Game Over Love [Singto X Kris...

By stroberilongcake

64K 7K 1.1K

[COMPLETE] PERAYA FANFICTION REMAKE Ketika dua orang pecinta game harus menikah karena taruhan. Singto mengaj... More

BLURB + PROLOGUE
#1 - Taruhan
#2 - Apa Benar, Aku Jatuh Cinta?
#3 - Mendapat Restu
#4 - Pernikahan
#5 - Setelah Pernikahan
#6 - Bertemu Pria Idaman
#7 - Kedekatan Joss dan Krist
#8 - Makan Malam
#9 - Tutorial Membuat Anak πŸ”ž
#10 - First Kiss
#11 - Menjalankan Misi πŸ”ž
#12 - Bertengkar
#13 - Cemburu, bilang boss!
#14 - Cara Akur Yang Baik dan Benar
#15 - Berkencan
Hidden Scene πŸ”ž [Bisa di skip]
#16 - Tiket Honeymoon
#17 - Pattaya
Hidden Scene πŸ”žπŸ”ž [Bisa di skip]
#18 - Test Pack Positif
#19 - Krist Dan Ngidamnya
πŸ”ž [Bisa di Skip]

#20 - Game Over, You Win [END]

3.7K 308 85
By stroberilongcake


Perutnya semakin membesar. Langkahnya semakin kepayahan. Usia kandungan Krist memasuki bulan melahirkan. Ruang geraknya sedikit karena tubuhnya yang gampang pegal. Bahkan terkadang dia merasakan kram di perutnya. Kata dokter itu normal. Tapi Singto menjaga ketat istrinya itu. Jika dia sedang tak ada di rumah, maka Arm atau Gun yang menjaga Krist. Seperti yang dilakukan saat ini. Singto harus pergi ke kampus, ada ujian. Namun Krist sulit untuk ditinggal, takut ada apa-apa ketika tak ada orang di rumah.

"Aku antar kamu ke rumah Mae, ya?" tawar Singto saat mereka ada di ruang makan; sarapan.

"Tidak usah. Sebentar lagi P'Gun dan Chimon juga kesini."

Krist menusuk potongan wortelnya dengan garpu dan memakannya. Memiliki bayi dalam perut membuatnya ekstra hati-hati dengan makanan walaupun beberapa waktu lalu ngidamnya dapat dibilang ekstrim.

"Tapi aku harus berangkat sekarang."

"Ya, sudah. Kamu berangkat saja. Nanti telat, lho? Katanya ujian?"

"Iya. Tapi kamunya sendirian. Nanti kalau ada apa-apa sama kamu dan baby gimana?"

Krist tahu kekhawatiran suaminya. Maka dia meninggalkan sendok garpunya untuk meraih lengan suaminya dan mengusapnya pelan.

"Aku tak apa, Singtuan. Percaya, deh!"

Tetap saja Singto tak bisa langsung tenang begitu saja. Raut gelisah tampak jelas di wajahnya.

"Aku antar kamu ke rumah Mae sekarang. Ayo!" Singto sudah berdiri namun segera Krist menangkap tangannya.

"Tidak usah. Kamu berangkat saja, ya? Sudah mau telat, nih! Sebentar lagi juga P'Gun datang."

Krist hanya tak ingin merepotkan suaminya yang harus bolak-balik mengantarnya. Apalagi jarak kediaman Ruangroj ke kampus akan semakin jauh dibanding apartemen mereka.

"Kalau begitu aku telpon P'Gun biar cepat kesini."

Kali ini Krist hanya mengangguk nurut. Singto menghubungi Gun untuk aegera datang. Dari raut Singto yang lega, Krist dapat menebak jika Gun akan segera datang.

"Sebentar lagi P'Gun sama Mae datang bawa Chimon juga." Krist mengangguk lagi. Sedang Singto melirik jam tangannya. "Sepertinya aku harus berangkat sekarang. Sudah hampir telat."

Krist mendekati Singto menyodorkan keningnya. Seperti biasa, Singto mencium kening, ujung hidung, dan bibirnya sekilas. Kemudian mengusap pipi gembil Krist.

