If Loving You is Wrong

By rrkimly

36.4K 2.3K 433

Kaia pernah sangat mencintai Tristan. Itu sebelum Tristan menyakitinya sampai pada titik Kaia tidak bisa mema... More

Satu - Tragedy
Dua - Hardest Days
Tiga - Kembali untuk Pergi
Empat - A Gift
Lima - Cinta yang Berubah Rupa
Enam - Arrow
Tujuh - Dusta
Delapan - Heart of Glass
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
[Kapan ilyiw update?]
Duabelas
Tigabelas
Empatbelas
limabelas
enambelas_
tujuhbelas [a]
tujuhbelas [b]
delapanbelas
sembilanbelas
duapuluhsatu
duapuluhdua
duapuluhtiga
duapuluhempat
duapuluhlima

duapuluh

119 13 2
By rrkimly

Di sepanjang perjalanan pulang mereka hanya saling diam. Tristan terkadang mengepalkan lengan kanannya, menggigit kepalan itu lalu kembali fokus ke depan. Kaia bersumpah dia bisa mendengar napas mereka berdua yang teratur saking sunyi. Ia tak tahu seberapa banyak yang dengarkan oleh Tristan. Apakah pria itu mendengar seluruh gundah gulana yang ia curahkan pada Bian.

Kaia menyentuh kening. Ya tuhan, ini baru kali pertama dalam sejarah persahabatannya dengan Bian, pria itu mencium keningnya. Bian selama ini hanya menggenggam tangannya, memeluknya, atau mengusap kepalanya. Tadi otaknya terlalu sesak oleh luapan emosi yang tiba-tiba saja menyerang jadi ia tidak sempat memperhatikan apa pun. Apakah sentuhan yang ia rasakan di bibirnya adalah ciuman juga. Ya tuhan! Kaia meraba bibirnya, Tristan melirik sejenak lalu kembali menyibukkan diri dengan jalan raya.

Kemudian, apa perkataan Bian serius? Bagaimana bisa pria itu menyukainya? Dan selama ini ia tak peka mengenai perasaan lelaki itu. Dia tahu selama ini Bian selalu memperhatikannya, perhatian seperti seorang kakak pada adiknya. Setidaknya seperti itu yang dulu dikira oleh Kaia. Ada perasaan Bahagia sekaligus sedih saat ia mengetahui perasaan sahabatnya itu. Rasa Bahagia dan terima kasih yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Baginya dicintai Bian adalah sesuatu yang indah. Tapi ia juga sedih, ia tak sanggup memikirkan bagaimana Bian harus menghadapi patah hati dan cinta yang tak terbalas ketika ia menikah, karena ia tahu bagaimana perihnya. Seandainya semua belum terlambat, seandainya ia bisa memutar waktu. Dia tidak akan menyia-nyiakan Bian yang ada di sisinya. Seandainya dia bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa.

Mereka sampai di rumah, tanpa bicara satu patah kata pun. Namun Tristan masih membukakannya pintu mobil, berjalan di sampingnya yang masih terseok-seok. Dan ketika mereka sudah berada di dalam rumah lelaki itu akhirnya berbicara.

"Istirahatlah, kamu pasti lelah seharian ini. Kalau kamu perlu bantuan, hubungi aku lewat telepon atau pesan."

Tristan berbalik menuju tangga ke lantai dua, namun Kaia memanggilnya terlalu lantang.

"Bibirmu."

Disentuhnya sudut bibir tebal itu dengan jari, ia mengernyit sedikit menyadari bahwa ada sobekan di situ.

"Kamu harus bersihkan itu dan bubuhkan antiseptik."

"Aku tahu. Istirahatlah."

Kaia mengangguk, segera masuk ke kamar lalu menutup pintu rapat-rapat.

Setelah melihat pintu itu tertutup rapat, Tristan menghembuskan napas berat. Ia memutuskan untuk mandi dan beristirahat. Ia pikir mandi air hangat itu bisa membantunya mengurai benang kusut yang ada di kepala. Namun, ia justru memikirkan hal yang tidak diinginkan. Dia tidak mengerti perasaan dendam yang tiba-tiba memenuhi kepalanya, ia ingin membunuh Bian. Apa itu karena Bian telah melanggar teritorinya?

