Secangkir Kehangatan (END)

Por sykalila

2.3K 339 216

END R 15+ 《PART LENGKAP》 ▪︎Genre spritual ▪︎ Cool boy series #1 ~ Cintamu ada untuk didapatkan dan juga dilep... Más

Prolog
Freinz Albert Orlandz
Weinza Oktyra Ayodhya Rein
1. Kesal
2. Desir
3. Jumpa
4. Amarah
5. Acuh
6. Rindu
7. Hangat
8. Akrab
9. Jalan
10. Perbedaan
11. Gemeletuk
13. Bayangan
14. Degup Jantung
15. Gugup
16. Senyuman Tipis
17. Malam Indah
18. Perjodohan?
19. Terkejut
20. Fitnah
21. Cantik
22. Surprise
23. Jemput
24. Camer?
25. Morning
26. Murka
27. Permintaan
28. Terakhir kali
29. Liontin
30. Menggila
31. Anna Ubibbuka Fillah
32. Kehilangan
33. Undangan (END)
SWI AGENCY

12. Cinta Sejati

32 5 0
Por sykalila

Enza berjalan mondar-mandir tidak tentu arah di halaman rumah. Thel yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya menatap Enza aneh dengan tangan mungil memegang koper miliknya. Anggap saja Enza sedang merutuki kebodohannya. Menyetujui ucapan Freinz tanpa berpikir panjang. Selalu menganggap semuanya remeh tanpa tahu konsekuensi apa yang akan ia hadapi.

Yah, namanya juga nasi sudah menjadi bubur. Mau diulang pun juga tidak bisa. Karena kita bukanlah doraemon yang memiliki mesin waktu. Bagaimana pun, ia sudah menerima permintaan seseorang. Dan ia harus mempertanggungjawabkan. Tak peduli bagaimana reaksi orang-orang nanti. Yang terpenting, Thel bisa masuk dan hidup bahagia di sana. Ingat! Hanya satu hari saja Thel ada di sisinya. Selanjutnya, Thel akan bersama Freinz hingga waktu yang ditentukan.

Enza menghela napas. Berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya meraih tangan Thel dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. Belum sempat tangan Enza menyentuh permukaan dingin pintu, seseorang telah lebih dulu membukanya dan menatapnya dengan wajah memerah.

"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu nanti di masa depan, hah? Kayak begini saja tidak bisa mengatur!" murka Hasan kepada sang bungsu. Membuat Thel ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Enza. Memeluk kedua kaki perempuan tersebut. Enza menghela napasnya sabar. Berusaha mencari kata yang tepat untuk ia ucapkan kepada sang abi.

"Abi, Enza masuk dulu, ya. Enza udah capek nih."

"Capek-capek! Kamu kira Abi dari tadi nungguin kamu gak capek apa? Udah malam begini, masih aja keluyuran. Trus, kamu udah sholat? Dimana tanggung jawabmu Enza? Kamu itu udah besar. Masih aja bolong-bolong salatnya. Dan itu, apalagi. Ada koper kecil di samping kamu. Punya siapa Enza punya siapa?" Hasan terengah-engah selepas mengucapkan banyak kata dalam sekali tarikan napas. Risa yang mendengar keributan dari luar pun segera bergegas menghampiri suaminya. Menatap risau Enza.

"Ya Allah, akhirnya kamu pulang juga. Sudah ditunggu dari tadi juga. Gak tahu apa abimu ini sangat khawatir sama kamu," ucap Riza sembari memeluk tubuh Enza. Tiba-tiba saja ekor matanya menangkap sepasang kaki mungil yang berada di belakang Enza. Risa pun berjongkok dan melihat ke belakang Enza.

