TheShouq : (Mahabbah Rindu)

By Nun_footsteps77

18.4K 1.1K 183

[Spiritual-Romance] Harapan-harapan baru merekah indah melebur gelisah. Keindahannya yang semu mendayu-d... More

P R O L O G
S a t u
D u a
T i g a
E m p a t
L i m a
E n a m
T u j u h
D e l a p a n
S e p u l u h
A n n o u n c e m e n t
S e b e l a s
D u a b e l a s
T i g a b e l a s
E m p a t b e l a s
L i m a b e l a s
E n a m b e l a s
T u j u h b e l a s
D e l a p a n b e l a s
S e m b i l a n b e l a s
D u a p u l u h

S e m b i l a n

612 45 12
By Nun_footsteps77

Always be happy and be gratefull guys ⁦❤️⁩

_________________

"Sekarang aku tahu, alasan Allah menciptakan 'Penyesalan' diakhir sebuah perjalanan. Barangkali Dia ingin kita sadar bahwa apa yang saat ini sudah kita genggam, lebih dari pantas untuk sekedar 'diperjuangkan'. Jauh sebelum ia melebur bersama sebuah kata 'Kehilangan'."

Gus Farras

•••

"Ras, kamu siap-siap gih! Sebentar lagi keluarga Mbah Yai Dimyati sampai"

"Mbah Yai Dim? Berarti wanita antagonis bermuka dua itu bakalan ikut juga?" Dialognya dalam hati.

Entah mengapa rasa-rasanya Farras selalu merasakan aura negatif mengelilingi wanita yang digadang-gadang bapaknya sebagai menantu idaman itu---Ning Mazida.

Memang Farras akui, dalam pandangan mata dzohir Ning Mazida yang 3 tahun lebih tua darinya itu memiliki fisik yang mendekati sempurna. Tubuh tinggi semampai, kulit cerah, hidung bangir, serta mata tajam yang selalu ia garis dengan celak arab dengan sedikit lebih tebal yang menimbulkan efek tegas dan tajam. Tapi tetap saja, mata terindah dan paling teduh yang pernah Farras lihat adalah mata Ibunya dan gadis malang itu---Kanabi Hafiyya.

"Assalamualaikum..."

"Wa'alaikumussalam, monggo pinarak lebet Yai" terdengar suara Yai Muayyad sedang mempersilahkan keluarga Mbah Yai Dim masuk.

Farras mencomot songkok hitamnya diatas nakas. Lalu melangkah gontai menuju ruang tamu. Sejenak ia menyapu pandangannya dengan malas, serta mengulas senyum yang sejujurnya ia paksakan kepada seluruh tamunya. Nampak Mbah Yai Dim duduk didepan Bapaknya, disampingnya ada Gus Fawwaz, Gus Mahfudz beserta istri, dan tentunya wanita antagonis itu---Ning Mazida.

Sementara dari pihak keluarganya, ada Bapaknya, kakak pertamanya Mbak Nafisah dan suaminya Mas Azmi, satu lagi. Mas Aziz.

Ahh... Sepertinya ada yang kurang.

Farras berbalik arah. Semua yang duduk diruang tamu menatapnya bingung.

Farras mengetuk pintu kamar utama rumahnya itu pelan. Ia tahu tidak akan ada jawaban dari dalam. Sekedar formalitas unggah-ungguh yang dijunjung tinggi keluarganya. Perlahan Farras mendorong gagang pintu kamar tersebut, menimbulkan sedikit deritan yang membuat penghuninya mengalihkan pandangan kearahnya. Farras mengulas senyum terindah untuk malaikatnya.

Ia melangkah pelan menuju samping ranjang dimana malaikatnya terbaring lemah tak berdaya beberapa tahun terakhir.

"Ibuk... Keluarga Mbah Yai Dim sampun rawuh. Farras harap ibuk mau mendampingi Farras mengakhiri segala mimpi dan harapan Farras"

Dadanya bergemuruh mendengar ucapan putranya yang terdengar bergetar. Ingin sekali ia memberi pelukan untuk sekedar menguatkan putranya saat ini juga. Memberitahukan kepada putranya bahwa 'Ia akan selalu mendukungnya'. Namun takdir berkata lain, Allah punya segudang rencana yang lebih indah untuk putranya. Meskipun tanpa dukungannya. Ia hanya mampu mengedipkan matanya pelan pertanda menyetujui ucapan putranya.

