[S1] Enigma ft Hwang Hyunjin

By zyrurui

57.3K 11.5K 3.3K

Farel, lelaki berusia tiga puluh enam tahun yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Lima belas tahun yang l... More

开始 ❤️
一 | Sore itu
二 | Dua Orang Asing yang Dipertemukan Kembali
三 | Makan Malam yang Tidak Diinginkan Farel
四 | Pelukan di Dalam Bioskop
五 | Salah Orang
六 | Hari Sial
七 | Namanya "Mas"
八 | Niat Terselubung
九 | Apakah Aku Jatuh Cinta Lagi?
十 | Farel Jujur
十二 | Lamaran
十三 | Tipe Idaman
十四 | Ciuman Pertama
十五 | Gara-gara Ciuman Itu
十六 | Minta Izin
十七 | Masalah Hati
十八 | Waktu yang Salah
十九 | Bawa Pulang Farel
二十 | Penolakan Airis
二十一 | Tidak Menyerah
Hello, it's me
二十二 | Pertengkaran
二十三 | Kenyataan Dari Sudut Pandang yang Berbeda
Season 2 is coming soon!

十一 | Sarapan di Rumah Farel

2.2K 548 277
By zyrurui

Kalian ga suka sama ff ini ya?
Aku unpub aja ya
Mungkin kalian bosen sama ff ku yg rata-rata pembawaannya berat

Suara dangdut terdengar memenuhi kuping gue saat ini. Bersamaan dengan tepukan tangan dan sorak-sorai. Di depan gue tampak orang-orang sedang melakukan senam mengikuti sang instruktur. Mereka senam pagi, tetapi dengan amat sangat antusias. Entah karena instrukturnya yang seksi atau karena senamnya energik.

Kalau mayoritas adam, sih, karena instrukturnya seksi. Pakai legging ketat dan bra khusus olahraga saja. Badannya aduhai pula. Ini nih, bu Handoko. Si janda kembang nan kaya raya.

Idolanya Galuh selain Meriam Bellina.

Semuanya ikut gerakan senam energik itu, sementara gue duduk di belakang bareng Butet. Gue sengaja tidak ikut senam itu. Senamnya bikin gue merasa geli makanya gue tidak ikut. Kalau Butet, dia asyik makan soto rujak sambil menunggu kawan sehidup sematinya dia alias Galuh. Dia lebih suka mengisi perut dibanding olahraga. Sama seperti gue.

Andaikan nenek mas Alam tidak masuk rumah sakit akibat serangan jantung, pasti gue sudah jalan-jalan di tempat rekreasi bareng mas ganteng itu. Akhirnya acara jalan-jalan kami pun diganti hari lain, dan gue terpaksa ikut Galuh-Butet ke CFD di jalanan pertigaan lapangan kampus.

Terpaksa jilat ludah sendiri.

Tapi lebih baik ikut duo begundal itu ke CFD Sabtu ini, daripada ikut mas Bian ke gym bareng mas Arul. Si mas-mas PNS kecamatan yang mukanya mulus tanpa noda seperti habis di clinG. Gue tidak mau melihat mas Arul karena ada trauma. Dia dulu pernah dan sering main ke rumah. Modusnya sampai masuk ke kamar gue. Untungnya Galuh selalu di kamar gue untuk numpang tidur sebab kamarnya direnovasi.

Cukup.

Balik lagi ke gue dan Butet.

Si Butet asyik makan, sedangkan gue menatap malas para manusia-manusia yang sedang senam di depan sana. Gue ingin sudahan saja dan kembali ke rumah. Namun, gue tidak mungkin balik ke rumah tanpa Galuh. Dia pegang kunci motornya, sementara jarak rumah dan kampus cukup jauh. Selain itu, gue tidak bawa ponsel sama sekali. Akibatnya tidak bisa pesan ojek online.

Huft. Kesialan di pagi hari.

"Mbak Ai, gak bosen liat orang joget?" si Butet tiba-tiba tanya. Gue dengan malas menatapnya.

Si Butet ini umurnya hampir sama dengan Galuh. Akan tetapi dia ini kalau makan sedikit belepotan. Di sudut bibirnya saja sudah ada noda coklatnya. Untung dia lucu.