Awalnya ia hanya ingin mendengar apa yang mereka berdua bicarakan. Dia tahu Kaia mempedulikannya. Dengan segala kebencian wanita itu terhadap dirinya, Kaia masih memikirkan perasaannya. Tristan senang mendengar kenyataan itu dan berharap hal sama. Dia harap Kaia akan terus membencinya, menghinanya dan mencercanya. Itu akan membuat semua lebih mudah. Dan ya, jika memang Kaia bisa menemukan cinta yang tidak menyiksanya, itu pasti akan sempurna. Tristan berpikir demikian, dia pikir Bian sempurna untuk Kaia. Tapi kenapa ia tidak bisa menahan emosi yang memenuhi puncak ubun-ubun ketika Bian mencium Kaia di bibirnya.

Sial.

Tristan memperhatikan sudut bibirnya yang bengkak dan berwarna merah gelap di kaca wastafel kamar mandi. Dengan hanya sehelai handuk membalut tubuhnya, Tristan keluar. Menuju dapur, dan membuka seluruh lemari atas dan laci yang ada di sana. Ia menggerutu, mungkin kotak P3K tidak ada di dapur. Dia ingat dulu pernah membeli benda itu, namun ia lupa di mana meletakannya karena memang tidak pernah digunakan sama sekali.

Ia mencari-cari kotak P3K di ruang tengah, di dalam laci-laci lemari. Ia sempat akan menyerah mengobati luka itu kalau saja Kaia tidak tiba-tiba muncul dengan menggunakan piyama katun pink bermotif bebek dan kruk di bawah ketiak.

"Kotak P3K ada di lemari nomor dua dapur bawah."

Tristan mengangguk dan kembali ke dapur, entah bagaimana ia bisa melupakan lemari dapur bawah. Ia kembali dengan kotak P3K yang memang benar berada di situ. "Ah ya." Tristan berseru ketika berhasil mendapatkan benda kota putih dengan tanda plus merah di bagian atasnya, "kamu belum tidur?"

"Aku haus."

"Bukankah sudah aku minta untuk memanggilku."

"Aku bisa lupa cara berjalan kalau terus dibantu, aku juga harus latihan berjalan tanpa kruk," tukas Kaia yang hendak melanjutkan langkahnya.

"Duduk." Tristan meletakkan kotak P3K di atas meja makan lalu menuangkan air ke dalam gelas bening yang tinggi, lalu meletakannya di atas meja. "Teko air di kamarmu harus diisi ulang."

"Mau ke mana?"

"Aku harus pakai ini di kamar mandi, di sana ada kaca dan cahayanya lebih baik," katanya sembari mengangkat kotak P3K.

"Biar aku bantu."

Tristan diam sejenak, lalu menyalakan lampu di atas meja makan dan ikut duduk di meja makan bersama Kaia dan menyerahkan kotak itu padanya.

Alis Kaia berkerut memandang tubuh bagian atas Tristan yang diterpa cahaya lampu itu tidak dibalut apa pun. Hanya handuk yang memeluk pinggang pria itu erat. Ia terlihat kebingungan dengan wajah memerah.

Menyadari tingkah Kaia yang janggal Tristan melirik dadanya yang terekspos, "Apa sebaiknya aku pakai baju dulu?"

"Ini nggak akan lama," jawab Kaia sembari berdeham, membongkar isi kotak P3K dan mengeluarkan apa yang ia butuhkan.

Setelah membubuhkan alkohol di atas kapas putih, Kaia menjepit benda itu dengan pinset lalu menempelkannya ke sudut bibir Tristan yang bengkak. Pria itu berdesis ketika alkohol dingin itu menyekat luka terbuka di atas bibirnya. Keningnya berkerut berusaha menjauh dari kapas itu.

