malah memanggil pelayan. Lelaki ini pun memesan makanan. Ia mengabaikan pertanyaan Airis. Sengaja agar kakak sepupunya tidak banyak tanya.

"Gak sengaja ketemu. Kan, Luh?" tanya Farel, meminta pertolongan Galuh.

"Iya, mbak. Gue bosen di rumah berdua sama si kelinci beringas. Mending gue jalan-jalan aja. Eh, malah ketemu mas Farel," jawab Galuh beralibi.

Airis tampak tidak percaya dengan jawaban adiknya, tetapi ia tidak bertanya apapun lagi. Ia memilih berdoa agar Alam lekas selesai dari kamar mandi. Dirinya butuh lelaki itu untuk melindunginya dari Farel.

"Kencan sama Alam?" tanya Farel. Sengaja ia menatap tajam Airis agar wanita itu ingat ancamannya kemarin.

"Iya. Tadi habis nyari gedung buat nikah, terus kencan. Eh, gak sengaja ketemu mas Farel," Airis menjawab dan memberi penekanan terhadap kata nikah.

"Saya doain batal nikah tau rasa," cibir Farel.

Airis memelototkan matanya. Tidak terima didoakan yang demikian. "Mas Farel!"

Alih-alih menanggapi, Farel memicingkan matanya. Lelaki itu spontan berdiri dan menarik tangan Airis. Tarikannya kuat sampai Airis berdiri dari kursinya.

"Mas! Sakit!" seru Airis. Tarikan Farel menyakiti lengannya.

"Ayo pulang!" seru Farel tak kalah dari gadis itu.

"Enggak! Mau pulang sama mas Alam!" Airis masih meronta agar tangannya dilepaskan. Sayangnya tidak membuahkan hasil. Yang ada tangannya malah semakin sakit.

Farel akhirnya berhenti di depan restoran. Ia berbalik, menghadap ke Airis yang terlihat mendung akan menangis. Sebisa mungkin Farel mengubah ekspresinya lebih lembut agar Airis tidak ketakutan.

"Pulang sama mas, ya? Mas mau kasih kamu tau sesuatu juga. Penting banget," pinta Farel.

"Aku gak bisa ikut mas Farel!" bantah Airis. "Mas Alam nanti nyariin! Mas Bian juga pasti marah kalau tau aku pergi sama mas Farel!"

"Ai, sebentar. Gak lama, kok. Semuanya bisa di-handle." kata Farel meyakinkan.

Tanpa menunggu Airis membalas, Farel menarik gadis itu agar berdiri di sampingnya. Digenggamnya tangan Airis, dan dibawa pergi gadis itu dari restoran. Farel mencari jalan keluar lain yang lebih aman, yang sekiranya Alam tidak akan melihat Airis.



Sementara itu

Galuh mendesah pelan ketika melihat Airis diseret oleh Farel keluar dari restoran. Bukan karena kasihan melihat kakak sepupunya dibawa pergi begitu saja, melainkan karena Farel. Lelaki itu janji akan mentraktir dirinya makan malam, tetapi malah keluar dari restoran. Tanpa meninggalkan sepeser uang pun untuknya.

Melihat Farel yang sudah menghilang dari restoran, Galuh semakin sedih. Pupus harapannya dibayari makan di restoran ini. Galuh terpaksa memakai uangnya sendiri untuk membayar makanannya.

"Galuh?"

Yang punya nama menjengit kaget saat ada suara menegurnya. Lelaki yang bersuara barusan adalah Alam, tunangannya Airis. Alam tampak heran mendapati Galuh di mejanya, bukannya Airis.

"Eh, mas Alam. Dari mana?" tanya Galuh pura-pura tidak tahu.

"Dari kamar mandi," jawabnya lekas. "Airis mana? Kok gak ada?"

Alam masih tampak keheranan. Ia tidak menemukan Airis, kecuali tas selempangnya. Aneh. Airis pergi padahal baru ditinggal ke kamar mandi.

"Mbak katanya ke kampus. Ada bimbingan. Keburu, sih, soalnya dosennya baru bisa ketemu sekarang," dusta Galuh.

Ia kan di kubu Farel.

"Tapi tasnya di sini!" sanggah Alam. Ia lantas mengambil tas milik Airis, membukanya dan mengecek isinya. Ia menemukan ponselnya masih di dalam tas.

"Lupa kali, Mas," timpal Galuh agak gugup. Dia baru sadar kalau Airis meninggalkan tasnya.

Lelaki yang lebih muda, menatap Alam penuh prasangka. Alam tampak tidak percaya dengan alibinya. Lelaki itu ragu, bahkan sekarang mengecek ponsel Airis. Alisnya lantas bertaut ketika sedang mengoperasikan ponsel tunangannya itu.

"Kamu ketemu Airis dimana?" tanya Alam ke Galuh, tak lama kemudian.

"Di sini. Pas gue nyamperin, mbak kayak keburu gitu," Galuh setengah beralibi.

"Oh...ya, sudah," Alam menyahut pelan seraya memasukkan kembali ponsel Airis ke dalam tasnya. "tasnya Airis saya bawa. Besok saya kasih sekalian saya ajak Airis pergi."

Galuh mengangguk. "Iya, Mas. Gue kasih tau."

"Saya duluan Galuh," pamit Alam.

Galuh mengiyakan pamitan Alam. Lelaki berusia tiga puluh delapan tahun itu akhirnya beranjak dari restoran ini, meninggalkan Galuh dengan kenestapaannya. Yang lebih muda, menghela napasnya perlahan.

"Nasib tukang tipu. Kena tipu kan,"


Continue Reading

You'll Also Like

YES, DADDY! By

Fanfiction

312K 2K 10
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
207K 4.8K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
365K 22.2K 27
"I'll do everything for you." -Lian ⚠️ mengandung kata kata kasar. Entah kesialan apa yang membuat Lilian Celista terlempar ke dalam novel yang baru...
90.7K 10.1K 30
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...