"Bosen. Pengen pulang." jawab gue malas.

"Gak mau nyari jajan gitu? Mumpung lagi banyak jajan, loh, mbak. Cari maem, gih. Biar mbak ndak bosan."

Nah.

Kenapa gue tidak cari makan saja, ya? Daripada hanya duduk di sini, lebih baik cari kuliner saja. Mumpung di CFD sedang banyak orang berjualan aneka macam makanan dan minuman. Hm, usul yang bagus Butet.

Gue lantas berpamitan pada Butet untuk cari makanan. Lelaki berpipi bulat itu hanya mengangguk. Gue pun berjalan di keramaian sembari celingak-celinguk mencari makanan yang cocok untuk mengganjal perut. Di antara keramaian ini, gue jalan sendiri demi makanan.

Hingga akhirnya gue hampir sampai ke ujung jalan. Gue baru dapat salah satu stand makanan yang letaknya di ujunh. Di stand ini menjual Okonomiyaki dan beberapa Japanese food seperti Yakisoba, Takoyaki dan Yakitori. Cukup menarik dan menggugah selera gue.

Gue sebenarnya tidak tahu macam-macam makanan yang dijual, tetapi gue ingin mencoba Okonomiyaki yang bentuknya seperti mini pizza.

"Kak, Okonomiyaki satu," sahut gue ke arah kakak penjualnya. Si kakak yang menggunakan kaus hitam dengan bucket hat putih bermerk AdiDas itu mengacungkan tangannya. Gue beralih melihat spanduk berisikan menu makanan yang dijual.

"Mas, Okonomiyakinya nambah satu lagi."

Gue tadinya sedang melihat-lihat spanduk tegak di samping stand sembari menunggi pesanan, mendadak terkejut karena mendengar suara seseorang yang tidak asing. Benar saja tidak asing. Suara itu berasal dari seseorang yang pernah bertemu beberapa kali. Sebut saja dia Mas. Iya, mas duda ganteng itu ada di tempat ini juga.

"Loh, mas?" tegur gue. Mas itu mengalihkan tatapannya ke arah kirinya, ke arah gue. Dia terkejut, tetapi tersenyum kemudian. Senyumnya cerah sekali sampai gue tidak bisa melihatnya.

Senyum unjuk gigi maksudnya.

Sial. Tidak sehat sekali untuk jantung ini. Lucu banget, pengen gue cubit pipi sama hidungnya.

"Mas beli juga?" tanya gue. Masnya mengangguk.

"Tadi saya kelihatan kamu jalan sendirian, eh, ternyata tujuannya sama. Sama-sama mau beli Okonomiyaki," kata masnya. Gue menyengir salah tingkah. Sebuah kebetulan begitu katanya.

"Kamu ke sini sama siapa?" tanya si mas.

"Ah, sama sepupu." balas gue.

Masnya ber'oh'ria.

Gue lantas mengalihkan pandangan ke arah menu itu lagi lantaran tidak tahu lagi harus mengajaknya bicara apa lagi. Biasa, gue kalau ketemu mas ini sering gugup dan berakhir salah tingkah. Daripada gue memalukan diri sendiri, mending gue diam saja sambil menunggu pesanan gue.

Pesan Okonomiyaki ternyata memakan waktu cukup lama. Entah apa yang membuatnya lama, gue tidak tahu. Gue pun sampai benar-benar dibuat gugup karena mas ini juga berdiri di samping. Jarak di antara kita cukup dekat, mungkin sekitar satu lengan. Mas itu untungnya sedang main ponselnya sehingga kegugupan gue tidak terlihat olehnya.

Pengen gue tinggal aja terus balik lagi daripada gue mati berdiri gara-gara gugup.

Huft.

Entah kenapa gue merasa sering banget ketemu mas ini.

Jodoh kali, ya.

Tapi masa sama duda? Gue maunya yang single kayak mas Alam. Gue tidak mau menikah dengan seorang duda. Alasannya karena gue takut berhubungan dengan orang yang pernah gagal membina rumah tangga. Entahlah, gue tidak tahu dari mana stigma ini datang.

