CERAUNOPHILE [Completed]

Bởi Listikay

11.7K 2.3K 546

Sama halnya dengan sebuah lilin di tengah gelapnya malam, seperti itulah hubungan benang raja dengan sang gun... Xem Thêm

Prolog
1. Dewa Guntur
2. Benang Raja
3. He's dangerous
4. Terlalu dalam
5. Di bawah rinai hujan
7. Menetap
8. Hangat tanpa dekap
9. Bukan sekedar menapaki
10. Titik temu
11. Adiwarna
12. Tidak berujung
13. Kita ini apa?
14. Suatu sore
15. Fall in love
16. Eksentrik
17. Liar
18. The night
19. Sepenggal kalimat
20. Killer lightning
21. Memeluk rindu
22. Dawai asmara
23. Lakon luka
24. Hilang untuk pulang
25. Binar
26. Senandung senja
27. Ujung koridor
28. Ingin bersua
29. Mungkin lelah
30. Sebuah rahasia
31. Renjana
32. Singkat
33. Retrouvailles
34. Segenap rasa
35. Menawan
36. Membuka luka lama
37. Lean on you
38. Menampik rasa takut
39. Nestapa
40. Kubangan hitam
41. Tertegun
42. Lebih ringan
43. Beranjak sembuh
44. Hilang arah
45. Broken
46. Akhir
47. Akhir (2)
48. Seutas karsa
49. Menjelang pagi
50. Pulang
Epilog
Extra Part
Mengikis Rasa

6. Beban lara

260 62 4
Bởi Listikay

Pelangi tidak pernah menyangka jika apa yang lihat sekarang adalah suatu hal yang nyata. Tepat saat ia turun dari atas motor dengan gerimis yang menemaninya selama perjalanan.

Sebuah senggolan di lengannya berhasil membuat Pelangi tersadar. Lantas mengerjap, dan apa yang ia lihat tetap sama.

Ayah duduk di teras rumah sendirian. Seolah menunggunya pulang. Seolah tidak peduli dengan angin malam yang menembus sampai ke tulang-tulang, juga dinginnya cuaca hujan.

"Heh! Malam bengong, jangan ujan-ujan. Neduh sana."

Pelangi celingukan, macam orang hilang. Lalu menuruti perintah Rayden. Dia berlari kecil menuju teras rumah, disusul Rayden yang ikut lari di belakangnya setelah turun dari motor dan melepas helm.

"Ayah ngapain malem-malem di luar?" Itu kalimat pertama yang diucapkan Pelangi setelah tiba di teras rumahnya. Dengan gurat heran yang begitu ketara.

"Nunggu kamu pulang," sahut Ayahnya yang sudah berdiri di hadapan Pelangi.

Mungkin Pelangi berlebihan, tapi ia hanya ingin jujur. Jika hal sederhana tersebut berhasil membuatnya merasa lebih baik. Ada secuil bahagia yang berhasil tumbuh di relung hatinya.

"Emangnya nggak dingin di luar malem-malem, gini?"

Alan menggeleng, lantas mengusap kepala Pelangi. Menatap anak bungsunya penuh kehangatan. "Kamu yang kelihatannya kedinginan. Basah gitu. Langsung mandi, ya, jangan pakai air dingin."

Gerimis memang berhasil membuat tubuh Pelangi basah. Ya meskipun tidak sepenuhnya basah kuyup. Tapi hanya dengan sentuhan ringan di kepalanya saja, dingin perlahan menguap. Digantikan dengan hangat yang merayap.

"Nganu, Om."

Rayden tiba-tiba buka suara, membuat keduanya menoleh serempak. Baru menyadari jika cowok itu masih berada di sana.

"Nganu apa?" Alan menatap Rayden kebingungan.

"Tapi hujan, nunggu reda dulu. Tapi malah masih aja hujan, jadi nekat pulang. Takut pulangnya kemaleman. Ini aja udah kemalaman." Rayden rasa, akan lebih sopan jika ia menjelaskan begini. Meski kalimatnya terdengar berceceran.

Alasannya, karena dia tidak berpengalaman.

Alan mengangguk maklum. "Nggak pa-pa. Mau masuk dulu? Biar dibikinin teh anget, sekalian ngeringin baju."

