Secangkir Kehangatan (END)

By sykalila

2.3K 339 216

END R 15+ 《PART LENGKAP》 ▪︎Genre spritual ▪︎ Cool boy series #1 ~ Cintamu ada untuk didapatkan dan juga dilep... More

Prolog
Freinz Albert Orlandz
Weinza Oktyra Ayodhya Rein
1. Kesal
2. Desir
3. Jumpa
4. Amarah
5. Acuh
6. Rindu
7. Hangat
8. Akrab
10. Perbedaan
11. Gemeletuk
12. Cinta Sejati
13. Bayangan
14. Degup Jantung
15. Gugup
16. Senyuman Tipis
17. Malam Indah
18. Perjodohan?
19. Terkejut
20. Fitnah
21. Cantik
22. Surprise
23. Jemput
24. Camer?
25. Morning
26. Murka
27. Permintaan
28. Terakhir kali
29. Liontin
30. Menggila
31. Anna Ubibbuka Fillah
32. Kehilangan
33. Undangan (END)
SWI AGENCY

9. Jalan

54 7 2
By sykalila

Jadi, ini namanya keluarga. Keluarga yang selalu memberikan kehangatan di setiap waktu dan hari-hari kita. Kenapa aku baru bisa merasakannya sekarang? Astagfirullah, sekejam itu kah diriku? Sungguh, hamba merasa menyesal dan merasa bersalah. Dan oleh karena itu, Hamba mohon ampunan-Mu Ya Rabb

☕☕☕


Sesuai perjanjian mereka, Enza cuti dari pekerjaannya. Pastinya, setelah membujuk Quinza setelah berjam-jam lamanya.

"Please ya, Kak. Besok Enza libur."

"Tapi Enza, jika kamu libur, siapa yang akan menggantikanmu? Yang benar saja."

"Ayolah, Kak. Hanya untuk besok ... Aja. Selebihnya, Enza akan tetap bekerja kok," mohon Enza dengan mata memelas. Quinza menghela napas sabar dan akhirnya mengangguk.

"Ya udah, kamu boleh libur," putus Quinza membuat Enza bersorak gembira.

"Yey, terima masih Kakakku sayang." Enza menerjang tubuh ramping Quinza dan memeluknya sangat erat. Membuat Quinza kesulitan bernapas.

"Astagfirullah Enza, kakak gak bisa napas nih," ucap Quinza dengan napas yang agak sesak. Enza tersadar dan melonggarkan pelukan mereka. Menatap Quinza dengan tatapan khawatir.

"Maafin Enza Kak," sesal Enza sembari menunduk. Quinza mengulas senyum dan mengelus kepala Enza.

"Tidak apa, Kakak baik-baik saja." Enza mendongak dan tersenyum lebar.

"Btw, Enza mau kemana? Tumben minta izin malam-malam. Biasanya juga langsung kabur sama Al pas di kafe," jujur Quinza mengingat tingkah aneh kedua remaja itu. Enza kembali tersenyum sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ehehe ... Ada something important, Kak," cengir Enza. Quinza menaikkan alis meminta jawaban lebih.

"Ya ada. Kalo gitu, Enza tidur dulu. Selamat tidur Kakak sayangku."

Tanpa menunggu jawaban sang kakak, Enza bergegas membuka pintu kamar Quinza dan lari terbirit-birit menuju kamarnya. Meninggalkan Quinza dengan sejuta tanyanya.

Enza mematut diri di depan cermin. Memerhatikan tampilan dirinya yang begitu seksi. Menampilkan paha indah dan kaki jenjang yang terbalut sepatu biru muda. Dengan wajah gembira, ia mengambil tas selempangan miliknya dan berjalan keluar menuju pintu rumah. Membuat Hasan menoleh dengan kaca mata bacanya.

"Ekhem, mau ke mana kamu?" introgasi Hasan ketika Enza hendak menarik pintu rumah.