"Mbak, Mas, ini Okonomiyakinya udah," si kakak penjual menginterupsi lamunan gue.

"Berapa kak?" tanya gue seraya merogoh saku celana olahraga.

"Satu dua belas ribu, dek,"

Gue mengeluarkan uang di saku kemudian menghitungnya. Uang gue berupa uang pecahan jadi menghitungnya agak lama. Biasa lah, kembalian dari pasar. Namun, di saat gue hampir selesai ternyata makanan gue dibayari oleh mas.

"Ini, Mas. Dua, yah." kata mas di samping gue. Si kakak penjual itu lantas menyodorkan kresek itu kepada kami.

"Terima kasih, kak." ucap gue kepada si kakak penjual. Dia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

Sementara itu, gue mulai menyejajarkan langkah dengan mas tadi yang membayarkan Okonomiyaki pesanan gue. Niat hati ingin mengganti uangnya.

"Mas, uangnya saya ganti, ya?" tawar gue padanya.

Mas itu menggeleng. "Gak usah, Ai. Gak apa. Saya ikhlas."

Duh. Tidak enaklah hati gue.

"Enggak, mas. Saya ganti aja," gue kekeuh mengganti uangnya.

Tin tin!

Saat gue hendak mengeluarkan uang dari saku jaket, tiba-tiba mas menarik lengan gue hingga ke tepian. Gue memekik kaget lantaran penarikan secara spontan itu dan suara klakson yang keras. Akan tetapi mas menarik gue karena ada motor box melintas. Hampir saja gue keserempet kendaraan itu kalau mas tidak menarik gue.

"Gak pa-pa kan Ai?" tanya mas. Gue menggeleng gugup. Ngeri hampir kena serempet sama ditarik mas barusan.

"Kita duduk di plesteran sana, yuk!" ajaknya.

Gue menurut saja saat mas menarik tangan—menggenggam tangan gue ke arah plesteran. Mas mengajak gue duduk lesehan tanpa alas di sana. Gue meneguk ludah saat sadar bahwa bisa dikatakan dalam lingkaran ini hanya ada kami. Dia dan gue saja.

Sial.

"Okonomiyaki di sana itu enak, loh, Ai. Apalagi Yakisobanya. Saya pernah beli beberapa kali. Penjualnya juga punya kios di dekat rumah sakit TNI di jalan Manado." Ia bercerita sembari membuka bungkus Okonomiyaki miliknya.

"Oh...iya, Mas." gue menanggapi alakadarnya dengan canggung. Jujur gue mendadak tuna diksi gara-gara berhadapan dengan orang ganteng sekarang.

"Makan, gih. Itu enak, loh, kalau masih hangat."

"Eum...mas, saya mau balik ke tempat saya saja. Saya makan di sana. Takut dicari sepupu saya," gue tiba-tiba teringat Galuh. Gue takut ditinggal olehnya.

"Galuh? Nanti saya yang bilang sama dia. Saya antar kamu pulang juga." jawabnya.

Ah, dia punya nomornya Galuh. Pasti Galuh sudah cerita soal gue ke dia. Kayaknya juga mereka sudah akrab, tuh.

Hm. Gue mencium bau-bau konspirasi di sini.

"Pagi ini saya mau sama kamu. Gak masalah kan? Anggap saja kencan."

Eh?

Gue turun dari vespa biru milik mas sesampainya kita berdua di rumahnya. Iya, gue dibawa ke rumahnya. Padahal tadi bilangnya mau mengantarkan gue pulang. Nyatanya lelaki itu berbohong. Dia malah membuat gue harus bertandang ke rumahnya lagi. Dengan dalih bundanya mengajak sarapan bersama.

Astaghfirullah. Ketemu bundanya dia, dong.

Gue kan lagi kucel. Belum mandi, belum pakai riasan dan belum berpakaian yang sopan. Meski konteksnya hanya sarapan bersama, gue tetap harus tampil cantik dan sopan. Gue sekarang cuma pakai kaus, jaket dan celana tidur.

Ya ampun. Seperti anak kos saja gue.

