Secangkir Kehangatan (END)

By sykalila

2.3K 339 216

END R 15+ 《PART LENGKAP》 ▪︎Genre spritual ▪︎ Cool boy series #1 ~ Cintamu ada untuk didapatkan dan juga dilep... More

Prolog
Freinz Albert Orlandz
Weinza Oktyra Ayodhya Rein
1. Kesal
2. Desir
3. Jumpa
4. Amarah
5. Acuh
6. Rindu
7. Hangat
8. Akrab
9. Jalan
10. Perbedaan
11. Gemeletuk
12. Cinta Sejati
13. Bayangan
14. Degup Jantung
15. Gugup
16. Senyuman Tipis
17. Malam Indah
18. Perjodohan?
19. Terkejut
20. Fitnah
21. Cantik
22. Surprise
23. Jemput
24. Camer?
25. Morning
27. Permintaan
28. Terakhir kali
29. Liontin
30. Menggila
31. Anna Ubibbuka Fillah
32. Kehilangan
33. Undangan (END)
SWI AGENCY

26. Murka

22 4 0
By sykalila

Belum ada setengah hari Enza menginap di apartemennya. Namun, gadis itu sudah mengajaknya 'tuk mengantarkannya pulang, beralibikan tak ingin mengganggu pekerjaan Freinz. Namun, bukannya terganggu, ia justru merasa senang. Hitung-hitung pelatihan ketika mereka akan berumah tangga nanti.

"Freinz, dagingnya juga dihabisin dong. Jangan makan sayur terus ih. Nanti kamu kapan gemuknya?" cerewet Enza sembari berkacak pinggang.

"Tapi, aku sudah kenyang, Enza."

"Gak mau tahu! Pokoknya habisin! Oh ya, jangan lupa susunya. Dihabisin! Kalo gak, mubadzir nanti. Kamu kan tahu kalo—Hmph." Enza mencebikkan bibir tatkala Freinz justru menyuapkan daging miliknya ke dalam mulut Enza.

"Udah, diam. Kalo makan tuh diam!" Enza menelan potongan daging di mulutnya dan mencebik.

"Serah!" Freinz tersenyum dan beralih menegak susunya hingga tandas.

"Sudah habis kan? Aku tidak mubadzir kan?" tanya Freinz bangga sembari menunjukkan piringnya yang kosong. Karena tadi ia sudah menyendokkan semua daging yang ada di pirinya pada mulut Enza. Membuat pipi gadis itu mengembung karena banyaknya daging yang ia suapkan. Enza berdeham dan bergegas mengambil tas selempangnya.

"Grez, tolong jaga Thel. Saya ke kantor dulu."

"Baik, Tuan."

"Ayo!" Enza menurut. Memakai high heeals dari lemari sepatu dan membuka pintu apartemen. Disusul oleh Freinz, lengkap dengan jas, tuxedo, celanan bahan hitam, serta sepatu pantofel andalannya. Hendak mengantarkan Enza pulang terlebih dahulu.

☕☕☕

Sesampainya di komplek perumahan Enza, Enza pun melepas seat belt dam menoleh ke arah Freinz. Freinz tampak memasang wajah datar. Wajah yang sama seperti mereka bertemu 'tuk pertama kalinya.

"Kenapa? Kok cemberut gitu?" manja Enza sembari menarik kedua pipi Freinz gemas. Freinz menangkap kedua tangan Enza dan menggeleng.

"Ya udah, kalo gitu, aku pulang dulu, ya." Enza melepas kedua tangannya. Namun, belum sempat terlepas, Freinz sudah telah lebih dulu menariknya dan ....

Cup

"Have a nice day," ucap Freinz tulus selepas ia mencium kepala Enza sayang. Enza mengangguk dan lantas keluar. Melambaikan tangan ke arah Freinz sekilas sebelum akhirnya masuk ke dalam komplek perumahannya. Freinz terus mengukir senyum. Sebelum akhirnya menginjak gas dan melajukan mobilnya menuju perusahaan miliknya. Kembali melaksanakan tugas sebagai seorang CEO.