Farras meraih kursi roda disudut kamar ibunya, merapikan khimar hijau tua yang dipakai ibunya.

"Bahkan ibuk masih terlihat cantik walau tanpa polesan bedak sama sekali" tuturnya seraya memapah tubuh ibunya keatas kursi roda yang tadi disiapkannya. Mendorongnya pelan menuju keberadaan keluarganya.

****

Semua pandangan tertuju padanya yang memilih duduk bersimpuh di samping kursi roda ibunya. Yai Muayyad memberinya isyarat agar Farras duduk di sofa kosong di samping bapaknya. Yang dimaksud malah mengalihkan pandangannya ke segala arah yang dapat ia jangkau.

Ia nampak kurang suka dengan pandangan remeh keluarga Mbah Yai Dim terhadap ibunya. Terutama pandangan wanita antagonis itu. Ia berdecih menangkap netra wanita yang beberapa bulan lagi akan menjadi istrinya.

Dari pandangannya tersirat bahwa ia ragu jika Ning Mazida akan menyayangi ibunya sebagaimana Kana menyayangi ibunya tanpa alasan. Ia semakin enggan melanjutkan perjodohan sepihak ini.

•••

Gus Farras POV

"Mari kita mulai saja musyawarah kita malam ini" Mbah Yai Dim membuka pembicaraan ditengah keheningan yang tersisa.

"Baik Yai, jadi kapan tepatnya pernikahan Farras dan Ning Mazida akan dilaksanakan?"

Aishh... Bapak nih nggak ada basa-basi nya banget si? Masak langsung to the point gitu. Ngebet banget apa aku nikahin Ning Mazida?

"Gimana Ning Mazida?" Bapak mengalihkan pertanyaannya kepada Ning Mazida.

"Mazida nderek Mas Farras mawon Pak"

"Benar-benar calon istri solihah Ning Mazida ini" Bapak tertipu mulut manis wanita antagonis itu dan malah memujinya.

Apa katanya? Mas? Jadi siapa yang lebih tua disini? Aku? Cihh!!

Belum selesai dengan keterkejutanku, kini pandangan semua orang beralih menatapku yang sibuk menggerutu dalam hati.

"Farras ingin berhenti dari perjodohan ini!"

Ahh... Andai saja aku mampu menolak keinginan Bapak. Pasti jawaban itu yang akan kukeluarkan.

"17 Syawal" Haahh??? Kenapa juga aku menjawab seolah aku setuju dengan perjodohan ini??

"Baik kami setuju" Mbah Yai Dim sepakat dengan jawaban spontanku. Yaah setidaknya, aku masih punya tenggang waktu untuk menjelaskan ini semua kepada Kana. Ia tak boleh salah paham dan mengira jika aku mempermainkan perasaanya.

Tunggu. Tapi bagaimana caraku menghubungi dia? Semua sosial medianya bahkan sudah tidak pernah nampak menghiasi beranda dan seakan hilang ditelan dunia. Tanpa jejak.

****

Flashback on...

Siang ini matahari bergelayut malas diantara lekuk-lekuk awan yang memenuhi hamparan biru nan luas yang biasa disebut---Langit. Ranting pepohonan disamping kamarnya menari kesana-kemari tersentuh bayu. Terpaan angin yang sedikit kencang menggugurkan dedaunan yang sudah tenggang masa hijaunya ke tanah.

Ya, seperti itulah daun. Ia tak akan pernah membenci angin walau kadang setega itu angin memaksanya pergi dan membuatnya jatuh--terinjak--terbakar. Barangkali itu memang takdir yang tertulis dalam 'Arsy-nya.

Lelaki berdagu lancip itu masih menopang dagu menatap kosong jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Jari-jemarinya bergerak tak beraturan seiring dengan deru napasnya yang kian memburu. Butir-butir keringat mengalir begitu derasnya hingga membuat tubuhnya sempurna basah.