Enza menoleh dan menyengir. Hasan pun memperdalam kerutan dahinya petanda ia sedang dilanda kebingungan. Kenapa tidak? Enza tampak tampil lebih menarik, cantik, dan seksi dibandingkan hari-harinya ketika bekerja ke kafe. Hasan berucap istigfar karena penampilan Enza tak kunjung berubah dengan pakaian mini nan seksi itu. Pasti, Enza akan selalu menjadi sorot perhatian dari para lelaki bermata keranjang di luaran sana.

Hasan hanya bisa berharap agar sang bungsu segera sadar dan kembali ke jalan yang lurus. Berpakaian selayaknya orang beriman. Namun, lagi-lagi itu hanyalah doa belaka. Karena Enza sendiri tak ada niatan untuk berubah. Ia hanya terus berpikir bagaimana caranya agar ia selalu tampil beda dari keluarga ustadz lainnya. Sungguh, Enza sudah keterlaluan!

"Kenapa diam saja? Kamu gak dengar ucapan Abi, iya?" kesal Hasan mengingat tak ada respon dari Enza. Terkecuali dengan diam membisu.

"Dengar, Bi." Enza menunduk.

"Kalo dengar, jawab ucapan, Abi!" perintah Hasan tegas. Enza yang mendengarnya pun menggigil takut, hingga akhirnya ia mendongak.

"Enza mau jalan-jalan, Bi. Emang salah?" geram Enza.

"Astagfirullah, itu tidak sopan Enza!" amarah Hasan menjadi-jadi. Riza yang mendengar pertikaian dari Ruang Tamu pun dengan cepat menghampiri sumber suara.

"Ada apa?" tanya Riza kebingungan. Tatapan Riza pun beralih ke arah Enza.

"Ya Allah Enza, kamu mau ke mana? Kok pakaiannya kayak gitu."

"Apa yang Abi bilang! Enza itu sudah keterlaluan Umi! Enza perlu untuk pondok. Agar—"

"Gak, Bi! Nggak! Enza gak mau. Enza mau pergi dulu. Capek tau dengerin ocehan kalian." Enza melenggang pergi meninggalkan Hasan dengan amarah yang kian membara.

Tiba-tiba saja, Hasan terbatuk dengan tangan yang menepuk-nepuk dadanya. Ia pun merasakan sesak yang luar bisa ketika napasnya menghimpit. Riza tersadar dan segera menuntun Hasan untuk duduk.

"Astagfirullah, Abi. Tenangin diri Abi dulu. Banyakin istigfar, jangan emosi terus."

"Gimana gak emosi, Umi? Enza anak kesayangan kita tak kunjung berubah. Abi sendiri sudah sangat lelah memberitahukan Enza terus-menerus. Dan yah, mungkin umur Abi tidak lama lagi."

"Astagfirullah, Abi. Jangan bilang gitu. Abi harusnya selalu semangat dong untuk menambah amalan di dunia ini. Jangan berpikir lain deh."

"Bukan berpikiran lain Umi. Abi hanya mengingat bagaimana Allah mengambil nyawa para hambanya dengan tidak disangka-sangka. Bukannya kita harus menyakini jika kematian itu ada. Dan kita juga harus menyiapkan diri jika ajal kita akan dijemput kapan saja."

"Iya Bi, tapi—"

"Sebaiknya kita mempersiapkan diri dari sekarang Umi, sebelum kita menyesal nantinya." Riza menghela napas dan mengangguk.

"Iya, Abi. Kalo gitu, kita Salat Dhuha yuk." Hasan tersenyum dan mengangguk. Ia pun bangkit dari sofa dan berjalan menuju Tempat Wudhu dengan bantuan Riza, sang istri tercinta.

☕☕☕

Di lain tempat, Freinz terbagun dari alam mimpinya. Ia pun mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang menembus ke kedua retina biru miliknya. Freinz meregangkan otot dan menoleh ke arah samping kirinya. Menemukan sang anak sedang tertidur dengan wajah sangat damai. Membuat ia tak tega untuk sekedar mengusik mimpi sang anak maupun membangunkannya. Mungkin, ia terlalu lelah.