"Ayo, masuk, Ai!" kata Mas sambil berjalan mendahului gue. "Jangan ngambek, ya. Nanti mas anterin pulang, kok."

Gue terpaksa mengikuti lelaki itu. Kami lantas masuk ke dalam rumah setelah melepas sepatu di depan pintu.

Dalam hening, gue dan mas itu berjalan menuju dapur. Di perjalanan menuju dapur, gue melihat sekeliling isi rumahnya. Rumahnya luas dan rapi. Namun, atmosfir rumah ini terasa familiar. Gue tidak tahu benar atau salah, rasanya gue pernah ke rumah ini. Tidak tahu kapan pastinya.

Bau harum masakan menyambut gue dan Mas setibanya di dapur. Gue bisa melihat beragam jenis makanan tersedia di atas meja. Kedua orang tua mas (tampaknya) sudah duduk di sana. Gue seketika terserang rasa gugup dan ingin lari melihat ayah dan ibunya si mas yang rupanya membuat gue minder. Ganteng dan cantik sekali.

Pantas kalau mas ini ganteng. Bibit unggul kan.

"Sini, yuk, sarapan," kata wanita cantik berambut panjang yang umurnya bisa gue taksir sekitar lima puluhan lebih.

"Ayo gabung! Kita udah nunggu kalian," ayahnya si mas juga turut berkata.

Gue hanya mengangguk sambil tersenyum lalu mengikuti mas seperti anak ayam ke wastafel. Maunya cuci tangan sebelum makan. Mas cuci terlebih dulu baru gue. Ketika gue sedang mencuci tangan, tidak sengaja tatapan gue teralih ke arah kabin dapur yang kacanya transparan. Di sana gue melihat banyak kotak makan. Beberapa di antaranya seperti punya gue di rumah. Mirip sekali sama kotak yang gue bawakan untuk bekal mas Bian, tapi tidak pernah pulang.

Hm. Positif saja. Pabrik kan buatnya tidak hanya satu.

Setelah cuci tangan, gue bergabung dengan keluarga mas di meja makan. Gue kembali gugup saat ayah dan ibunya si mas menatap gue. Sial. Ini lebih seram daripada seminar proposal dulu. Vibrasi loh sama, tetapi lebih kuat yang ini.

"Tadi Farel bilang kalau temannya mau ke rumah. Jadi tante masak banyak buat sarapan. Tante harap kamu suka," ibunya si mas tersenyum di akhir usai berbicara.

Eh, tadi menyebut nama si mas kan, ya? Namanya Farel?

Anjay. Gue dibohongin mas Farel.

"Iya, Tante. Terima kasih." balas gue kikuk.

Gue pun mengambil piring di tumpukan piring di samping baskom kaca berisi nasi. Sayangnya, mas Farel mengambilnya lebih dulu. Ia mengisikan piring gue dengan nasi.

Ya ampun.

"Segini cukup, Ai?" tanya mas Farel, yang gue jawab dengan anggukan pelan.

Gue menerima piring itu lalu mengisi lauknya dengan kari ayam dan tumis kangkung. Gue sengaja tidak ambil yang lain. Gue masih sungkan untuk mencoba semua masakan di atas meja.

"Airis kenal sama Farel dimana?" ayahnya mas Farel tiba-tiba bertanya saat gue bersiap untuk makan. Si om tanyanya santai, tetapi efeknya luar biasa menjalar dari ubun-ubun sampai ujung kaki.

"Itu...kemarin ban saya bocor di depan rumah om, terus m-mas Farel bantuin," jawab gue agak terbata. Si om yang rambutnya hampir seluruhnya uban itu menganggukkan kepalanya.

"Gak usah canggung, ya, Ai. Tante sama om sebenarnya udah tau kamu kok. Santai aja, ya?"

Lah, dari mana mereka tahu gue?

"Maaf tante...kalau boleh tau, tante sama om tau dari mana?" gue melontarkan pertanyaan. Pasalnya gue heran kenapa mereka tahu gue, sementara gue baru bertemu mereka.

"Ah, tante itu dulu konsulennya mas kamu waktu jadi residen. Andreas Fabian kan?"