Rayden menolak secara halus. Lantas pamit pulang. Kembali membelah jalanan dengan rintik hujan yang menemaninya sampai rumah.

Ada satu hal lagi yang menemaninya selama perjalanan. Sesak yang kian menjalar di dada kala ia melihat bagaimana interaksi Pelangi dengan Ayahnya. Satu hal yang ia rasakan sekarang.

Rayden rindu Papanya.

Itu saja.

***

Pelangi pikir ia harus beraksi sekarang. Karena sedari tadi banyak sekali kalimat tanya yang bersarang dalam pikirannya, membuat dia sama sekali tidak fokus pada pelajaran. Dan itu lebih dari menyebalkan.

Pelangi memperhatikan penjelasan guru saja belum tentu paham. Apalagi ia sama sekali tidak memperhatikan. Sudah bego, bertambah bego pula.

Gadis itu menyenggol lengan Elen seraya berbisik memanggil nama anak itu. Sementara yang dipanggil menoleh, memandang Pelangi penuh tanya.

"El, Lo kan satu sekolah dulu sama Rayden." Pelangi masih bisik-bisik.

"Hooh. Tapi nggak satu kandang."

"Kandang? Kandang burung?"

"Anjir pikiran Lo travelling. Kandang tuh maksudnya kelas."

Pelangi mengangguk-angguk. "Terus, Lo tahu apa aja tentang Rayden?"

"Nggak tahu apa-apa," sahut Elen begitu enteng.

"Yahhh."

Penonton kecewa.

"Kok gitu?" Pelangi tidak terima.

"Ya emang gitu. Lagian orang nggak akrab. Ngomong bedua aja nggak pernah. Bisa aja dia nggak tahu kalo kita dulu satu sekolah."

"Masa Lo nggak tahu apa-apa, sih? Ayahnya bunuh diri aja Lo tahu. Gosip-gosipnya aja deh nggak pa-pa."

"Gosip, ya?" Elen menerawang, sementara Pelangi mengangguk semangat. "Hmm... dulu katanya Rayden pernah kekunci di kamar mandi. Kena karma gara-gara ngomelin kucing tetangga yang suka ngondolin barang."

"Terus?"

"Terus teriak-teriak nggak ada yang nolongin."

"Terus?"

"Ketiduran deh di kamar mandi."

"Terus?"

Elen lebih mendekatkan diri ke arah Pelangi. "Pernah nggak pake kancut pas sekolah."

"Terus?"

"Dulu katanya Rayden pernah kesurupan di Masjid."

Setelah mengatakan hal itu, Elen beru-buru duduk tegak sempurna kala guru yang sedang mengajar berjalan ke arahnya.

Pelangi yang berniat mencari informasi lebih dalam mendadak bungkam, hidungnya bahkan sudah kembang kempis. Lalu mereka membuang nafas lega lantaran guru wanita bertubuh gempal itu hanya melewati mejanya saja dan lanjut melangkah ke belakang. Memantau aktivitas muridnya dari sana.

Yang tentu saja membuat Pelangi harus menggagalkan aksinya.

Beberapa menit berlalu, ia baru sadar. Jika apa yang Elen bicarakan sama sekali tidak penting.

Bukan itu yang ingin Pelangi tahu!


***

Pelangi baru saja keluar toilet. Gadis itu menyusuri lorong yang cukup ramai sembari merapikan roknya. Tidak terlalu fokus dengan jalannya saat tiba di belokan lorong, sampai membuatnya tanpa sengaja menubruk punggung seseorang.

Seseorang yang Pelangi maksud menoleh ke belakang, bertepatan saat mereka saling pandang, Pelangi menghunuskan tatapan paling mematikan.

Bukannya beranjak, Pelangi malah terus saja mempertahankan posisinya dengan mata melotot lebar. Tentu membuat orang lain merasa heran dan penasaran.

"Siapa, Den?" Pertanyaan Daffin mewakilkan mereka semua yang mulanya sedang asyik bergurau.

Rayden menoleh, lalu menjawab santai, "Dedemit wese sekolah."

Cakra mengernyit heran. "Kalo dedimitnya modelan begitu mending pindah di rumah gue aja Mba Kuntai. Enak tau, nyaman! Tapi ada satu tempat lagi yang paling nyaman." Dengan wajah jenaka, cowok itu menunjuk dadi kirinya. "Di sini, nih. Di hatiku hehe."