Tak mau menganggu ketenangan Thel, Freinz memilih untuk mandi terlebih dahulu dan membiarkan Thel yang sedamg bergelut di alam mimpi. Tak butuh waktu lama, Freinz keluar dari kemar mandi dengan tubuh yang sangat segar. Otot-ototnya tampak terpampang jelas tanpa adanya sehelai kain yang menutupinya.

Tiba-tiba saja pikirannya jatuh kepada jadwal meeting yang menumpuk dan beberapa berkas yang terbengkalai serta menumpuk memenuhi meja kebesarannya. Freinz pun berjalan ke arah nakas dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Meraih ponsel dan menelpon seseorang untuk ia berikan amanah.

"Halo, Robert," panggil Freinz ketika panggilan mereka terhubung. Ya, lagi-lagi ia menelpon Robert, general manager Perusahaan Orlandz.

"Iya, Tuan. Ada apa?" tanya Robert to the point.

"Bisakah kau menggantikan saya untuk meeting hari ini? Oh, iya, untuk berkas, kau bisa mengirimkan berkas-berkas penting itu ke apartemen saya. Tapi—" Belum selesai Freinz menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja suara tangis batita mengacaukan obrolan mereka.

Thel terbangun dari tidurnya dengan mata yang penuh dengan air mata. Tak hanya itu, hidung mungilnya pun juga memerah dengan lendir yang memenuhi lubang hidung batita mungil itu. Dengan sigap, Freinz mengulurkan tangan ke arah Thel dan batita itu pun menerimanya dengan senang hati. Pastinya dengan napas tersenggal-senggal dam tangis yang tak kunjung berhenti.

"Hei, Son. Ada apa? Why are you crying?" tanya Freinz lembut sembari menepuk-nepuk punggung Thel. Berusaha untuk menenangkan sang anak. Freinz yang sadar akan keberadaan ponsel hitamnya pun dengan cepat kembali menempelkannya. Kali ini, ia memilih untuk menjempitnya di antara telinga dan bahu kanannya.

"Halo, Robert."

"Iya, Tuan. Adakah sesuatu yang buruk terjadi?"

"Nothing! So, saya ingatkan! Hanya berkas untuk besok saja yang kau kirimkan ke apartemen. Paham?" serbu Freinz begitu saja.

"Iya, Tuan. Saya paham."

"Bagus, selamat bekerja." Freinz memutus panggilan di antara keduanya. Melempar ponsel dengan harga jutaan itu ke kasur dan beralih menimang-nimang tubuh Thel.

Tangis Thel mulai mereda diiringi dengan mata yang kian memejam. Freinz menghela napas dan berusaha untuk menyadarkannya.

"Hai, Son, bukannya kita mau jalan-jalan?" ucap Freinz mengingatkan janjinya. Thel mendongak dengan mata yang sulit terbuka.

"Halan? Halan kemana Dadda?" tanyanya sembari menguap. Dengan cepat, Freinz menutup mulut Thel.

"Anak Dadda mau kemana? Hm?" tanya Freinz sembari menempelkan keningnya dengan kening Thel.

"Thel mau bubu Dadda, Thel ngantuk." Mata Thel kembali mengerjap. Antara ingin tidur dan terjaga. Freinz pun terkekeh melihat tingkah lucu sang anak. Ia kembali mendekatkan wajahnya dengan wajah Thel. Mengecup setiap inci wajah Thel hingga berhenti di bibir ranum miliknya.

"Kalo gitu, Dadda jalan-jalan sama Momma aja deh. Thel gak usah ikut," ancam Freinz yang sukses membuat batita itu membuka mata lebar-lebar.

"Momma?"

"Yes, Momma. Thel forgot? Kemarin kan Momma sudah janji mau jalan-jalan sama kita."