Mata Risa membola ketika ia menemukan seorang batita tengah bersembunyi di balik tubuh Enza. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Siapakah anak ini? Apa mungkin dia anak Enza? Tapi, sepengetahuannya, ia tidak pernah melihat Enza hamil. Perut Enza selalu datar. Jadi, tidak mungkin kan Enza melakukan seks bebas di luaran sana? Dan lagi, wajah batita ini tidak mirip dengan Enza. Hanya sepersekian persen saja.

Dengan menguatkan hati dan membersihkan pikiran buruk, Riza pun menangkup tangan mungil itu. Menuntun batita dengan wajah pucat pasi itu keluar dari persembunyiannya. Sontak, Hasan yang melihatnya pun kembali murka. Apa-apaan ini? Mana mungkin Enza bisa memiliki seorang anak? Atau jangan-jangan ....

"Abi, diam! Jangan mulai marah lagi. Umi yakin Enza tidak melakukan hal senonoh seperti itu."

"Tapi, itu ada buktinya, Umi."

"Belum tentu apa yang dilihat Abi sama seperti yang Abi pikirkan. Pasti, Enza memiliki penjelasan sendiri tentang hal ini. Benarkan Enza?" Enza menganggukkan kepalanya membuat Hasan semakin dilanda kekalutan. Tak ingin menambah dosa semakin banyak, Hasan memilih untuk berlalu dari hadapan mereka dan duduk di ruang keluarga. Riza yang sedari tadi mengamati sang suami pun kini mengalihkan pandangannya ke arah Thel. Memberikan senyuman hangat kepadanya.

"Asalamualaikum, anak ganteng. Namanya siapa?" sapa Riza hangat sembari memegang kedua bahu Thel. Thel melirik takut ke arah Enza. Namun, Enza justru menyunggingkan senyum. Menyuruhnya untuk menjawab pertanyaan Riza.

"Thel," jawab Thel singkat.

"Subhanallah sekali namanya. Oh iya, Thel ke sini sama siapa?" Thel menoleh ke arah Enza dan menunjuknya.

"Momma."

Deg

Tiba-tiba saja dunia Riza hancur. Ia tidak bisa berkata-kata apalagi dan memegang dadanya yang terasa sesak. Enza dibuat panik dibuatnya. Ia pun berjongkok dan memeluk tubuh Riza. Thel sendiri telah berlari ke belakang Enza dan memeluknya. Meminta perlindungan dari Enza.

"Enza, jangan bilang ini—"

"Bukan, Mi. Dia bukan anak Enza. Dia adalah anak teman Enza. Enza hanya membantu dia buat ngasuh."

"Tapi, kenapa kamu tidak bertanya dulu sama Umi?"

"Maafkan Enza, Mi. Enza tidak sempat memberitahukan kepada Umi. Karena ini terjadi begitu saja. Awalnya Enza hanya bermain dengannya. Terus, pas Enza tinggal, dia malah nangis sambil terus manggil Enza momma. Sudah Enza bilang kalo Enza bukan ibunya.

Tapi, dia nangis terus dan gak mau pulang sebelum menganggap Enza sebagai ibunya. Enza juga sedih nglihatnya sampai batuk-batuk begitu. Jadi, Enza terima saja dan berpura-pura menjadi ibunya untuk sementara waktu." Enza menghela napas. Meraih kedua tangan Riza dan menggenggamnya erat.

"Mi, Enza mohon. Beri Enza waktu untuk bersamanya lebih lama lagi. Hanya untuk sementara waktu saja sebelum akhirnya dia bertemu dengan ibunya yang sesungguhnya."

Riza membisu. Berusaha untuk mengesampingkan egonya dan berpikir untuk jalan terbaik. Sesekali, ia melirik ke arah Thel yang terus memeluk Enza ketakutan. Ada rasa kasihan di dalam hatinya, ketika melihat wajah mungil Thel. Tidak salah memang mengaku dirinya sebagai seorang ibu. Tapi, bagaimanapun. Di setiap tindakan pasti akan ada resiko. Ia takut jika kehidupan Enza semakin susah nantinya dengan mengklaim seorang batita sebagai anaknya.