"Baik-baik di rumah, ya?"

"Iya. Kamu juga. Lancar ujiannya."

Singto mengangguk, lalu membungkuk menyapa perut Krist yang sangat besar itu.

"Papa berangkat dulu ya, Nak!" ucapnya sembari mengusap perut Krist dan menghujaninya dengan ciuman.

"Iya, Papa. Cepat pulang, ya?" jawab Krist dengan meniru suara anak kecil.

Singto terkekeh. Kemudian bergegas keluar dari apartemen mereka. Kini Krist sendirian. Ia membereskan piring-piring bekas sarapan dan mencucinya. Selesai dengan itu, mendadak ia merasakan haus. Satu gelas air putih meredakan dahaganya. Namun sedetik kemudian dahinya mengernyit. Tangannya kirinya berpegangan pada pinggiran meja makan, sedang tangan kanannya mengusap perutnya yang mendadak melilit.

"Akh!" pekiknya saat perutnya semakin mulas.

Rasa tidak nyaman itu menjalar cepat ke bagian perutnya hingga punggung. Keringatnya sudah bercucuran. Kaki dan tangannya bergetar menahan beban tubuhnya. Seperti ada yang menekan kuat di panggulnya, Krist beberapa kali memekik diantara atur napasnya. Dia tak boleh panik walaupun ingin menangis saja. Masih tak menyangka jika kontraksinya akan terjadi selang beberapa menit Singto pergi.

"Singtuanhhh ... Sa-kithh hhuuhh...."

Air matanya sudah mengalir. Krist menangis. Perutnya benar-benar sakit tak dapat ditoleran lagi. Kepalanya sangat pening sekarang. Namun sebisa mungkin dia melangkah menuju sofa ruang tengah agar tubuhnya tak ambruk ke lantai yang keras dan akan membahayakan keduanya.

"Jangan sekarang ya, Nak ... Bertahanlah," cicitnya dengan dahi mengernyit dalam.

Perlahan, dengan tangan yang berpegangan pada apapun, Krist berusaha berpindah tempat sembari tarik napas dan mengeluarkannya dengan pelan. Dalam hati mencoba menenangkan bayi yang ada di dalam perutnya.

Belum sampai sofa, pandangan Krist berkunang-kunang. Peluh yang membanjiri seakan mewakili betapa sakitnya gejolak dalam perutnya. Kekuatannya menghilang, menopang tubuhnya saja seperti tak ada tenaga. Dan kemudian Krist merasakan tubuhnya ringan bersamaan pandangan yang menggelap.

Bruk!

Krist ambruk pingsan, dan dari selakangannya mengeluarkan cairan. Air ketubannya pecah.

Sementara itu, Gun dan Nyonya Ruangroj baru saja sampai. Gun sempat mengeluh karena jalanan pagi yang macet, membuat si kecil Chimon yang ada di gendongannya menangis terus.

"Dia rewel terus. Kayaknya kepanasan," Gun mengusap keringat di dahi Chimon.

"Ya, sudah nanti sampai di apartemen Kit seka pakai air dingin, ganti bajunya."

Gun mengangguk menanggapi penuturan Nyonya Ruangroj.

Tak ada perasaan apa-apa saat itu. Hanya saja, sesampainya di depan apartemen, ketika Nyonya Ruangroj dan Gun bergantian menekan bel pintu tak ada sahutan dari dalam.

"Kemana mereka?" gumam Nyonya Ruangroj.

"Mungkin Singto sudah berangkat kuliah."

"Terus Kit?"

Gun terdiam. Ia kembali memencet bel. Masih belum ada tanggapan sama sekali. Lalu ia berinisiatif telpon ke nomor ponselnya Krist. Sama. Tak ada tanggapan. Gun menatap ibunya sambil menggeleng. Hal ini membuat Nyonya Ruangroj mendadak khawatir.

"Duh, kemana ya, Kit? Tidak mungkin dia keluar. Jangan-jangan ada apa-apa di dalam. Kamu tau passwordnya?"

Gun menggeleng. "Tidak tahu. Mungkin aku bisa bertanya sama Singto."