Thel terdiam dengan binar bahagia. Ia pun turun dari gendongan Freinz dan beralih menggenggam telunjuk Freinz. Membawanya untuk berjalan ke arah Kamar Mandi dengan bathup mini motif beruang favoritnya. Freinz tersenyum senang. Ia pun mulai membuka satu persatu pakaian Thel hingga akhirnya ia sudah berendam ke dalam bathup. Membiarkan sang anak untuk bermain air sebentar sebelum akhirnya mereka berpakaian.

Setelah dirasa cukup, Freinz meraih jubah mandi milik Thel. Mengangkat Thel dari bathup. Memaikan jubah mandi mini dan mengeringkan tubuhnya. Berulang kali terdengar suara tawa kegirangan dari bibir mungil itu ketika Thel sedang digoda oleh Freinz. Hal itu tentu membuat hati lembut Freinz kian menghangat. Freinz pun berjanji agar Thel selalu bahagia tanpa adanya kesedihan.

Freinz terus memandangi Thel yang tengah asyik mengoceh. Thel tampak lebih bahagia dibandingkan Thel setahun yang lalu. Thel yang terus menerus menangis di dalam kardus tanpa tahu siapakah sosok yang membuatnya terlantar. Hati Freinz terasa teriris mengingat awal pertemua mereka. Awal yang membuat segalanya mejadi nyata dan membahagiakan.

"Dadda, What's wrong?" tanya Thel sembari mengelus-elus kedua pipi sang papa.

Mata Thel sendiri memancarkan binar kesedihan membuat Freinz tak sanggup untuk memandanginya. Freinz menarik tubuh mungil itu kian medekat. Membiarkan tubuh kedunya menyatu dengan kain tipis yang menghalangi. Ya, kini mereka telah memakai baju santai mereka masing-masing. Bersiap untuk menemui Enza dan mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi indahnya Kota Bandung.

"Thel," panggil Freinz membuat Thel mendongak.

"Yes, Dadda. What's wrong?"

"Nothing! But, i love you so much Thel. Please, don't go for me." Thel tersenyum dan menggeleng.

"Never, Dadda, Thel always with Dadda forever," ucap Thel sembari tersenyum gemas.

"Promise?" Freinz mengulurkan jari kelingkingnya.

"Yes, Dadda. Thel Promise." Thel mengangguk sembari mengaitkan jari kelingking kecilnya dengan milik Freinz. Freinz mengukir senyum kebar dan kembali memeluk Thel dengan sangat kuat. Mengangakatnya dan membawanya keluar dari kamar.

Oh my god! Betapa terkejutnya dia menyadari jika waktu sudah menunjukkan pukul 08.45 AM. Itu artinya, seperempat jam lagi ia harus seegera berangkat dengan Enza ke suatu tempat. Tempat yang akan mereka jadikan sebagai objek hiburan si kecil Thel.

"Grez, apakah perlengkapan Thel sudah siap?" tanya Freinz terburu-buru.

"Sebentar, Tuan. Sebentar lagi siap."

Freinz mengangguk dan membiarkan Grez untuk mempersiapkan seluruh peralatan bayi Thel. Termasuk sarapan pagi.

Freinz meletakkan Thel di meja makan bayinya dan beralih ke arah lemari pendingin. Mengambil sekotak besar susu segar dingin.

"Dadda," panggil Thel. Freinz menoleh ketika ia menuangkan sekotak susu itu ke dalam gelas. Thel tampak keresahan sembari menunjuk-nunjuk kotak susu milik Freinz. Membuat si pemilik kebingungan.

"Hua ... Mau mimik ncu," tangis Thel sembari menunjuk-nunjuk susu milik Freinz. Freinz menghela napas dan menggeleng.

"No Thel, this belongs to Dadda. Not for you," jelas Freinz sembari memasukkan  kotak susu ke dalam lemari pendingin. Thel semakin mengerucutkan bibirnya dan bersiap untuk menangis.