Gue mengangguk.

"Dulu kamu pernah ketemu tante, kok. Mungkin waktu itu kamu umurnya sekitar tujuh atau delapan tahun. Masih kecil, deh, pokoknya. Tante kaget, loh, sewaktu anak tante ini kenal kamu."

Oh, kalau begitu pantas gue merasa familiar sama rumah ini. Mungkin dulu mas Bian pernah membawa gue kemari sehingga tampak familiar. Mungkin, ya. Kejadiannya sudah lama sekali, jadi yang tersisa hanyalah memori sekilas.

Gue dan yang lain kemudian fokus dengan sarapan masing-masing. Di dalam kubikel ini hanya berisi suara dentingan alat makan. Kami benar-benar tidak berbicara saat sedang makan. Khusyuk sekali menyantap sarapan pagi sehingga kenikmatannya terasa.

Beberapa menit berlalu, sarapan pagi ini akhirnya selesai. Gue sebagai kaum hawa yang lain, membantu tante membereskan dan membawanya ke wastafel. Tante menyuruh gue menaruhnya di sana saja. Alhasil, gue cuma taruh piring kotornya dan kembali ke meja makan. Tante kemudian juga kembali dengan membawa empat gelas berisi air putih.

"Terima kasih, Tante." ucap gue begitu tante memberikan gelas berisi air ke gue. Si tante cuma tersenyum cantik.

"Gimana masakan tante, Ai?" tante bertanya soal masakannya begitu dia duduk di kursi.

Gue mengacungkan dua ibu jari. "Enak banget tante,"

"Iya, dong. Masakan tante enak semua," balas tante kemudian tertawa.

"Oh, ya, Airis sering berhubungan sama Farel?" si om tiba-tiba tanya. Gue sontak mengerutkan dahi. Terdengar ambigu soalnya.

"Berhubungan gimana, om? Kalau sekadar berkirim pesan, iya." jawab gue.

"Oh, Farel belum gerak berarti."

Gerak gimana om, kok gue tidak paham?

Mas Farel di samping gue tiba-tiba menyahut. "Yah, jangan dibahas, dong! Kan masih baru kenal!" ia protes ternyata.

"Gak apa, dong, Rel. Ayah cuma pengen tau. Lagian ayah juga antisipasi sama misi kamu itu. Selain itu kamu kan udah sama Ester. Kalian mau nikah. Ayah gak mau kamu sama Airis ada hubungan lebih."

Wait.

Mas Farel punya misi apa? Apa itu ada kaitannya dengan gue?

Terus dia ini ternyata berbohong ke gue? Dia bilang dia duda, tapi single. Kok, ayahnya bilang mas Farel mau nikah?

Wah...wah...drama.

"Begini, Ris. Si Farel ini, tuh, duda. Kamu udah tau belum?" si tante tanya. Gue mengangguk.

"Sudah tante,"

"Nah, Farel itu mau nikah, Ris. Dia udah dijodohin sama om. Dia udah lima belas tahun, loh, jadi duda."

Agaknya gue heran karena kedua orang tua mas Farel membahas soal kedudaannya dan pernikahannya secara mendadak. Harusnya mereka tidak membahas itu pada orang asing seperti gue. Namun, gue sedikit kecewa karena mas Farel berbohong ke gue. Soal dia mau menikah itu.

Gue menatap mas Farel yang ternyata sedang merengut kesal. Salah satu tangannya yang dibawah meja, tiba-tiba mengepal. Gue semakin heran karena mas Farel emosi.

Mungkin dia malu ketahuan bohong. Makanya kesal.

"Maaf tante, om," gue berbicara, memecahkan ketegangan yang datang mendadak ini. "Airis sama mas Farel gak ada hubungan, kok. Kami cuma teman. Kalau mas Farel mau nikah, ya, Airis turut senang. Akan tetapi, pernikahan mas Farel gak seharusnya kalian umbar ke saya karena saya hanya orang asing."

Orang asing yang sepertinya akan ditolak di keluarga ini.

Continue Reading

You'll Also Like

224K 33.7K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
481K 36.5K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
1M 83.8K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
104K 11K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...