Gun menelpon nomor Singto sampai tiga kali dan sama sekali tak ada jawaban. Tentu saja. Singto sedang serius mengerjakan ujiannya.

"Bagaimana ini?" Nyonya Ruangroj mulai panik.

"Sebentar, mungkin P'Off tau."

Akhirnya Gun menelpon suaminya. Kata Off, yang tahu password apartemen Singto-Krist adalah Arm. Gun pun menghubungi Arm setelah telponnya dengan Off terputus.

"Halo, P'Arm ... Apa kau tahu password apartemen Singto?"

"Aku tidak tahu," jawab Arm membuat Gun mendesah kecewa. "Kenapa?"

"Aku dan Mae tidak bisa masuk apartemen mereka. Ini tidak seperti biasanya. Singto dan Krist sama-sama tak bisa dihubungi. Kami khawatir terjadi apa-apa."

"Oh, aku pegang card unlockingnya. Aku akan segera kesana!" kata Arm.

Nyonya Ruangroj dan Gun menunggu dalam keadaan gelisah. Berkali-kali Nyonya Ruangroj menggumam agar semuanya baik-baik saja. Sedang Gun sibuk dengan Chimon yang rewel di gendongannya. Selang 15 menit, Arm datang, membawa card unlocking apartemen Singto Krist.

"Akhirnya datang juga," Gun mendesah lega setelah melihat Arm.

"Kalian dari tadi?" tanya Arm seraya memasukkan locknya.

"Iya. Tapi di dalam sepertinya tak ada tanda-tanda kehidupan," jawab Gun.

"Aku sangat khawatir kalau terjadi apa-apa sama Kit di dalam," tambah Nyonya Ruangroj.

Kunci sudah berbunyi 'klik'—tanda pintu sudah bisa dibuka. Arm masuk lebih dulu, diikuti Nyonya Ruangroj dan Gun yang menggendong Chimon.

"Kit?!" panggil Arm namun tak ada sahutan. Mereka masuk lebih dalam lagi.

"Kok, sep—Kit!" pekik Gun saat menemukan tubuh Krist tergeletak dilantai dengan basah pada selakangannya.

"Astaga, Kit!" Nyonya Ruangroj tak kalah kagetnya.

"KIT!" Arm mendekati tubuh Krist dan bersimpuh. Mengangkat kepala adiknya, lalu menepuk pipinya berharap kesadaran. Namun nihil.

Tak menunggu apa-apa lagi, Arm segera mengangkat tubuh adiknya dibantu Nyonya Ruangroj. Meninggalkan apartemen secepatnya. Yang ada dalam pikiran mereka sekarang adalah rumah sakit.

Krist masih dalam pemeriksaan. Arm, Gun, dan Nyonya Ruangroj menunggu dengan raut khawatir. Bahkan Nyonya Ruangroj sudah menangis ditenangkan oleh Gun. Sesaat dokter keluar. Arm lebih dulu berdiri menanyakan keadaan sang adik.

"Pasien sudah siuman. Tensi darahnya sangat rendah dan denyut jantungnya lemah, untung kalian segera membawanya kesini kalau terlambat akan sangat fatal akibatnya. Dan sekarang kami harus segera mempersiapkan untuk persalinan cesar. Tapi...."

"Tapi apa?" tanya Nyonya Ruangroj.

"Apakah suaminya ada di sini? Pasien ingin di dampingi suaminya."

***

Kalau disuruh berlari, Singto bukan ahlinya. Tapi kini dia berlari sekuat kakinya sejak selesai ujian. Mendapatkan banyak notifikasi panggilan tak terjawab membuatnya penasaran dan menghubungi Gun. Hanya tiga kata yang membuat Singto ngos-ngosan saat ini; Krist-mau-melahirkan.

Setelah menanyakan nama rumah sakit, Singto bergegas. Nekat menerobos lalu lintas yang tidak patut dilakukannya. Kebut-kebutan juga. Yang ada dipikirannya saat itu cuma Krist—dan bayinya.

"P'Arm! Hahh ... Hhh!" Dengan napas terengah, disempatkannya untuk memanggil Arm yang kini duduk di depan ruang rawat, sepertinya tengah menunggunya.