Freinz menghela napas dan mengambil sebotol susu bayi di dapur yang sudah dipersiapkan oleh Grez. Berjaga-jaga jika Thel merengek nantinya. Dan yah, itu terjadi.

"Ssst ... This is yours. Minumlah." Thel kembali mencebikkan bibirnya dan menggeleng. Ia tahu jika dirinya sedang ditipu oleh sang papa.

"No Dadda no, Thel mau yang gambalnya capi. Ndak mau yang ini," tolak Thel sembari memukul-mukul meja mininya. Mendorong-dorong botol susu yang disodorkan Freinz.

Baiklah! Freinz harus sabar dan mencari ide untuk membuat Thel meminum susu miliknya.

"Hey, Thel. This is your milk. Tadi Dadda sudah memasukkan susu yang sama dengan milik Dadda. So, this is same." Gerakan Thel berhenti. Thel mendongak dengan mata berkaca-kaca.

"Seriously?"

"Yes, i'm serious. Then, bagaimana jika kita meminumnya bersama-sama. Thel minum menggunakan botol, dan Dadda menggunakan gelas."

Thel tersenyum dan mengangguk antusias. Freinz tersenyum lega dan mengulurkan botol susu itu ke arah Thel. Batita itu pun menerimanya dan memegangnya dengan senang hati. Freinz pun segera melenggang kembali ke dapur dan mengambil segelas susu miliknya.

"So, baca basmallah dulu sebelum meminumnya," titah Freinz yang diangguki oleh Thel.

"Bismillah," celat Thel. Dengan cepat, Thel meminum susu yang ada di botol. Menegaknya dengan sangat cepat. Freinz terdiam dan terus mengamati pergerakan Thel.

Tak butuh waktu 20 menit, Thel sudah menghabiskan susu miliknya yang berukuran 600 ml. Membuat Freinz melongo di tempat. Jadi, Thel sedang sangat haus? Lalu, kenapa ia tidak bilang?

"Thel thirsty?" tanya Freinz sembari meletakkan gelasnya yang tinggal seperempat. Thel mengangguk cepat.

"Yes, Dadda. Thel very thirsty."

"Oh okay, let's go to get out." Thel kembali mengangguk sembari mengulurkan tangan.

Freinz kembali meminum susu miliknya hingga tandas dan beralih menggendong Thel. Membawanya menuju dapur 'tuk menaruh gelas kosong miliknya. Beralih mengambil segelas kaca yang masih kosong dan mengisinya dengan air putih.

Meminum setiap tetes yang mengalir membasahi kerongkongan. Membuat bibir Thel mengecap-ngecap tanda ingin meminum air putih itu. Freinz yang sadar akan kode itu pun, segera mendudukkan Thel di kursi. Mengambil serbet dan meletakkannya di bawah bibir Thel. Menyodorkan segelas air miliknya yang dengan senang hati diterima oleh Thel. Thel menegak air dengan cepat. Membuat serbet yang berada di bawah dagu Thel besah kuyup.

"Pelan-pelan Thel, look your clothes!" tunjuk Thel ke arah bekas-bekas air di bagian depan.

Walau hanya 2 jejak, Freinz tetap tidak membiarkannya. Freinz meraih tisu dan segera mengeringkan baju milik Thel. Thel terdiam dan terus-menerus memandangi paras tampan yang mirip dengannya.

"Beres! Kalau gitu, yuk berangkat!"

Thel mengangguk dan kembali mengulurkan tangan. Freinz menerima uluran itu dan berjalan menuju tempat Grez berada. Meminta seluruh peralatan Thel untuk ia bawa pergi.

Freinz menoleh ke arah Grez berada dan menemukan sebuah tas berukuran sedang dengan gambar bayi beruang di meja santai miliknya. Tak lama, Grez datang sembari membawa 1 set pakaian bayi bersih. Berjaga-jaga jika pakaian Thel kotor nantinya.