Enza membuka pintu rumah. Tampak lenggang dan tak berpenghuni. Dalam hati, Enza bersorak gembira dan mulai mengendap-endap menuju tangga. Hendak menuju kamarnya. Namun, dehaman seseorang dari arah belakangnya membuat ia mati kutu. Tak berkutik barang sedetik pun.

"Kamu darimana, hah? Kok baru pulang? Jangan bilang kalo kamu nginep di rumah Al," interupsi seorang pria paruh baya dengan hidung bertengger kaca mata baca. Enza menghembuskan napas. Dan berbalik.

"Asalamulaikum, Bi. Abi udah dari tadi di situ?" tanya Enza sehalus mungkin. Hasan melepas kaca matanya. Bangkit dari kursi dan menatap Enza. Ada gejolak api yang berkobar di kedua retina Hasan. Petanda ia sedang marah besar.

"Kakek bilang, kemarin kamu ke rumah kakek sama tunangan kamu. Kenapa kamu gak cerita sama Abi, hah? Kalau kamu sudah punya tunangan. Malah kamu sudah bertemu dengan orang tuanya dan orang tuanya sudah merestui kalian. Tapi, Abi?" Enza membulatkan kedua matanya. Oh, tidak! Bagaimana ini?

"Enza ...."

"Sampai satpam perumahan sendiri tahu tunangan kamu. Sedangkan, Abi?"

"Maaf, Abi. Enza gak bermaksud—"

"Kamu masih menganggap saya Abimu bukan, hah? Kenapa kamu selalu bikin Abi malu Enza. Kenapa? Dengan kamu tidak memberitahu siapa lelaki itu. Mau ditaruh dimana muka Abi nanti, hah? Dimana Enza? Kalo pun kamu ada lelaki yang kamu cintai, cerita sama Abi. Jangam dipendem sendiri. Dan biarkan Abi dulu yang tahu. Sebelum keluarga besarmu yang tak lain kakek. Dan parahnya lagi, orang luar pun tahu tunanagan kamu. Memalukan!" Hasan menarik napas dalam-dalam. Menghembuskan napas berkali-kali sembari berucap istigfar. Sesekali memukul dadanya berusaha menghilangkan sesak.

"Abi ... Enza ...."

"Kamu!" Hasan menunjuk Enza tajam. Menatap gadis bungsunya dengan mata berkilat merah. "Pokoknya, kamu gak usah ngelak lagi. Lebih baik, kamu—"

Bruk

"Abi!" teriak Enza histeris tatkala Hasan jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Segera saja Enza menghampiri abinya dan menepuk-nepuk pipinya perlahan. Berusaha membangunkannya.

"Umi! Kak Quinza!" teriak Enza keras. Riza yang kebetulan sedang membuat teh pun langsung dikejutkan dengan tidak sadarnya sang suami di ruang tamu. Bergegas meletakkan teh buatannya dan ikut menepuk pipi Hasan. Disusul dengan Quinza yang masih lengkap dengan mukenanya petanda ia baru saja selesai melaksanakan salat duha.

"Enza! Cepat panggilkan ambulan!" Enza menganggukkan kepala cepat. Segera merogoh celananya dan memanggil nomor darurat.

"Halo."

"Halo, dengan rumah sakit Hidayatullah."

"Tolong pesankan ambulan di komplek perumahan Cendrawasih sekarang! Oh ya, atas nama Hasan Rein." Enza mematikan sambungan secara sepihak. Kembali menghampiri sang abi sembari merapalkan doa.

Tetes demi tetes air mata kini mulai berjatuhan dari kedua mata indah Enza. Ternyata, seperti inilah namanya rasa sakit ketika orang yang dicintainya meninggalkan dirinya. Kenapa terasa sesak dan pedih? Enza terus menangis hingga membuat koko Hasan basah kuyup. Quinza pun berusaha 'tuk menenangkan Enza dan memeluknya erat. Hingga suara sirine ambulan terdengar di depan rumah Enza.