"Alah tai! Beresin tuh mantan Lo yang giginya maju ke depan." Daffin bersungut-sungut.

Cakra berteriak dramatis, dengan kedua tangan yang menangkup depan dada layaknya lakon film yang begitu menjiwai peran. Wajahnya juga dibuat seolah ia tersakiti lantaran pasangannya berselingkuh di belakang. "Jangan mengumbar aibku, Mas. Itu terlalu kedjam!"

"Najis gila!"

Zoe hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum tipis.

Diam-diam, Pelangi mengundurkan langkahnya. Memilih putar balik ketimbang terjebak dalam perkumpulan laki-laki yang selalu saja membuatnya tak nyaman.

Tapi sebelum ia berhasil lolos....

"JANGAN BIARKAN MBA KUNTAI TERBANG DAN MENDARAI PADA SEKUMPULAN TAI, WOY!!!"

Pelangi ketahuan selayaknya maling yang kepergok warga sekitar.

Pelangi sudah lama berteman dengan Zoe, tapi gadis itu tidak pernah mengerti bagaimana lingkungan pertemanan Zoe dan siapa sajakah teman cowok itu. Begitu pun sebaliknya, mereka juga tidak pernah tau jika Pelangi merupakan teman Zoe dari kecil.

Mungkin karena Pelangi yang begitu sibuk membentengi dunianya sendiri. Mungkin juga karena Zoe yang menghargai ketakutan Pelangi.

Lalu, karena Pelangi tahu jika Zoe orang baik, dia memandang cowok itu penuh permohonan. Meminta pertolongan lewat tatapan agar Zoe bisa menasehati teman-temannya yang begitu freak. Karena Pelangi tahu, meminta bantuan pada Rayden adalah sebuah kesalahan.

Karena cowok itu menyebalkan!

"Dia mau balik ke kelas, bentar lagi bel."

Pelangi harus mengucap syukur lantaran Zoe begitu peka dan perhatian.

"Bel doang. Di sini aja Neng, lebih hangat." Daffin menyeletuk.

"Kayak apa?" tanya Zoe seolah ia adalah guru TK yang memancing muridnya agar menjawab nama buah-buahan dengan benar.

"ANGIN KENTUTNYA KALENG SARDEN!" sahut Cakra dan Daffin dengan serempak nan bersemangat.

Pelangi kira, setidaknya Zoe paling normal. Tapi pupus sudah harapannya saat melihat mereka bertiga tertawa puas dengan Rayden yang dijadikan bahan lelucon.

"Kampret!" Rayden mencibir. "Yang beginian aja kompak, Lo!"

"Mana kentutnya tengik lagi, ewh."

"Lama-lama gue jejelin juga Lo, biar nyaho sekalian!"

"OH, SAYA TIDAK TAKUT RUPANYA!"

Rayden memilih mengalah, karena dia tidak punya stock entut untuk saat ini. Dia menoleh ke samping. Tepat ke arah Pelangi yang plentas-plentus seorang diri. Kala gadis itu sama-sama menatapnya, Pelangi kembali melotot lebar.

Jika dia punya kesempatan, Pelangi punya satu keinginan. Yang akan terdengar kelewatan, yakni membunuh Rayden dengan penuh keberanian.

Habisnya makhluk jadi-jadinya ini selalu berhasil membuatnya engap.

Biar Pelangi jelaskan sebentar.

Semalam, saat ia tengah bersantai. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal yang kira-kira isinya begini.

Serahkan uang lima rarus juta besok! Kalau tidak, nyawa Anda akan melayang.

Saya sudah mengawasi Anda selama seminggu belakangan ini, jadi saya tahu betul saat-saat Anda sendirian.

Jangan lapor polisi atau malam ini juga, you die!

Pelangi tentu saja histeris, dia tidak mau mati sia-sia begitu saja. Seisi rumah gempar dan kebingungan, memikirkan cara bagaimana mendapatkan uang lima rarus juta dalam satu malam.

Lima ratus deng, lagian si Peneror bisa-bisanya typo segala.

Saat Pelangi tersedu-sedu di pelukan Senja— sembari terus meracau tidak ingin mati sekalipun rindunya terhadap Ibu kian besar, Lembayung kalang kabut dan justru berniat ngutang kemana saja. Parahnya, dia sampai berniat menggadaikan sertifikat rumah, yang langsung mendapat serangan dadakan dari Senja yang membuatnya meringis pelan.