Tapi, ingatkah dia akan umur Enza yang tak lagi remaja. Kini, Enza telah berumur 24 tahun. Petanda ia sudah dewasa dan memiliki hak untuk membuat keputusannya sendiri. Berat memang. Tapi, sebagai orang tua, ia hanya bisa mendukung dan berharap inilah yang terbaik.

Dengan hati yang masih tidak rela, Riza pun mengulurkan tangan ke arah Thel. Menyambut batita itu untuk memeluknya erat.

"Sini, peluk Umi," ucap Riza sembari mengulurkan tangan. Thel menatap Enza meminta persetujuan. Dan Enza pun mengangguk sembari menitikkan air mata—terharu.

"Aduh, anak ganteng. Semoga kamu selalu menjadi anak yang sholeh ya, Nak."

"Aamiin."

"Kalo gitu, yuk masuk. Umi punya makanan enak buat Thel." Riza menggendong tubuh Thel dan membawanya menuju dapur.

Enza bangkit berdiri dan menatap Riza, lega. Ia pun mengambil koper Thel dan menutup pintu utama. Berjalan memasuki rumah dan berjalan melewati ruang keluarga. Di sana, ia bisa melihat Hasan yang masih menatapnya marah. Enza pun tidak memikirkannya dan terus berjalan naik ke lantai kamarnya. Membiarkan keadaan rumah tetap hening.

☕☕☕

Enza yang sedang asyik memainkan ponselnya pun dikejutkan dengan suara ketukan pintu dan seseorang yang sedang menanggil namanya. Ia pun bergegas meletakkan ponselnya dan berlari menuju pintu. Membukakan pintu tersebut sebelum akhirnya menampakkan Quinza tengah menggendong Thel yang terlihat asyik menguyah sebatang cokelat.

"Momma," panggil Thel sembari tersenyum. Enza menerima uluran Thel dan memeluknya erat. Mengelus punggung Thel sayang.

"Oh iya, Umi nyuruh kamu buat bikin susunya. Katanya, dia udah ngantuk. Jadi, kakak bawain air hangat ke kamar kamu." Quinza mengulurkan sebuah termos berisikan air hangat kepada Enza. Enza menganggukkan kepala dan menerimanya.

"Terima kasih, Kak." Quinza menganggukkan kepala dan beranjak pergi menuju kamarnya. Enza menutup pintu kamar dan mendudukkan Thel di sofa.

"Thel mau minum susu?" tawar Enza. Thel menganggukkan kepalanya bersemangat degan mulut yang belepotan cokelat. Enza menyunggingkan senyum dan meraih tisu basah di dekatnya. Mengelap jejak-jejak cokelat yang ada di mulut Thel.

"Thel, di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana," pesan Enza sembari menyodorkan boneka kelinci kepunyaan Thel.

"Kelinci," ucap Thel senang sembari memerima boneka miliknya. Menjatuhkan tubuh ke samping dengan kedua tangan yang terus memeluk boneka.

Enza terkekeh. Bergegas, berjalan menuju tas perlengkapan Thel dan mengambil susu kemasan serta botol. Mengisi botol tersebut dengan 3 sendok makan susu bubuk dan menyeduhnya dengan air hangat. Mengocok botol tersebut beberapa saat sebelum akhirnya memberikan kepada Thel.

Thel tampak asyik mengedot susu miliknya dan Enza pun menggendong tubuh Thel. Membawanya menuju kasur queen size dan menidurkannya di sana, sembari menepuk-nepuk bokong Thel. Berharap batita itu segera tidur. Dan seperti dugaannya, mata Thel terlihat memberat. Hingga akhirnya kedua mata mungil tersebut terpejam dan ia pun tertidur. Bersamaan dengan susunya yang habis tak bersisa. Enza mengambil botol Thel dan mematikan lampu kamar. Memeluk tubuh Thel dan ikut tertidur bersamanya.