Kakinya sudah lelah lari, rasanya lemas saat mendekati Arm.

"Sing, akhirnya kau datang! Kit mau operasi, kau sudah ditunggu. Mending temui dia di dalam".

Singto patuh. Tak peduli kalau dia butuh duduk sejenak. Yang terpenting sekarang adalah anak dan istrinya.

Saat masuk ke dalam ruangan, ada Gun dan ibunya di sana tengah menenangkan Krist yang merengek mulas.

"Kit ...," panggilnya.

"Singtuan ... Huhhh sakithh!"

Singto memposisikan dirinya di samping Krist dan menggenggam tangannya. Seketika dia ikut meringis saat genggaman tangan Krist sangat kuat.

"Kau datang. Aku akan memanggil dokter," kata Nyonya Ruangroj. Singto hanya mengangguk asal.

Krist masih saja merengek sakit. Katanya, seperti ada yang mendorong di dalam perut membuatnya keram dan kaku. Dengan tangannya yang kosong, Singto mencoba mengusap perut Krist sembari menunggu dokter datang dan siap untuk operasi cesar.

Ayah Singto dan ayah Krist datang. Mereka memberi semangat pada Krist. Apalagi ayah Krist, mencium kening anaknya sangat lama.

"Kamu bisa!" bisiknya. Krist mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

Lalu datang Off, yang menepuk bahu Singto memberi semangat. "Sebentar lagi jadi Ayah, semangat!"

Sementara di luar ruangan, Nammon datang tergopoh. "P'Arm, Kit sudah melahirkan?"

"Belum. Masih persiapan. Mau masuk dulu?"

Ternyta Arm sedari tadi menunggu Nammon datang. Seperti yang dilakukan oleh lainnya, Nammon memberi senyuman dan kata penyemangat pada Krist.

"Aku akan menjadi Paman yang tampan!" seru Nammon.

"Aku dong, yang Paman tampan!" sanggah Arm.

Arm dan Nammon berebut posisi paman tampan yang membuat Krist aejenak melupakan kram di perutnya.

"Sudah, sudah. Begini saja, yang jadi Paman tampan aku!" potong Off yang membuat semuanya terkekeh.

"Kalian akan jadi Paman yang tampan semua, tenang saja ...," ucap Singto.

Seluruh keluarga berkumpul. Krist memandang mereka satu persatu dengan haru. Mereka penuh semangat menunggu bayinya lahir. Setitik air mata mengalir tanpa disadarinya. Krist tak menyangka akan berada di tahap yang sangat membahagiakan sekaligus mendebarkan seperti ini. Hanya harapan yang baik-baik dapat ia panjatkan saat ini. Dia dan bayinya sehat.

Tak menunggu lama, dokter yang bertugas bersama perawatnya sudah siap. Krist dibawa ke ruang operasi. Diikuti Singto yang memang diminta untuk menemani Krist selama proses persalinan.

"Mae ... Doakan lancar," Singto memohon pada ibunya sampai bersujud. Nyonya Ruangroj meraih bahu Singto membawanya untuk berdiri.

Lalu wanita paruh baya itu mengusap pipi Singto sambil tersenyum terharu. "Pasti. Mae pasti doakan. Sudah sana, susul Kit. Dia butuh kamu."

Singto mengangguk. Kemudian menyusul Krist masuk ke dalam ruang operasi. Sebenarnya sangat gugup, apalagi saat mendengar kata dokter jika tensi Krist dibilang sangat rendah dan denyutnya lemah.

"Singtuan, aku takut ...," lirih Krist dengan raut nyaris menangis. Dia tahu keadaannya tak baik-baik saja saat ini.

"Kamu pasti bisa, jangan takut."

Memang tak dapat melihat proses detailnya, karena ada kain yang menutupi kegiatan pembedahan. Di bawah lampu operasi Krist hanya terpaku pada wajah Singto. Dia tak merasakan apapun, hanya terasa kebas di bagian perut ke bawah. Tangannya yang bebas dari selang infus, digenggam Singto dan diciumi bertubi-tubi.

"Ada aku di sini, kamu pasti bisa!"