Sesekali ia berdialog dengan dirinya sendiri. Tertawa. Menangis. Merajuk. Dalam waktu bersamaan.

"Kamu pengecut!"
"Kamu egois!"
"Kamu penghianat!"

Kesadarannya kembali diambil alih---Lagi. Ia kembali kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

Lelaki itu terlalu berpikir keras dan menyimpan semua kegundahannya sendirian. Ia sudah kehilangan sebuah bahu untuk bersandar sekaligus seseorang yang dahulu selalu memintanya untuk tetap tegar.

"Assalamualaikum..."

Suara itu terdengar familiar, dan sangat menenangkannya. Tapi tunggu, siapa dia? Siapa yang datang bertamu ke rumahnya? Ia ingin bangkit dan menemui pemilik suara itu. Tapi tiba-tiba tubuhnya limbung, ia kehilangan keseimbangannya. Badannya ambruk disamping kursi yang baru saja didudukinya. Ia masih setengah sadar. Tetapi netranya enggan berkoalisi dengan dirinya---Masih terpejam!

Terdengar dari luar kamarnya percakapan antara pemilik suara itu dengan Mas Aziz. Mas Aziz mempersilahkannya masuk. Dan tunggu! Dia ingin menemui ibunya? Sesungguhnya siapa tamu itu? Mengapa rasanya ada yang janggal dengan kinerja aliran darahnya? Mengapa jantungnya berdegup begitu kencang bak gendang yang dipukul bertalu-talu. Mengapa rasanya hatinya begitu tenang saat mendengarkannya bersuara?

Ia ingin sekali berontak. Tetapi ada sesuatu yang seolah menahan tubuhnya. Ia tidak bisa bergerak. Hanya lelehan air matanya yang mampu menjelaskan perasaanya saat ini.

Hiiks...hiiks...hikss...

Tunggu...tunggu...tunggu...!
Kenapa pemilik suara itu menangis? Apakah ada yang menyakitinya? Apa ada yang membuatnya terluka? Lelaki itu masih fokus mendengarkan percakapan orang-orang di ruangan sebelahnya---Kamar ibunya.

Hening.

Tak ada lagi isakan tangis yang terdengar, yang ada hanya lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang dipimpin oleh gadis pemilik suara lembut itu.

Jauh dalam lubuk hatinya ia merasa tenang. Tapi tidak dengan respon tubuhnya yang seolah menegang. Gerah. Dan seperti tersengat ribuan volt aliran listrik.

****

Wanita yang terbaring di ranjangnya itu bergantian menatap 2 gadis lain yang dibawa Alma dan menjenguknya. Alma berdiri tepat disampingnya, disebelahnya ada gadis yang belum pernah ia temui, dan yang paling ujung...

"Subhanallah...itukah gadis yang beberapa kali masuk kedalam mimpiku? Sungguhkah ia gadis itu Ya Allah?" Monolognya dalam hati.

Rasanya ada sedikit rasa bahagia dalam hatinya. Ia tak menyangka akan dipertemukan dengan 'gadis penolong' dalam mimpinya itu dirumahnya sendiri.

Dan lagi.

Ayat-ayat yang dilantunkan gadis itu bersama Alma dan satu temanya yang lain, sama seperti bisikan-bisikan halus yang selalu menemaninya semenjak ia stroke dan lumpuh total seperti saat ini.

Gadis yang selalu dalam pengawasan netranya itu tiba-tiba memeluknya. Tangisnya seketika pecah walau tanpa suara. Memaksa air matanya ikut mendesak keluar dan membasahi pipinya yang kian tirus. Gadis itu masih memeluknya erat sebelum akhirnya menatap netranya dalam. Ia menemukan kesedihan sekaligus ketulusan dari tatapan gadis itu atas dirinya.

"Rasanya sangat nyaman menatap manik cokelat gelap gadis itu" batinnya.