Tampak orang-orang berpakaian putih keluar dari dalam ambulan sembari membawa sebuah brankar. Seorang perawat pun menggendong Hasan dan meletakkannya di brankar. Mendorongnya masuk ke dalam ambulan. Segera saja, Riza naik ke atas ambulan. Bersamaan dengan Enza. Namun, belum sempat Enza masuk, Quinza sudah lebih dulu menahannya dan menyuruh Riza 'tuk berangkat lebih dulu.

"Kenapa, sih, Kak? Kok nahan Enza? Gak usah cari masalah bisa gak sih, Kak? Ingat, Kak! Abi lagi sakit. Jangan bikin masalah deh," kesal Enza dengan air mata yang tak terbendung.

"Iya, kakak ngerti. Tapi, kamu ke rumah sakit bareng kakak aja naik mobil. Biarin umi aja yang nemenin Abi."

"Tapi—" Quinza pun memberi siyarat kepada sang umi yang dibalas oleh anggukkan kepala.

"Pak, silakan berangkat!"

Brak

Pintu ambulan pun tertutup. Bersamaan dengan suara sirine ambulan yang kembali berbunyi dan berlalu begitu saja dari kediaman rumah Hasan. Meninggalkan Enza dengan pikiran berkecamuk. Bingung harus melakukan apa.

"Kak, kenapa sih kakak nglarang aku naik? Aku kan mau nemenin Abi," ucap Enza frustasi. Wajahnya sendiri tampak pucat bercampur panik.

"Iya, Kakak tahu. Apa tidak sebaiknya kita berkemas-kemas dulu baru kita ke sana? Nanti, kalo gak ada baju gimana? Kamu mau pake baju itu terus?" jawab Quinza berusaha berpikir logis.

"Tapi, Kak. Itu gak penting! Yang penting, nyawa Abi, Kak! Nyawa Abi! Kalau sampe terjadi apa-apa dengan Abi, gimana Kak? Kakak mau tanggung jawab, hah?" ucap Enza diringi emosi yang meletup-letup.

"Kakak tahu itu, jadi, kamu berdoa, ya. Semoga Abi baik-baik saja. Pasrahkan saja semuanya kepada Allah. Dan perbanyaklah doa kepada-Nya. Percuma saja kamu di sana, karena kamu bukanlah Allah, Enza! Ingat itu!" tegas Quinza menyedarkan Enza. Agar ia tak kembali panik.

"Lalu, Enza harus bagaimana? Enza mau menemani Abi. Menjaganya dan merawatnya. Enza tidak mau kehilangan Abi. Enza ... Belum siap." Enza menitikkan air mata. Tak kuasa menahan sekaligus membendung tangis lebih lama lagi. Quinza pun menarik tubuh Enza. Memberikan pelukan hangat untuknya.

"Udah, jangan bersedih. Lebih baik, kita segera berkemas-kemas dan ke rumah sakit, oke?" tenang Quinza.

"Kalo gitu, tunggu apalagi? Ayo, kak buruan!" Quinza menganggukkan kepala. Dan mereka pun bergegas masuk ke dalam rumah. Mengemasi barang mereka sebelum akhirnya mengunci seluruh ruangan yang ada di rumah. Memastikan semuanya sudah terkunci sebelum akhirnya keluar dari rumah dan mengunci pintu utama. Bergegas menuju jaz hitam Enza dan mengendarainya menuju rumah sakit tempat Hasan dirawat.

☕☕☕

Di sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Quinza menyebutkan asma Allah. Karena Enza tampak kesetanan dengan kecepatan mobil di atas 100 km/jam. Sudah mirip seperti seorang pembalap saja.

"Ya Allah, Nza. Pelan-pelan. Gak usah ngebut bisa gak? Kalo terjadi apa-apa sama kita gimana?"