Krist mengangguk pelan. Singto tersenyum guna mengurangi kekhawatiran Krist. Walaupun sebenarnya dia sendiri juga khawatir.

"Kit ... ingat tidak, dulu kamu kesal sekali sama aku gara-gara kalah taruhan game. Terus aku minta kamu buat nikah sama aku?"

"Ya, ingat," jawabnya setengah berbisik.

"Turtlewitch, aku masih ingat nama ID mu waktu itu. Sejak awal, aku sadar kamu orang yang dulu pernah aku suka. Bertemu kamu lagi itu seperti takdir sedang ingin bermain denganku. Awalnya aku takut kamu bakalan pergi karena anggap aku aneh. Ya, bayangkan saja ... Bagimu aku orang asing yang tiba-tiba ngajakin kamu nikah. Pasti kamu merasa risih. Tapi bagiku tidak, itu adalah kesempatan. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi."

Krist tersenyum mendengarnya. Tangannya masih digenggam dan diciumi.

"Kamu orangnya jago main game. Sempat iri. Sampai kepikiran buat ambil strategi dari kamu dan bisa kupakai saat ada turnamen. Tapi aku malah kesal lihat kamu dekat sama Joss, sahabatku sendiri. Semuanya jadi ga berarti lagi dan aku kembali ingat kalau aku sampai sejauh ini bukan hanya sekedar duplicate strategi dari kamu."

"Kamu suka sama aku?" tebak Krist dengan suaranya yang lirih.

Singto mengangguk.

"Iya. Aku suka sama kamu. Dari dulu. Dan rasa sukanya makin nambah."

Krist tersenyum mendengarnya.

"Dan aku tak menyangka kamu ikutin permainan aku juga waktu itu. Bahkan rela bohong ke keluarga kita entah demi apa. Yang jelas aku suka kamu dari awal walaupun sempat nakal kepikiran ambil strategi. Makanya aku perjuangin kamu padahal Ayah sama Kakak kamu sering sekali mengusirku. Kamu pasti masih ingat semuanya."

Krist ingat. Dia tak pernah melupakan kejadian itu. Permainan konyol yang membawa ke kehidupannya yang berwarna.

Bertemu di cafe, tak sengaja. Tiba-tiba pemilik ID Lionsword mengajaknya bertarung. Ia kalah. Tak disangka jika si Lionsword memintanya untuk menjadi pendamping hidupnya. Tak pernah dalam benaknya akan menikah secepat ini dengan orang yang tak dikenal melalui taruhan game pula. Sangat konyol.

"Kit, dari banyak hal yang kita lalui ... Ayo, berjuang bersama untuk sesi selanjutnya. Kita rawat anak kita sama-sama. Mau kan?"

Krist menangis mendengarnya. Membuat Singto ikut mengalirkan air matanya.

"Eh, kok kamu nangis. Jangan nangis, aku jadi ikutan nangis."

Singto mengusap air mata Krist. Lalu mencium keningnya dan menangkup wajah putih pucat itu.

"Aku dan keluarga kita, menunggumu dan baby. Kalian harus sehat. Oke?"

Krist mengangguk lemah dengan air mata yang terus mengalir. Jujur saja ia takut terjadi apa-apa. Tapi melihat Singto yang selalu memberinya dukungan, Krist berusaha untuk memberikan yang terbaik untuknya serta keluarganya.

Tiga puluh menit sudah proses operasi berjalan. Singto tak henti-hentinya menyeka air mata dan keringat Krist. Dia tahu ketakutan seperti apa yang dirasakan Krist. Tapi ia tak boleh menunjukkan kegundahannya. Yang dilakukannya tetap membisikkan kata penyemangat sambil menghujani ciuman agar Krist merasa tenang.

"Singtuan, kalau aku tidak bisa bagaimana?"

"Sstt ... Kamu tak boleh bicara seperti itu. Aku yakin, kamu pasti bisa!"

Tak terasa akhirnya di menit ke lima puluh, bayi yang mereka nantikan menangis kencang. Suaranya nyaring mengisi ruangan. Singto sontak menoleh dan senyumnya terkembang saat itu juga. Akhirnya, Krist berhasil—

"Dokter, tensinya sangat rendah!" pekik seorang perawat.