"Jangangerak," pinta Kaia tenang. Matanya yang berwarna hazel itu menatap lurus ke arah Trisan. "Ini nggak akan bengkak lagi besok pagi kalo dibersihkan dan diobati."

"Ahh!" Tristan kembali mengerang ketika Kaia mengoles gel antibiotik ke bagian yang sama. Ia menekan beberapa kali benda itu cukup kuat meski dengan mengandalkan tangan kirinya.

"Kamu sengaja?"

"Ya."

Kaia mengulangi lagi tindakan balas dendam pengecut yang ia gunakan itu ke bibir Tristan.

"Kaia!"

Tangan Kaia ditangkap dengan cekatan oleh Tristan sehingga gerakannya terhenti. Sontak Kaia menatap mata Tristan yang mengarah padanya. Sentuhan Tristan di punggung tangan membuatnya berdesir. Dari jarak sedekat ini dan timpaan cahaya lampu membuat wajah Tristan tergambar jelas. Kaia bisa melihat wajah yang dulu ia kagumi, yang membuat ia jatuh cinta setengah mati. Tristan memiliki sepasang alis yang tebal menukik dan sepasang mata yang besar dengan sudut agak menurun. Hidungnya mancung agak bengkok. Bibir yang tebal yang terkesan dingin saat tertutup namun memesona saat tersenyum.

Namun Kaia tersadar dari lamunannya, ia sudah terlalu lama terpaku menatap Tristan.

"Lepas."

Kaia berusaha menarik tangannya. Namun Tristan menahannya di sana, menekan tangan kurus itu ke rahangnya yang tegas. Membuatnya merasakan kulit Tristan yang cokelat dan kasar karena belum bercukur.

"Kamu dengan Bian..."

"Kak..."

"Apa yang terjadi antara kalian?"

"Bukan urusan Kakak."

"Apa perasaan kamu sudah berubah?"

Tangan Kaia kurus, dingin dan halus. Tangan itu terasa pas dalam genggamannya. Tapi tangan itu terlalu rapuh untuk tenaganya yang berlebihan. Tristan mungkin akan mematahkan jari-jari itu jika ia menambah kekuatannya. Namun ia meremasnya lembut, meleburkan kehangatan tangannya ke tangan Kaia yang dingin.

Iris Hazel Kaia berbinar-binar tertimpa cahaya kuning lampu meja makan. Mata berair itu menatap tanpa takut padanya. Ia tak pernah bisa melihat Kaia sejelas ini sebelumnya. Wanita ini begitu bersinar, kulitnya yang memantulkan cahaya, bibirnya yang bulat memerah karena menahan tangis. Dia tak pernah tahu bahwa Kaia cantik. Tidak sampai hari ini.

Selama ini matanya hanya tertuju pada Kania. Kania adalah gambaran dari kata cantik itu sendiri. Hampir semua orang akan setuju jika mengatakan Kania cantik. Dia memiliki mata, hidung, bibir, alis, bulu mata dan bentuk wajah yang menjadi impian setiap wanita. Selama ini, Kaia selalu berada di samping Kania yang menurutnya sempurna. Dan itu membuat Kaia tersembunyi di balik bayang-bayang saudara perempuannya.

Harus ia aku bahwa mata berwarna hazel itu jauh lebih indah pada Kaia. Kaia memang tidak memiliki fitur seindah Kania. Namun, bagian-bagian wajahnya begitu harmonis seakan memang diciptakan untuk menyempurnakan satu bagian dengan bagian lain. Rasanya ia tidak akan puas memandang wajah itu hanya dalam satu malam. Tapi mata basah Kaia membuatnya di tampar rasa bersalah sekali lagi.

Tristan takut dengan jawaban wanita ini.

Kaia menarik napasnya pelan, lalu berkata, "Perasaan itu nggak akan pernah sama lagi."

Perasaan yang dulu hanya ada merah muda kini tercoreng warna hitam. Perasaan itu tidak akan seindah dulu dan tidak ada cara untuk memperbaikinya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 134K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
589K 4.7K 24
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
523K 26.8K 46
Bagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.
430K 48.6K 28
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...