Hari ini adalah pelaksanaan acara seminar yang diketuai oleh Felix.
Beruntung bagi mereka yang masuk kuliah hari ini karena selesai kelas bisa langsung pergi ke gedung Graha UM tempat seminar diadakan. Sedangkan yang libur seperti Esa, terpaksa harus merelakan waktu santainya untuk ikut seminar tersebut.
Kalau bukan Felix yang maksa, pasti tidak ada yang mau berangkat kecuali cewek-cewek dan Bayu yang pada dasarnya orang-orang rajin pemburu sertifikat demi kepentingan wisuda di masa depan.
"Sa, nebeng dong."
Esa menoleh, mendapati sosok Prima duduk di sebelahnya mengikat tali sepatu.
Esa tidak menjawab.
"Sa." Prima memanggil sekali lagi tapi masih tidak ada jawaban. "Lo masih ngambek gara-gara laptop lo kena virus dari flashdisk gue? Emang datanya pada ilang ya?" tanyanya berspekulasi, dengan rasa bersalah karena sebuah kejadian beberapa hari yang lalu.
"Enggak," jawab Esa singkat.
"Terus kenapa lo cuek sama gue?"
"Emang gue pernah perhatian ke elo?"
Prima langsung mengunci bibirnya.
Iya juga sih. Esa orangnya ya emang begini, datar dan kurang menyenangkan. Tapi dia lumayan baik. Yang pasti, Esa tidak pernah bersikap perhatian pada siapapun di rumah ini.
Ini rahasia ya, sebenarnya Esa perhatian ke mereka, tapi gengsi aja ngakunya.
"Ayo," kata Esa sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Ayo?"
"Jadi nebeng nggak?"
"Jadi!"
Dengan semangat Prima langsung ambil helm di garasi dan naik ke boncengan motor Esa. Motor bebek legendaris yang dikasih nama Juwita. Entah apa motivasinya memberi nama ke motor bebeknya yang harusnya bisa mulai pensiun tahun ini. Udah tua banget kelihatannya.
**
Belakangan ini Jakarta sedang panas-panasnya. Keringat muncul sebiji jagung di sekitar dahi. Bahkan kulit kepalanya juga terasa tidak nyaman karena keringat tiba-tiba keluar dari sana. Menyiksa sekali.
Sialnya jalan raya juga macet. Padahal jalan ke kampus sepuluh menit juga bisa sampai tapi ini sudah dua puluh menit masih di tengah jalan.
"Sa, padahal tadi bisa lewat jalan tikus aja loh. Gue kalau pergi bareng Aryan atau bareng Mas Rino gitu juga lewat jalan tikus, cepet nggak pakai macet segala kayak gini."
"Berisik. Nggak usah cerewet, lo itu nebeng. Kalau keberatan, lo bisa turun sekarang terus naik ojek."
Prima langsung mengerucutkan bibir.
Memang dasar orang yang satu ini menyebalkan. Jadi makin menyebalkan gara-gara udara yang panas ini mengaktifkan mode macan dalam diri cowok itu.
Di tengah gerutuan Prima dalam hati, tiba-tiba Esa putar balik yang membuatnya tersentak kaget. Nyaris jatuh gara-gara tidak siap dengan pergerakan cowok itu. Untungnya tangan Prima cepat meraih kedua pundak Esa.
"Kok puter balik? Nggak jadi ke kampus?"
"Kasih tau jalan tikusnya yang mana."
"Oke!"
**
Sampai kampus, Esa dan Prima langsung menyusul anak kosan lainnya yang sudah berdiri di depan teras Graha. Esa ngeloyor ke meja terima tamu dan mengisi buku tamu kemudian masuk tanpa menunggu yang lain.
Prima langsung memberikan isyarat kalau cowok itu sedang mode macan hingga semua bisa memahaminya.
Karena sudah lama tinggal serumah, mereka cukup memahami karakter dari para penghuni.
"Yan, katanya lo ngajak cewek yang waktu itu," kata Prima mendekat ke cowok yang memasang muka murung itu.
"Iya ngajak."
"Terus mana? Nggak gabung sama kita?"
"Ko Felix kampret deh, masa duduknya dipisahin antara anak UM sama kampus lain. Katanya ini untuk umum tapi kok kayak gini, diskriminasi ke peserta luar kampus kita dong namanya."
"Yaelah masih aja ngoceh lo, bocah," sahut Rino mengacak rambut Aryan dengan gemas.
"Terus gimana? Lo suruh balik?" tanya Prima.