Detik itu juga, Singto merasakan tangan Krist terkulai lemas dan mendingin seketika.

"Pasien kehilangan kesadaran!"

Krist pingsan. Dan itu buruk. Apalagi dengan tensi randah dan denyut yang melemah. Dokter beserta para perawat bertindak cepat menangani Krist. Singto panik. Dia sangat takut sekali saat ini. Yang bisa dia lakukan adalah menangis dan memanggil nama Krist berkali-kali.

"Kit ... Aku mohon bangunlah! Anak kita sudah lahir. Kit ini tidak lucu. Kit!"

Di suasana pelik begini, Singto memyempatkan diri untuk menepuk pipi Krist agar pasangannya itu sadar. Walaupun mustahil.

"Kit, aku mohon!"

"Kit...."

"Kit!"

***

"....Tuan Krist mengalami syok dan kehilangan banyak darah...."

"Terus?"

"Gitu katanya. Terus aku panik. Sekeluarga panik. Mae, P'Gun, bahkan Nammon sampai menangis."

"Kamu nangis juga?"

"Jangan ditanya. Pho benar-benar memelukku waktu itu. Aku seperti kehilangan separuh nyawaku. Aku sangat takut kehilangan kamu."

Krist memeluk suaminya yang tengah bercerita mengenai perjuangan persalinan anak pertama mereka. Penuh drama katanya. Krist sampai di rujuk ke rumah sakit lain karena keadaannya yang semakin turun drastis.

Kini keduanya sedang berada di kamar hangat mereka. Seminggu lalu, Krist sudah di perbolehkan pulang setelah berjuang dari masa kritisnya dan dirawat di rumah sakit.

"Empat hari kamu nggak sadar. Kasihan baby Fiat. Dia belum pernah ngerasain di gendong Mamanya untuk pertama kalinya dia lahir."

Fiat adalah nama anak mereka. Singto yang memberikan namanya. Ditengah kekalutannya yang mengharapkan Krist berhasil melewati masa kritisnya, ia juga harus memberikan perhatian pada sang buah hati. Untung saja ia tak sendirian, masih ada keluarganya dan keluarga Krist yang selalu mendampingi juga memberinya semangat.

"Maaf," sesal Krist.

"Kenapa minta maaf, sih? Justru aku mau terima kasih sama kamu yang sudah berjuang sejauh ini. Aku bangga sama kamu," Singto memeluk Krist sangat erat. Bahkan ia mencium pucuk kepala Krist dengan sangat sayang.

"Ternyata, melahirkan itu sakit, ya ... Taruhannya nyawa. Aku pikir waktu itu aku akan...."

"Sssttt ... Tapi kamu berhasil melahirkan seorang bayi. Kamu hebat."

"Iya, hebat. Aku tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. Tapi kok, orang-orang bisa ya, punya banyak anak?"

"Ya, soalnya buatnya enak," jawab Singto asal yang mendapat hadiah cubitan kecil di pinggangnya. "Aduh, au! Sakit...."

"Rasain! Salah sendiri mesum!"

"Siapa yang mesum. Itu fakta, lho! Coba saja kalau cara buat anaknya tidak enak, pasti orang-orang tidak akan punya banyak anak."

"Kenapa harus diperjelas lagi, sih?" kesal Krist.

"Biar kamu ngerti."

"Aku sudah ngerti!"

"Berarti kamu setuju dong, kalau buat anak itu enak?"

"Apaan, sih? Tidak tau, ah! Mau tidur saja! Bye!"

Krist merebahkan tubuhnya dan memunggungi Singto. Wajahnya sangat merah saat ini. Padahal hanya pembahasan biasa saja, tapi entah kenapa dia masih malu. Singto benar-benar suka menggodanya.

"Oke. Selamat tidur, Sayang ... Cepat sembuh ya bekas jahitannya biar aku bisa main sama kamu lagi," bisik Singto tepat di telinga Krist dengan sensual.

"Bodo amat!"

Singto terkekeh. "Nanti ... Kita buat generasi penerus selanjutnya. Itung-itung biar Fiat punya teman," lanjutnya.