"Apakah semuanya sudah lengkap?" Grez mengangguk.

"Sudah, Tuan."

"Baiklah, kau tetap di sini dan menjaga apartemen agar aman. Oh iya, jika Robert datang dan membawa berkas milikku, tolong terima saja dan bawa berkas-berkas itu ke Ruang Kerjaku. Paham?"

"Paham, Tuan," jawab Grez sembari menunduk. Freinz mengangguk dan meraih tangan Thel yang sedang memegang mainan berisikan air dan mengarahkannya ke arah Grez.

"Say bye to Aunty," ucap Freinz sembari menaik turunkan tangannya.

"Bye, Aunty," pamit Thel. Grez tersenyum dan mengangguk.

"Bye too, Thel." Freinz meraih tas bayi milik Thel dan mwmyampirkannya ke pundak kiri kekar miliknya. Meraih kunci mobil dan berjalan keluar dari apartemen. Meninggalkan Grez dengan kesunyian apartemen.

☕☕☕

Enza tiba di sebuah tempat dengan sebuah bagku yang berada di sisi jalan. Ia pun turun dari jok penumpang dan memberikan pria ojek online itu selembar uang bewarna hijau.

"Ini kelebihan, Teh. Saya tidak punya uang receh."

"Tidak papa, Pak. Ini untuk bapak saja. Semoga berkah."

"Alhamdulillah, terima kasih ya, Teh. Semoga hari-hari Teteh selalu lancar," doa tulus Pria itu.

"Aamiin."

"Kalo gitu, saya permisi."

Enza mengangguk dan tak lama pria itu melenggang. Ia pun berjalan ke arah bangku kosong itu. Menunggu hingga tak terasa ia telah menunggu setengah jam lamanya.

Kemana perginya pria itu? Kenapa ia belum datang? Apakah ia lupa akan janji mereka kemarin? Dasar cowok rese! Berani-beraninya ia memainkan dirinya dengan membiarkannya menunggu lama tanpa adanya kepastian. Ia sendiri telah berulang kali mengecek ponsel cangging miliknya. Memeriksa jika pria itu akan menelpon dan mengirimkannya pesan. Tapi tunggu! Bukannya ia tidak memiliki nomornya. Lalu, bagaimana bisa mereka terhubung satu sama lain? Dasar Enza! Ia bahkan lupa 'tuk meminta nomor si pria.

Yah, yang bisa ia lakukan sekarang hanya duduk terdiam sembari berharap agar Freinz tak lupa dengan janji mereka. Dan benar saja! Sebuah mobil mewah berhenti tepat berhenti di depannya. Menampilkan seorang batita laki-laki tengah duduk di car seat sembari memanggilnya dengan sebutan 'Momma'. Bertepuk tangan sembari menganggukkan kepala senang.

Tak lama, jendela yang berada di depan terbuka dan menampilkan wajah datar milik Freinz. Enza menurunkan raut wajahnya dan segera menarik handle pintu mobil. Membukanya dan masuk ke dalam mobil tanpa dipersilakan oleh sang pemilik. Toh, si pemilik tampak tidak peduli akan keberadaannya dan beralih menginjak gas mobil. Mengendarainya dan menyusuri keramain jalan raya. Yah, walaupun jalanan saat ini lebih lenggang mengingat hari ini adalah hari masuk kerja bagi para pekerja dan hari libur untuk pelajar yang bersekolah hanya 5 hari. Ya, itu artinya hari ini adalah hari Sabtu. Hari yang akan menjadi hari terbaik Thel. Atau mungkin sebaliknya. Wallahu alam.

"Momma," panggil Thel yang duduk di car seat. Enza menoleh dan menemukan Thel sedang mengulurkan tangan ke arahnya.

"What happened, Baby? Apakah ada sesuatu yang mengusikmu?"

"Nothing, Momma! Thel pingin dipangku Momma," melas Thel sembari memanyunkan bibirnya.

