"Mbak, lo ngobrol apa aja sama mamanya Mas Bayu?" Felix bertanya pada Shasha. Wajahnya masih memakai masker panda.
Hari ini Shasha bisa bangun pagi karena gangguan dari Haris yang mau numpang mandi. Teriakan dan gedoran Haris begitu menggelegar sampai mampu menyeret Shasha keluar dari dunia mimpinya dan berakhir di dapur ini bersama Felix.
Nina baru saja berangkat. Kini hanya ada Shasha yang sedang menyeduh teh sambil menunggu mie instannya matang.
"Kenapa pada mau tau sih?" tanya Shasha membawa teh panasnya ke meja.
"Kepo aja," jawab Felix. "Kalian berdua pernah pacaran terus kemarin lo ngobrol sama nyokapnya Mas Bayu, siapa yang nggak kepo," jelasnya sambil memakan bakwan jagung yang ada di saringan minyak sebelah kompor.
"Ada."
"Siapa? Mika aja keponya udah sampai ubun-ubun."
Shasha memindahkan mie-nya ke mangkuk. "Ngobrol apaan, santai doang nggak ada yang penting."
"Yakin?" Felix memicing curiga. Sama sekali tidak percaya pada jawaban seniornya ini. "Nggak percaya, gue. Ceritain ajalah, sama gue ini, nggak akan gue cepuin deh."
Felix terus mendesak, sepertinya tidak akan berhenti sampai jawaban Shasha memuaskan hasrat kekepoannya.
"Kepo amat sih jadi orang?" gerutu Shasha memasukkan sesendok nasi.
Felix mengendikkan bahu acuh tak acuh.
"Gue cuma ditanya-tanyain soal hubungan gue sama Bayu dulu, kenapa bisa putus, pokoknya seputar itulah," jawab Shasha akhirnya tidak ingin terus diberondong dengan pertanyaan.
"Oooh jadi nyokapnya Mas Bayu tau kalian pernah pacaran," gumam Felix sambil mengangguk-angguk paham.
Shasha mengiyakan. "Gara-gara Calvin, ngomong asal jeplak aja."
"Ngomong apa lagi?" tanya Felix.
"Banyak. Katanya minta maaf kalau Bayu pernah bikin kesel atau sakit hati, didoain biar cepet dapet jodoh dan punya pacar lagi. Lo tau nggak sih, dibilangin kayak gitu rasanya seakan-akan gue gamon," curhatnya panjang lebar mengerucutkan bibir sebal.
"Emang lo beneran udah move on dari Mas Bayu?" tanya Felix menopang pipi menghadap pada Shasha yang duduk di sebelahnya.
Shasha terdiam beberapa saat sambil mengerjap. Tampak sedang berpikir. Kemudian menghela napas panjang sambil memijat kepalanya.
"Kalau boleh jujur sih belum sepenuhnya," jawab Shasha kembali menyendok nasi pecelnya.
"Kebayang sih, orang sebaik Mas Bayu pasti susah banget dilupain."
Shasha mengangguk membenarkan. "Dulu waktu maba, gue sering dimarahin sama senior gara-gara rada lemot kalau mikir, gue kan sekelompok sama dia tuh pas ospek univ sama fakultas. Bayu ngebelain gue waktu itu, malah dia marahin balik seniornya. Dari situ gue sama Bayu mulai deket, apa-apa bareng gue sampai kayaknya dia nggak punya temen selain gue. Tapi akhirnya gue suruh gabung sama cowok-cowok yang lain sih. Ya kali empat tahun kuliah temennya gue doang," kata Shasha cerita panjang lebar.
"Pokoknya Bayu tuh baik banget orangnya, selalu nemenin, ngajarin, ngedukung gue. Katanya gue tuh sebenernya nggak lemot, cuma butuh waktu aja kalau mikir. Gue nggak tau sih itu kalimat pendukung atau ngejek dengan cara halus, tapi apapun itu kata-kata Bayu bisa bikin gue lebih baik."
Felix mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Shasha dengan seksama hingga tidak kehilangan satu katapun. Ia menikmati cerita dari seniornya ini.
"Jadi intinya lo belum move on?" tanya Felix.
Shasha mendecak. "Udah dibilangin belum sepenuhnya, berarti sebagian hati gue udah ikhlas kalau putus!" jawabnya jadi agak nyolot. "Lagian apa yang bisa gue harapin dari cowok yang udah punya pacar?"
Felix manggut-manggut. "Terus sekarang nggak ada orang yang lagi lo taksir gitu?"
Mendengar pertanyaan tersebut membuat Shasha mendadak senyum-senyum sambil memegangi pipinya. "Apasih Lix, kok lo tanya kayak gitu!"
Sebelah alis Felix terangkat, heran melihat respon Shasha. Aneh juga lihat Shasha mendadak salah tingkah begini. Di sisi lain kelihatan imut tapi di sisi lain rasanya Felix pengin nabok.
"Lihat respon lo kayak gini jawabannya pasti ada."
"Apasih Lix!"
"Kelas jam berapa, lo?"
"Jam satu."
"Tumben udah bangun."
"Kelaperan."