Ia hanya mampu tersenyum membalas tatapan gadis itu. Alma mengisyaratkan kata 'pamit' padanya. Gadis itu meraih punggung tangan kanannya mengecupnya lembut, disusul Alma dan satu teman lainnya.

Ia menatap punggung ketika gadis itu sebelum mereka bertiga melengang hilang dari kamarnya.

"Apa Farras tau gadisnya datang?" Tanyanya pada langit-langit kamarnya yang balik menatapnya diam.

****

Gadis itu memberi isyarat kepada kedua temannya untuk berpamitan dengan Bu Nyai Sofiyah---Ibunda Farras. Ia tak kuasa jika berlama-lama didalam, tangisannya sulit sekali dikendalikan saat melihat kondisi Bu Nyai Sofiyah yang amat memprihatinkan.

Ia melengang terlebih dahulu menyisakan Alma dan Arina yang bergantian menyalami punggung tangan malaikat dari orang yang sangat disayanginya itu. Ditengah perjalanan, Kana menemukan sebuah ruangan dengan pintu bertulisakan 'Farras's Room'. Desakan dari dalam hatinya semakin membuncah. Ia memegang bagian dadanya yang terasa sesak. Masih dalam posisi berdiri menatap ruangan tadi, berharap penghuninya akan segera keluar dan menemuinya. Menjelaskan segala peristiwa yang masih menimbulkan banyak tanda tanya dalam benaknya.

Sebuah tepukan di pundaknya berhasil melebur lamunan Kana.

"Gus Farras nggak dirumah Naa" tutur Alma sembari merangkul Kana untuk keluar dari kediaman keluarga Yai Muayyad. Ia terpaksa berbohong. Sangat tidak memungkinkan mempertemukan Gus-nya dengan Kana disaat seperti ini. Yang ada sahabatnya akan semakin berat melangkah ke kedepan setelah melihat Gus-nya yang kembali kumat.

"Doakan saja Bu Sofiyah lekas pulih ndhuk" Arina buka suara setelah memandang sahabatnya iba.

Arina jauh-jauh datang dari Jogja semata-mata untuk sekedar menemani Kana menjenguk Ibunda Gus Farras. Ia ingin sahabatnya lega setelahnya. Dan bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa harus terus-menerus menatap kebelakang.

Flashback off...

****


"Bapak, izinkan saya berbicara empat mata dengan Mas Farras"

Apa-apaan sih Ning Mazida, pake acara bicara empat mata segala. Memangnya apa yang mau dibicarakannya? Apa dia sama sekali tidak merasakan ketidaknyamananku dengan kehadirannya?

Mau tidak mau aku mengekor Ning Mazida yang sudah lebih dahulu melengang ke beranda rumahku. Ia duduk dengan begitu tenangnya, masih mengulas senyum untukku---yang sama sekali tidak mengharapkannya!

"Mas Farras ..." Panggilnya lirih.

Aku diam.

"Njenengan tahu kan siapa saja yang termasuk dalam golongan orang munafik?"

"Oww... Jadi dia menuduhku munafik? Atas dasar apa?" Gerutuku dalam hati.

"آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ"

Aku hanya menjawabnya dengan salah satu hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hurairah tanpa embel-embel.

"Sejak kecil kecerdasanmu memang patut diacungi jempol" ia menatapku intens. "Tapi sayang, ingatanmu sungguh buruk!" Nada bicaranya ia naikkan satu oktaf lebih tinggi.

"Tepati saja janjimu... Dan kamu tidak akan masuk dalam golongan orang munafik itu Mas.."

•••

Bersambung...

______________________________________

Jadi kira-kira kenapa Gus Farras diminta menepati janjinya??
Ada yang tau janji apa yang belum Gus Farras tepati??
Ayo tulis jawaban kalian dikolom komentar !
Jangan lupa untuk follow, dan komentar pada setiap barisnya 🤗.
Taburkan bintang-bintang biar author makin semangat berimajinasi.
See you on next part Shouqers...

Salam ceria⁦❤️⁩

Continue Reading

You'll Also Like

40.7M 1.1M 42
When Arianna marries billionaire Zach Price to save her family, she doesn't expect to fall in love with a man who'd always consider her a second choi...