Krist benar-benar dibuat gedek dengan suaminya. Ia sampai berbalik badan dan menatap Singto dengan kesal.

"Bisa diam tidak? Ini Fiat belum genap satu bulan usianya, tapi kamu sudah mikir mau buat adek?" Krist tak habis pikir.

Singto nyengir tanpa dosa. "Biar Fiatnya nggak kesepian nantinya."

"Fiat ada Chimon. Mereka bisa bermain bersama."

"Tapi Chimon kan anaknya P'Gun. Aku maunya yang dari kamu."

Krist mendengus. Walaupun mereka sudah akur sampai memiliki anak, ternyata Singto masih tetap menyebalkan seperti awal mereka bertemu.

"Pilih mana, tidur di sini atau di sofa luar?"

"Tidur di sinilah. Ya, masa' aku tidur di sofa luar."

"Ya, sudah. Makanya diam. Tidur yang nyenyak!"

"Tapi aku minta cium selamat tidur!"

Krist geleng kepala. Singto benar-benar suka sekali menguras emosinya.

"Sini," Singto mendekatkan wajahnya. Lalu Krist mencium kening, ujung hidung dan bibirnya sekilas. "Good night, Papa."

Setelahnya Krist kembali memunggungi Singto dan memejamkan matanya.

"Good night juga, Mama."

Ingin protes tapi sudah lelah. Krist pasrah saja dipanggil Mama.

Baru saja mereka memejamkan mata, belum sampai sepuluh menit sudah di bangunkan oleh suara tangisan bayi. Hal itu membuat mereka membuka mata lagi.

"Singtuan, Fiat nangis...."

Selalu seperti ini. Rutinitas baru yang dijalani oleh Singto dan Krist. Mereka harus bangun ketika Fiat menangis. Apalagi tengah malam begini.

"Dia kenapa? Ngompol?" Dengan malas, Singto mengekori Krist menuju box bayi yang tak jauh dari tempat tidur mereka.

"Ah, Fiat kenapa, Sayang?" Krist menggendong dan menenangkan malaikat kecil mereka. Dirabanya popok yang di pakai Fiat. Masih kering. "Dia tidak ngompol, kok! Kamu lapar ya, Sayang? Sebentar ya, Papa buatin susu dulu."

"Hah? Aku yang buatin?" Singto menunjuk dirinya sendiri.

"Iyalah, siapa lagi? Atau kamu mau gendong Fiat dulu, biar aku yang buatin."

"Oke. Oke. Aku yang akan buatin."

Krist tersenyum lega. "Oh, ya ... Jangan terlalu panas. Tetesin dulu di punggung tangan. Seperti biasanya."

"Iya. Siap. Papa muda siap melaksanakan tugasnya!"

"Terima kasih, Papa!" ucap Krist dengan suara anak kecil.

Tak menunggu lama, Singto kembali dengan sebotol susu. Baru sampai pintu kamar, dia melihat Krist yang menggendong dan menenangkan Fiat. Wajahnya tampak lelah. Beberapa kali Krist juga menguap. Tapi istrinya itu berusaha menahannya demi sang buah hati. Singto tanpa sadar terharu. Dia bangga sekali dengan Krist. Dan makin sayang juga dengan keduanya.

"Kit, segini masih terlalu panas tidak?" Singto masuk kamar. Lalu meneteskan susu di punggung tangan Krist.

"Tidak, kok!"

"Ya, sudah. Sini Fiatnya biar aku saja yang gendong," ujar Singto. "Aku mau nyusuin dia."

Krist tersenyum lembut. Dia tahu, Singto tidak ingin dirinya lelah. Maka dengan itu, ia menyerahkan Fiat pada Singto.

Singto tak perlu diajari lagi dalam hal menggendong bayi. Selama empat hari Krist tak sadarkan diri, Singto belajar banyak dari ibunya, Gun, dan perawat di sana. Jadi, ketika Krist menyerahkan Fiat padanya, Singto sudah luwes.

"Kamu istirahat, gih! Fiat biar aku yang urus."

"Kamu beneran?"