"Udah deh, Kak. Kakak diem aja. Pegangan yang erat. Bentar lagi juga bakalan sampe kok," teriak Enza sembari terus fokus menyetir mobil hitamnya. Layaknya yang dilakukan Freinz kemarin.

"Astagfirullah, Enza! Hati-hati! Ya Allah ...." Quinza kembali berteriak sembari terus berpegangan pada pegangan mobil. Beginilah kalau ia tak kunjung belajar dan memiliki SIM. Ia pun harus bergantung pada adik kesayangannya tatkala ingin berpegian. Baik itu mobil maupun motor. Ia sendiri tak berani mengendarainya karena semasa kecilnya, ia pernah memiliki trauma pada motor. Yang menyebabkannya takut dan gemetar tatkala mengendarainya keluar sendirian.

Berkat keahlian berkendara Enza, mereka pun sampai di lobi rumah sakit dengan waktu tempuh 15 menit yang awalnya adalah setengah jam. Luar biasa bukan?

"Kak, udah sampe." Quinza mengelus-elus dadanya. Membuka seat belt dan membuka pintu mobil selebar-lebarnya. Menarik napas dalam-dalam. Enza yang melihatnya pun hanya terkekeh. Menarik pintu penumpang Quinza dari dalam dan bergegas memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Meninggalkan Quinza di lobi rumah sakit.

Beginilah kalau ia terus menerus dekat dengan Freinz. Ia jadi bisa kebut-kebutan dan balapan di jalanan. Seperti yang biasa dilakukan oleh Freinz. Dalam hati Enza berucap syukur. Berkat hoby Freinz, ia jadi tahu rasanya balapan dan mengemudikan mobil secepat kilat. Jadi, tidak selalu pacaran akan membawa kita kepada keburukan. Nyatanya, Enza tidak pernah tuh merasa kalau pacaran membawanya pada dampak negatif. Justru, ia selalu mendapatkan dampak positif. Sedangkan Freinzlah yang mendapatkan dampak buruknya karena harus mengikuti semua keinginan manjanya. Seperi berbelanja barang-barang brand terkenal contohnya.

"Kak, ayo masuk!" ajak Enza tatkala ia sudah berhasil memarkirkan mobilnya sembari membawa 2 buah tas berisikan pakaian mereka. Menghampiri Quinza yang masih berdiri terengah-engah di lobi rumah sakit.

"Lain kali, kakak gak bakalan ngizinin kamu naik mobil lagi! Pokoknya, nanti kakak mau ajar mengendarai mobil. Supaya nanti bisa membawamu."

"Kalo begitu, semoga sukses ya kak buat latihannya nanti. Semoga aman." Enza pun melekatkan telunjuknya dan jempol. Membentuk huruf 'O' sembari teetawa. Tak sanggup menahan tawanya tatkala ia melihat wajah pucat pasi sang kakak. Sedangkan Quinza hanya bisa mendengus dan menggandeng adiknya masuk ke dalam rumah sakit.

☕☕☕

"Maaf, Teh. Mau tanya," ucap Quinza sopan pada resepsionis di depannya. Sang resepsionis tampak berdiri dan menyambut kedatangan mereka.

"Ya, ada apa?"

"Pasien yang baru saja dibawa ambulan tadi kira-kira dirawat dimana, ya?"

"Oh, yang bapak-bapak tadi?"

"Iya, benar. Dimana abi saya?"

"Oh, abi teteh masih dirawat di ICU. Tempatnya di ujung lorong itu," ucap sang resepsionis sembari menunjuk lorong di depannya. Quinza pun mengikuti arahan sang resepsionis dan bergegas menuju ruang ICU. Menghampiri sang umi, Risa.

"Umi, bagaimana kabar Abi?" tanya Enza panik setibanya mereka di hadapan Riza yang duduk di kursi tunggu dengan kepala yang menunduk sedih. Riza menitikkan air mata sembari sesenggukan.