Senja bilang, "Sembarangan! Ini bukan rumah kita, emang mau tanggung jawab kamu?!" Yang lantas membuat laki-laki itu kicep. Padahal niatnya memberi solusi terbaik. Kalaupun itu bukan solusi terbaik, yang namanya panik pasti seringlah konslet-konsletan dikit.

Sementara Ayah berniat menjual seluruh kendaraan yang ia punya dan aset-aset berharga lainnya. Senja sendiri sudah melepaskan seluruh barang berharga yang nangkring di tubuhnya. Bahkan cincin nikahnya sekalipun, wanita itu juga memaksa Lembayung melepaskan cincinya secara paksa.

Ayah sudah menuduh teman baiknya, berpikir jika beliau yang berniat membuatnya bangkrut dan yang lebih parah, membunuh anak bungsu Ayah lantaran persaingan bisnis.

Pokoknya, seisi rumah sudah kacau balau.

Namun, saat Lembayung memberanikan diri menelepon nomor asing yang meneror Pelangi tersebut, suara dari balik telepon yang terdengar malah seperti ini kira-kira, "Malam, Om hehehe."

Hehehe gundulmu!

Bodohnya, Pelangi asal menyimpulkan jika ia benar-benar diteror.

Untung saja, Ayah tidak jantungan. Lembayung bisa mengontrol emosinya. Senja wanita penyabar. Tapi tidak dengan Pelangi, dia tidak akan melupakan kejadian itu begitu saja.

Rayden benar-benar kurang ajar!

"Anjir, pelajarannya Srintil. Cabut, kuy!"

Palangi bahkan sampai tidak mendengar suara bel saking bersemangatnya memelototi Rayden yang justru mesam-mesem tidak jelas.

Mereka bertiga— kecuali Rayden, kalang-kabut balik ke kelas kala Pelangi masih bertahan pada posisinya.

Perlu kalian ketahui jika Pelangi tidak pernah menatap laki-laki terlalu lama, rasanya begitu tidak nyaman dan membuatnya merasa takut. Tapi coba lihat bagaimana dengan keadaan sekarang.

Cowok menyebalkan itu tiba-tiba saja menarik tangan kanan Pelangi, yang lantas ditepis dengan segera. Tapi cowok model-modelan Rayden begitu mana mungkin menyerah dengan mudah.

Dia menaruh gulungan kertas di atas telapak tangan Pelangi. Tidak mengatakan apa pun selain menyuguhkan sebuah senyuman. Setelah itu berlalu begitu saja.

Pelangi memandang punggung cowok itu penuh keheranan. Lalu gulungan kertas di tangannya.

Apakah ini sejenis surat cinta?

Hilih, alay sekali cowok itu!

Karena dirundung rasa penasaran yang mendera, Pelangi memutuskan untuk melihatnya sekarang juga. Dahinya mengernyit bingung saat dia memandang benda kecoklatan yang ada dalam kertas tersebut, "Ini apa, sih?"

Gadis itu terdiam sejenak, sebelum berakhir mencak-mencak. "Rayden, Goblok!" umpatnya. "Itu bocah bener-bener, ya!"

Pelangi menemukan harta karun rupanya. Segumpal upil yang entah sudah berapa lama dikumpulkan dan dibentuk dengan begitu estetik.

Tapi ada satu hal yang baru Pelangi sadari. Ada sebuah tulisan kecil di ujung kertas.

Capek. Begitu kira-kira isi tulisan yang berhasil Pelangi baca.

Dia baru ingat, sebelum Rayden balik ke kelas. Cowok itu sempat tersenyum, dengan tatapan sayu. Seolah menggambarkan jika cowok itu benar-benar tengah dirundung sendu.

Pelangi yakin, Rayden memang tidak setangguh kelihatannya.

Mungkin Rayden memang bisa menahan banyaknya luka di tubuh cowok itu. Tapi untuk urusan luka mendalam yang tidak pernah menunjukkan wujudnya, dia lemah. Dan Pelangi tahu itu.



****



28-11-20.



Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

2.3M 231K 57
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
2.1M 103K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
2.1M 112K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
586K 62.2K 38
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...