"Oh pantes. Yaudah gue balik kamar dulu."
"Hm." Shasha melambaikan tangan pada cowok itu karena dia sedang menyeruput mie.
Felix berjalan menuju kamar, meletakkan ponsel ke telinga.
"Puas, lo? Dasar kepo!"
**
Shasha membuka mata sambil tersenyum. Ia belum pernah merasakan tidur senyenyak ini sejak memilih jurnalistik sebagai konsenterasi jurusannya. Beberapa saat dia mengerjapkan mata memandang ke langit-langit. Hingga dia meraih ponsel di sebelah bantal dan melihat jam di layar, 13.05.
"SHIT! Gue ada kelas!"
Panik, Shasha melompat turun dari tempat tidur bergegas mengambil baju dan celana jins dalam lemari kemudian mengganti pakaian. Dengan cepat meraih tas di kursi meja belajar lantas berlari keluar kamar tanpa dandan atau sekedar menyisir rambut.
"CALVIIIIIN!" teriaknya sambil menuruni tangga.
"Ape?" balas Calvin yang baru keluar dari kamar, sudah memakai baju rumahan.
"Anterin gue ke kampus please. Udah telat nih gue!" pinta Shasha berlari mendekati. "Lo satu-satunya harapan gue, tolooooong!"
Calvin mendecak. "Yaudah gue ganti celana dulu," jawabnya tidak ikhlas.
Shasha menahan lengan cowok itu sambil tersenyum lebar. "Nggak usah ganti, celana lo cukup sopan buat jalan keluar kok."
"Panas cuy, males gue kalau harus gosong!"
"Ya elah, ke kampus doang cuma lima menit!"
Shasha menarik paksa cowok itu keluar, tapi Calvin menahan langkahnya.
"Apa lagi?" tanya Shasha frustrasi.
"Kunci motornya di kamar," balas Calvin menyentakkan tangan lepas dari genggaman cewek itu lantas mengambil kunci motornya ke kamar. "Ayo!" ajaknya setelah menutup pintu.
Sepanjang jalan punggung Calvin dipukul karena Shasha yang mau kebut-kebutan. Mau marah tapi tidak tega jika harus memarahi perempuan. Akhirnya cowok itu pasrah saja dan mengikuti apapun yang diinginkan Shasha.
Sesampainya di kampus, Shasha langsung turun dari motor sambil mengucapkan terima kasih lantas berlari masuk. Sialnya UM adalah kampus yang beesar dan bodohnya Shasha tidak mau diturunkan di depan fakultas. Jadilah dia memilih jalan pintas agar bisa cepat sampai.
Shasha berlari menyeberangi halaman dari gedung FDS ke FISIP, tapi dia tidak melihat di sana ada anak-anak semester satu sedang main bola sembarangan. Salah satu dari mereka menendang bola dengan kecang yang mengarah ke Shasha. Detik berikutnya bola tersebut berhasil menabrak Shasha yang sedang berlari hingga membuatnya terjatuh.
Beberapa saat Shasha masih sadar dan berusaha kembali berdiri, tapi di detik berikutnya gadis itu pingsan.
Nasib buruk seorang Shasha hari ini benar-benar tidak terduga.
"Heh pingsan woi!" pekik seseorang.
Mereka para mahasiswa yang bermain bola segera menghampiri Shasha.
"Gimana ini?" tanya cowok bersuara besar.
"Bawa ke klinik buruan!" saran salah satu dari mereka.
"Yaudah gue aja," ujar cowok tinggi di antara empat mahasiswa yang sedang bermain bola itu.
Pemuda itu mengangkat tubuh Shasha lalu membawanya ke klinik sementara temannya yang lain membuntuti. Salah satu dari mereka pergi ke kantin membeli makan dan teh panas.
"Permisi," ucap pemuda tinggi itu.
"Lho, Sena, ini kenapa?" tanya Mbak Ira, penjaga klinik yang terkejut membawa pemuda tinggi itu menggendong seorang gadis.
Pemuda itu bernama Sena.
Shasha meletakkan Shasha dengan hati-hati di brankar. "Mbak, tolong diperiksa, dia pingsan habis kelempar bola."
Mbak Ira bergegas mengecek keadaan Shasha.
"Nggak pa-pa kok," kata Mbak Ira santai.
"Beneran? Itu tadi kepalanya kena bola loh."
"Yaudah nanti ajak ke rumah sakit buat diperiksa lebih lanjut."
Sena menghela napas panjang memandang Shasha yang masih belum sadar. Melihat pemuda itu memandangi si gadis dengan seksama membuatnya tersenyum.
"Namanya Shasha, anak ilkom jurnal," kata Mbak Ira.
Sena seketika menoleh. "Ini mantannya Mas Bayu?" tanyanya.
"Kamu kenal Bayu?"
"Iya, kemarin sempet kerja bareng buat brand-nya anak fashion." Sena mengembalikan pandangan ke cewek itu.
P.s : Sena & Sonya belum kukasih visual, tapi mereka bakal muncul di special series :))
Terima kasih sudah mampir ke sini dan meninggalkan jejak :)
Muchlove,
Sidoarjo, 30 November 2020
-Icha-