"Abi belum keluar, dia masih diopname. Quinza, bagaimana ini? Kalo terjadi apa-apa dengan Abi gimana?" panik Risa pada anak sulungnya. Quinza pun memeluk sang umi dan berusaha menenangkannya. Yah, hanya tinggal dirinya saja yang menjadi penguat keluarga mereka. Karena Enza sendiri sudah kembali menangis dengan kepala yang bersender pada bahu Riza. Menangis sederas-derasnya.

"Umi jangan khawatir, ya. Umi cukup berdoa saja dan pasrahkan kepada Allah. Insyaallah, Allah pasti akan membantu kita dan juga Abi. Jadi, Umi positif thinking aja, oke?" Riza menganggukkan kepalanya di dalam pelukan Quinza. Quinza pun menghela napasnya dan mengelus-elus kepala sang umi. Satu tangannya yang lain pun ia gunakan 'tuk menggenggam tangan Enza sembari mengelusnya. Memberikan ketenangan kepada adiknya itu. Menjadi sandaran bagi kedua wanita tersebut.

☕☕☕

Satu jam berlalu ....

Pintu ICU terbuka. Menampilkan seorang dokter dengan tangan yang melepas masker. Menghampiri ketiga perempuan yang tampak terlelap dengan Riza yang memeluk kedua anaknya. Sang dokter berdeham dan berusaha memanggil Riza.

"Permisi, Bu." Riza mengerutkan kening. Membuka matanya perlahan-lahan dam mulai memfokuskan pandangannya. Menepuk-nepuk kedua pipi anaknya hingga keduanya pun terbangun.

"Apakah kalian keluarga dari bapak Hasan?"

"Iya, benar. Saya istrinya."

"Kalau begitu, saya beritahu saja kalau suami anda mengalami serangan jantung ringan dan kini sedang koma. Mungkin, akan sadar setelah seminggu lamanya."

"Lalu, bagaimana keadaannya?"

"Apakah sebelumnya bapak Hasan pernah mengalami gejala-gejala serangan jantung ringan?" Riza mengangguk.

"Iya."

"Dan apakah sudah diperiksakan kepada dokter?"

"Sudah, Dok. Saya sudah pernah membawanya menemui dokter dekat komplek kami."

"Kalo begitu, biarkan bapak Hasan istirahat dan jangan sampai ia marah-marah lagi. Atau hal yang lebih fatal akan terjadi dan itu akan memengaruhi nyawanya."

"Baik, Dok. Kami akan menjaganya."

"Kalo begitu, saya permisi. Pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap setelah 1 jam lamanya."

"Baik, Dok." Enza menatap punggung dokter tersebut nanar. Kembali mengarahkan fokusnya pada ruang ICU di hadapannya dengan pandangan hampa.

Jika saja ia tak membuat abinya marah sepanjang masa, sudah dipastikan ia tak akan memiliki penyakit fatal ini dan memengaruhi nyawanya. Dalam hati Enza merasa bersalah dan bersumpah akan mengikuti semua permintaan Hasan. Tak lagi menolaknya maupun membantahnya. Agar nantinya Hasan tak kembali marah dan berujung pada rumah sakit lagi.

"Abi, lekas sembuh. Enza siap mengikuti permintaan Abi. Apapun itu."

☕☕☕

Continue Reading

You'll Also Like

44.6K 4.4K 15
[COMPLETED] ✨ Gimana perasaan kalian kalau tiba-tiba disuruh tinggal di apartemen? "MINGGIRRRRR.... GUE MAU KE KAMAR MANDI!!" "KOK GAK ADA MAKANAN...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
111K 1.5K 37
• KUMPULAN CERPEN • "Nggak mau nanya sesuatu?" "Lo sebenarnya siapa sih?" "Nama gue Ariano Candrawijaya, panggil aja sayang." "Uhuk uhuk!" "Hehehe...
1.9K 425 45
Bagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jen...