Enza tersenyum dan segera menarik sabuk pengaman car seat itu. Menarik tubuh mungil Thel dari sana dan membawanya ke dalam pangkuan. Thel menatap wajah Enza dengan binar bahagia.

Merasa gemas, Enza mencium lama kedua pipi Thel hingga batita itu tertawa senang. Enza pun membaringkan tubuh Thel di kedua tangannya. Menimang-nimang agar Thel tak menangis nantinya. Thel yang memang sudah dilanda kantuk pun perlahan mulai memejamkan mata. Membuat Freinz menoleh ketika lampu lalu lintas bewarna merah. Ia pun mengukir senyum tipis dan kembali menatap ke arah jalan raya. Membiarkan Enza mengurus Thel.

"Um ... Lo ada bantal gak?" Freinz menoleh dan mengerutkan kening.

"Lo gak kasihan apa kepala anak lo kebentur pintu nantinya? Oh iya, ada jaket juga gak? Takutnya dia kedinginan." Freinz menghela napas dan mengambil tas milik Thel dengan cepat. Sebelum lampu lalu lintas kembali bewarna hijau.

Enza pun menerima tas bergambar beruang itu dan segera mencari keberadaan jaket Thel. Dan yah, ia berhasil menemukannya. Tapi, bagaimana dengan bantal untuk Thel? Seakan mengerti apa yang dipikirkan Enza, Freinz menarik dashboard mobil dan menampakkan sebuah bantal mini nan tebal. Enza menoleh ke arah Freinz yang masih fokus dengan jalan di depannya. Ia pun tersenyum dan berucap terima kasih.

"Thank you, Freinz."

Freinz mengangguk. Enza mengambil bantal mini itu dan meletakkannya di atas kepala Thel. Berjaga-jaga jika Batita itu terbentur nantinya.

Setelah menempuh perjalanan 30 menit, mereka sampai di sebuah tempat rekreasi keluarga. Tempat yang akan menampilkan beragam hewan yang menggemaskan. Freinz melepas seat belt mobil. Menoleh ke arah kursi penumpang dan menemuka 2 sosok yang tengah bergelut dengan alam mimpi mereka masing-masing. Ia pun tersenyum hangat. Merasakan kebersamaan yang terjalin di antara mereka bertiga.

Ah, rasanya begitu hangat dan menyenangkan. Lalu, bisakah ia mempertahankan semua momen ini? Freinz terdiam membisu. Memikirkan jika Enza akan dimiliki oleh seorang pria yang ia cintai. Rasanya begitu menyakitkan. Apalagi untuk Thel. Batita itu sudah berpikiran jika mereka adalah orang kandungnya.

Lalu, bagaimana keadaan Thel nanti jika ia mengetahui kalau mereka tak memiliki hubungan resmi selain merawat dan mengasuhnya. Sungguh! Ia tak bisa membayangkan hal itu terjadi. Hal yang akan membuat Thel menangis dan meraung menangisi kepergian sang mama. Freinz terdiam membisu. Memikirkan berbagai cara agar Thel bisa bahagia nantinya. Tepat ketika Enza menikah dan melupakan mereka berdua. Yah, Freinz harus memikirkan itu semua dari sekarang. Tiba-tiba ....

"Kamu—" Freinz menoleh dengan tampang terkejutnya.

☕☕☕

Hue ... ada apa nih? Ada kejutan apa yang diterima oleh Freinz?

Hum.🤔

Kalo gitu, next yuk🥳

Btw ....

Penampilan Thel untuk episode inii🥰🤗


Uwu ... Gemoy🥰

Jangan lupa like and coment yaw💕

See you💕

Continue Reading

You'll Also Like

257K 26.2K 39
Cover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gi...
589K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
The Black Pearl By dals

General Fiction

108K 3.4K 7
Dia lebih banyak diam dari pada bersuara, dan aku suka itu karena aku setuju dengan pribahasa 'tong kosong nyaring bunyinya'. Dia selalu cekatan, ta...