☕☕☕

Di keesokan paginya, Freinz merasakan suasana sunyi dan hampa. Tak biasanya kamar miliknya sunyi seperti ini. Biasanya, akan ada suara celotehan ataupun gerutuan seorang batita di dekatnya. Namun, entah kenapa, suara itu tiba-tiba saja menghilang. Membuat relung hatinya semakin kosong akan ketidakhadiran suara celat tersebut.

Ah, rindu rasanya. Tidak bisa berjumpa dengan sang buah hati tercinta. Belum ada sehari lamanya setelah perpisahannya dengan Thel. Tapi, entah kenapa rasanya sangat lama. Seperti sudah bertahun-tahun lamamya ia tak berjumpa dengan Thel. Beruntung, ia hanya memperbolehkan Thel menginap sehari di rumah Enza. Atau ia akan mati mendadak disebabkan rasa rindu yang kian menyesakkan dada ini.

Dengan tubuh yang bermalas-malasan, Freinz bangkit dari ranjang empuknya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Bersiap untuk segera ke kantor dan memulai rutinitas sehari-harinya sebelum akhirnya menjemput sang buat hati. Ingin rasanya ia berteriak kepada dunia, kalau ia sangat rindu Thel dan ingin segera bertemu dengannya. Namun, karena ego, ia memilih untuk diam. Menahan rindu di dalam hatinya sebelum melepaskannya di petang nanti. Ah, jadi inikah yang namanya cinta sejati? Benar-benar merepotkan!

☕☕☕

Enza terus mengusap tubuh mungil Thel. Pagi ini, ia sengaja bangun pagi-pagi untuk menyiapkan perlengkapan Thel. Entah karena kebiasaan atau kebetulan, Thel juga telah terbangun di pagi-pagi buta seperti ini. Bertepatan dengan jam Salat Tahajud. Mungkin, Allah memang menakdirkan Thel sebagai alarm salatnya. Sehingga, ia bisa melaksanakan Salat Tahajud. Yang di mana, sangat jarang untuk ia lakukan. Thel sendiri tampak menurut dan ikut salat bersama Enza. Membuat hari Enza semakin bewarna dan membahagiakan.

"Aduh, ini dilepas dulu mainannya. Kita bilas dulu, oke?" titah Enza sembari merebut mainan katak Thel. Thel menggelengkan kepala menolak dan terus mengenggam mainannya. Enza menghela napas. Membilas tubuh Thel dan segera menyelimuti tubuhnya dengan handuk. Menggendong Thel menuju kasur miliknya.

Dengan gesit, Enza memakaian pakaian Thel. Memberikan minyak, bedak, dan parfum ke tubuh batita itu. Dirasa sudah selesai, ia pun menyisir rambut Thel dan bersiap untuk mandi.

"Thel, di sini dulu, ya. Momma mau mandi. Jangan nakal," pesan Enza sembari menyodorkan dot bayi milik Thel.

Thel menganggukkan kepala menurut. Duduk di tengah ranjang dengan di kelilingi mainan yang berkumpul di depan Thel. Tak lupa, di pinggir kasur, Enza berikan sebuah guling dan bantal, guna menahan Thel untuk tidak turun atau terjatuh dari kasur. Tak mau melewatkan kesempatan berharga, Enza bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya. Bersiap untuk bekerja di kafe.

☕☕☕

Tak terasa waktu cepat berlalu, tiba saatnya Enza mengatakan perpisahan kepada Thel ketika Freinz telah menampakkan dirinya di meja dekat bar miliknya. Ingin rasanya ia memohon kepada lelaki tersebut dan membiarkan Thel untuk menginap bersamanya. Memberikan waktu yang lebih lama lagi untuk tidur dan bermain bersama.