"Iya. Beneran ... Mungkin besok aku akan bangun sedikit siang dan melewatkan sarapan. Lagipula aku sedang libur. Tak masalah, 'kan? Mending kamu tidur saja, aku nggak mau kamu capek. Apalagi kamu masih masa pemulihan begini."

"Oke, kalau begitu. Jangan lupa buat dia bersendawa. Tepuk punggungnya dengan lembut. Lalu buatlah dia tertidur."

"Siap, Nyonya!" candanya membuat Krist terkekeh.

"Mau ciuman selamat tidur dulu," rengeknya.

Singto terkekeh. Istrinya ini makin lama makin menggemaskan.

Akhirnya, Singto membubuhkan ciuman di kening, ujung hidung, dan bibir. Lalu Krist melakukan hal yang sama pada Singto dan berpindah untuk mencium kening Fiat.

"Good night, Papa. Good night, Baby. Jangan rewel ya ... biar kalian cepat istirahat juga, oke?"

"Oke, Mama!" jawab Singto dengan suara anak kecil. Krist memukul lengan Singto. Geli sekali rasanya mendengar suara seperti itu dari mulut Singto.

Sebenarnya tak tega membuat Singto harus mengurus Fiat sendiri malam-malam begini. Tapi dia sangat lelah dan ngantuk. Untung saja, Fiat tenang sekarang—mungkin memang terbangun karena lapar.

Ketika Krist sudah merebahkan badannya dan hendak memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara Singto sedang menyanyikan sebuah lagu anak-anak untuk Fiat.

'Twinkle Twinkle Little Star' terdengar merdu dan lembut. Mengabaikan rasa kantuknya, kini justru Krist menikmati pemandangan yang tersaji sekarang. Tanpa sadar dia tersenyum. Singto yang kekanakan dan menyebalkan sekarang menjadi seorang Papa yang bertanggung jawab di matanya.

"Hidup itu seperti permainan. Dimana kita adalah karakter utama yang harus melewati berbagai rintangan di semua level. You have to pass all levels, then you win! Dan aku ... telah melewati itu semua bersamanya."—Krist Perawat.

Krist pun tersenyum. Kemudian memejamkan matanya sembari mendengarkan suara Singto yang merdu. Sementara itu Singto yang tengah menimang sang anak dan memegangi botol susunya sambil bernyanyi pun, tatap matanya tak beralih sedikit pun dari wajah mungil hasil perjuangannya dengan Krist. Tatapannya takjub. Masih tak menyangka jika yang ada di gendongannya ini adalah anak mereka.

"If life is like a game, then play and win. Untuk menjadi pemenang di sebuah permainan, maka kau harus tau aturan mainnya. Your strategy that will lead you to victory. Dan aku ... telah melakukannya untuk bersamanya."—Singto Prachaya.

END

a/n.

Yeay....akhirnya ENDING 🎉🎉🎉

Maaf klo endingnya ga sesuai ekspektasi kalian. Tapi aku lega akhirnya satu FF kelar dan aku bisa lanjut ke FF yang lain. Banyak bgt FF yang masih ngantri wkwkwk...

Muk ucapin makasih buat kalian yg baca ini dari awal sampe akhir, yang ngasih vote + komen kalian luar biasa. Makasih atas apresiasinya. Walopun kadang aku ga bales, tapi aku selalu baca komen kalian ❤️

Dan mau cerita dikit, sebenernya ini mau aku kebut di tanggal 22 Oktober kemaren tepat ultahnya Fiat tapi ternyata diriku tumbang sis wkwkwk jadi ketunda deh...ehe maapkan 🙏

Dah segini aja dulu. See you di next story gaiss...✨✨

26/Okt/20

XoXo
Vin.

Continue Reading

You'll Also Like

167K 15.4K 28
[Update: Senin-Selasa] "I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian...
211K 22.7K 25
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
60.8K 7.8K 30
'benci bisa jadi cinta loh, cantik' 'apaan, diem lu' 'aduh, malu malu ih si geulis' 'gue laki ya, jangan main cantik-cantik lu' 'tapi lu emang cantik...
1.3M 117K 62
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...