"Ya enggaklah. Dia udah masuk duluan. Sumpah gue jadi nggak enak banget."
Aryan melangkah cepat menyusul yang lainnya.
"Cantik ya, Mas, gebetannya Aryan," kata Prima ingin membahas perempuan yang sempat ditemuinya di toko alat musik tempo hari.
Rino mengendikkan ahu. "Gue nggak ketemu, gue dateng beberapa menit sebelum lo."
Prima mengangguk-anggukkan kepala saja menanggapinya.
Anak-anak rumah duduk berjejeran satu baris. Mereka sudah janjian duduk bersama, Felix pun sudah menyiapkan tempat yang sudah dikasih paper bag konsumsi agar tidak ditempai oleh orang lain.
Singkat cerita, seminar sudah berjalan sekitar satu jam tapi belum ada tanda-tanda selesai. Sesi tanya jawab baru saja dimulai. Tanpa disangka banyak juga orang yang mau bertanya.
"Gimana menurut lo?" tanya Esa yang duduk di sebelah Mika.
"Nggak tau, nggak denger gue dari tadi," jawab Mika asyik main ponsel.
"Ck, apa faedahnya lo ikut seminar kalau gitu."
"Lah orang gue dipaksa."
Esa menoleh ke samping. Tepat di sampingnya ada Aji yang dari tadi sudah tidur. Bahkan seminar baru berjalan lima belas menit, cowok itu sudah teler duluan. Di samping Aji ada Nina yang beberapa kali pundaknya ketiban kepala Aji. Sekarang kepala Aji akan jatuh ke pundak cewek itu lagi, tapi dengan cepat Esa menariknya dan membiarkan Aji bersandar di pundaknya.
Kasihan kalau sandaran ke Nina, kepala Aji kan berat kebanyakan isi.
"Sa, menurut lo gue pantes nggak kalau potong poni, jadi poni yang nutupin jidat gitu?" tanya Mika random.
"Pantesan botak, Mik."
"Lo tuh ya, kenapa sih? Kayaknya gue taunih apa yang bikin lo jomblo sampai sekarang."
"Berisik banget dah, Mik. Gue kan dengerin materinya."
"Sok pinter lo dasar."
Esa tak peduli banyak atas cibiran cewek di sampingnya. Ia memang benar-benar mendengarkan seminar yang disampaikan. Bukan karena tertarik dengan materinya, tapi karena Esa menghargai mereka yang memberikan materi.
Gimanapun mereka itu mikir bikin materi yang akan disampaikan.
Sifat baik Esa adalah menghargai setiap usaha yang orang lakukan. Termasuk usaha Felix dalam memaksanya datang ke seminar ini.
Tanpa sengaja matanya menangkap Rino yang terus memandang ke depan. Bukan ke pemateri yang sedang memberikan jawaban, tapi ke cewek yang duduk di baris kedua di sebelah kiri mereka.
Sampai mendadak Rino menoleh ke arahnya.
"Ape lu lihat-lihat?" tanya Rino mendelik galak.
"Terserah gue, mata mata gue," jawab Esa santai lantas kembali menghadap ke depan.
Karena seminar ini kelihatannya masih lama, satu per satu anak rumah mulai keluar dari Graha karena bosan. Dimulai dari Aji yang rasa kantuknya sudah tidak bisa ditahan karena materi seminarnya bagai dongeng pengantar tidur. Disusul oleh Shasha yang katanya punya janji dengan temannya. Kemudian Calvin, Mika, Prima, dan terakhir Haris. Yang tersisa hanya Aryan, Esa, Rino, Nina, dan Bayu yang setia sampai seminar selesai.
Begitu seminar selesai dan tersisa penutupan saja, Bayu dan Nina langsung keluar dari ruangan tersebut.
"Langsung balik kos atau gimana?" tanya Nina.
"Gue ketemu sama Kak Dina dulu, kan gue yang ngajak dia," kata Aryan masih dalam mode gondok ke Felix karena pemisahan tempat duduk ini. "Eh, ke toilet dulu aja deh, kebelet buang amps dari tadi."
Aryan langsung pergi ke toilet.
"Lo langsung balik?" tanya Esa pada Rino.
"Kepo," jawab Rino singkat yang membuat Esa langsung mendecak. "Kantin dulu, laper."
"Yaudah ayo, gue juga."
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak ke cerita ini
Muchlove,
Sidoarjo, 23 November 2020
Revisi : Sidoarjo, 15 Juli 2021
-Icha-