Tapi, di sisi lain, ia juga tidak boleh egois. Ia harus menyerahkan kembali Thel kepada papa kandungnya. Memberikan kembali haknya untuk mengasuh sang buah hati dan menganggapnya sebagai pengasuh sementara. Tidak ada pentingnya.

"Dadda!" pekik Thel senang ketika Enza menggendong Thel mendekat ke arah Freinz. Freinz yang sedari tadi sibuk memainkan iPhone-nya pun mendonggakkan wajah dan tersenyum senang menyambut kedatangan Thel.

"Dadda, Thel verry miss you."

"Verry miss you too, Thel. Thel gak papa kan selama di sana?" Thel menganggukkan kepala semangat. Sementara Enza memberengut kesal. Memang, ia orang yang mengerikan, apa? Hingga bisa mambuat Thel terluka. Sialan memang!

Freinz bangkit berdiri. Mengambil alih koper Thel. Tanpa berucap apapun, Freinz bergegas pergi dari kafe Enza dengan tangan yang menggendong Thel. Thel memeluk leher Freinz erat. Antara rela dan tidak rela harus berpisah dengan Enza.

Enza pun menyunggingkan senyum berusaha menenangkan Thel. Meletakkan dagu di antara jempol dan telunjuk—mengisyaratkannya agar tersenyum. Thel menganggukkan kepala paham. Melambaikan tangan sembari tersenyum bahagia. Sebelum akhirnya ia lenyap di balik pintu kafe dan tidak terlihat lagi oleh jangkauan matanya.

Bugh

"Hei, kok nglamun sih? Oh iya, di mana bapak Thel? Sorry, gue tadi agak lama ke kamar mandi." Enza menolehkan wajah ke arah Al dan menggeleng.

"Gak papa, dia udah dijemput tadi," jawab Enza lesu. Al mengerutkan kening. Apa yang terjadi dengan Enza? Apakah dia baik-baik saja?

"Lo kenapa? Sakit?" Enza menggelengkan kepala lesu.

"Nggak, gue gak papa."

"Ya udah, kalo gitu, gimana kalo kita nanti nonton?" usul Al bersemangat. Enza berjalan menuju mejanya dan duduk di sana. Menyesap minumannya tanpa minat.

"Nggak deh, gua mau pulang aja. Lagi bad mood."

Dengan langkah cepat, Al berjalan menghampiri Enza.

"Tumben lo bad mood, lo gak lagi datang bulan kan?" Lagi-lagi, Enza hanya menggelengkan kepala sebelum akhirnya meraih kunci mobil. Berjalan meninggalkan Al sendirian.

"Woi! Kok gue ditinggal sih? Tungguin dong! Kak Quinza, Al duluan, ya. Terima kasih buat makanannya," pamit Al kepada Quinza yang tengah menatap keduanya bingung.

Al merampas tas selempangnya dan bergegas menyusul Enza. Belum sempat Al mencapai mobil Enza, mobil tersebut justru telah lebih dulu melaju keluar dari halaman kafe. Al merutuki Enza di dalam hati. Tak mau ambil pusing, ia memesan taksi online dan bersiap pulang ke rumah. Membiarkan sang sahabat dengan semua pikiran kacaunya.

☕☕☕

Seguir leyendo

También te gustarán

1.9K 425 45
Bagi Kara pembeda antara dirinya dan Dira adalah suara. Bagi Dira persamaan antara dirinya dan Andra adalah memiliki kekhawatiran yang sama. Bagi Jen...
111K 1.5K 37
• KUMPULAN CERPEN • "Nggak mau nanya sesuatu?" "Lo sebenarnya siapa sih?" "Nama gue Ariano Candrawijaya, panggil aja sayang." "Uhuk uhuk!" "Hehehe...
333K 14.5K 40
Jika mencintaimu adalah kesalahan, maka biarlah aku tetap salah. Karena aku hanya cinta kamu, selamanya hingga kapan pun. ••• BEST RANK: #8 in Baper...
589K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...