CHOICE

By IM_Vha

86.9K 7.5K 948

#teenfiction #sicklit #mentalhealth "Jika hidup adalah soal pilihan. Maka apakah mati bisa disebut keputusan... More

CAST
0. Prolog
1. Neraka Hampa
2. Luka Baru
3. Tetangga
4. Kerja Kelompok
5. Keinginan untuk Hidup
6. Dihajar
7. Kucing
8. Bekas Luka
9. Si Aneh Arsen
10. Rumah Nenek
11. Sepupu
12. Dia yang Disalahkan
14. Dihajar Lagi
15. Melukis
16. Kita Teman
17. Plester
18. Tempat Asing
19. Pukulan Preman
20. UKS
21. Sudah dan Masih Hancur
22. Sebuah Maaf
23. Rantai Pengekang Baru
24. Having Fun
25. Collapse
26. Amarah
27. Bagaimana Jika Menyerah?
28. Menyelinap
29. Menyerah
30. Tragedi Pagi Hari
31. Terungkapnya Fakta
32. Ketika Mata Terbuka
33. Tidak Sendirian
34. Lembaran Baru
35. Epilog

13. Bolos

3.3K 292 19
By IM_Vha

"Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called present." - Master Oogway

💙 Happy Reading 💙
.
.
.

Entah perasaan Daniel saja atau memang akhir-akhir ini Arsen jadi sering menempel padanya. Semenjak kegiatan memilih ekstrakulikuler satu minggu yang lalu, remaja jangkung itu bertingkah sok dekat dengannya. Makan siang di meja yang sama, dan mengajak Daniel untuk berada di kelompok yang sama. Intinya Arsen selalu ingin berada di dekat Daniel. Astaga, Daniel sampai berpikir jika Arsen itu ketempelan jin, tapi jin itu mengarahkan Arsen ke arah jalan yang lebih baik.

Pagi ini juga, saat Daniel hendak berangkat sekolah bersama sang kakak seperti biasanya, tiba-tiba Arsen muncul di depan pintu gerbang rumahnya. Dengan senyum lebar Arsen menyapa satpam yang bertugas dan juga Mattew yang bersiap mengeluarkan mobil dari garasi.

"Pagi, Kak Mattew."

Mattew yang hendak menyalakan mesin sontak menoleh ke arah sumber suara. Ia mengernyit kala melihat Arsen berdiri dengan senyum lebar yang menampakkan deretan gigi putihnya. Ini masih terlalu pagi untuk bertamu, 'kan?

"Iya, pagi juga. Ada apa, ya?" tanya Mattew terheran.

Arsen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Niatnya bertandang ke sini adalah hendak mengajak Daniel untuk berangkat bersama. Akan tetapi, ketika tahu Mattew yang muncul di balik gerbang, nyalinya menciut seketika.

Kakak Daniel ini memiliki proporsi wajah yang cukup menggemaskan untuk ukuran seorang anak laki-laki, ditambah dengan mata sipit dan lesung pipi di kedua pipinya membuat Mattew tampak menggemaskan. Namun, satu hal dalam diri Mattew yang membuat nyali orang yang berhadapan dengannya ciut, yaitu tatapan tajamnya yang seakan hendak memangsa siapa pun yang mengusiknya.

"Hei, ada apa?" Lagi, Mattew melemparkan tanya pada bocah di hadapannya karena merasa telah diabaikan.

"Eh, e ... anu ... itu, Kak. Gue mau ajak Daniel berangkat bareng." Meski dengan tergagap, Arsen masih saja berucap dengan mengunakan sapaan 'lo-gue' dengan yang lebih tua. Dasar Arsen.

"Hah? Lo siapa mau ngajak Daniel berangkat bareng?"

Arsen ternganga dengan apa yang baru saja Mattew lontarkan. Yang benar saja, Bung! Mattew tidak mengenalinya, padahal dia lah yang menunjukkan di mana Daniel berada ketika ia bingung mencari sang adik.

'Kejam,' batin Arsen.

"Arsen? Lo ngapain pagi-pagi ke sini?" di tengah kecanggungan yang tercipta, Daniel muncul dari balik pintu gerbang, lengkap dengan atribut sekolah beserta hoodie sebagai pelengkapnya.

"Eh, Daniel! Berangkat bareng gue, yuk. Ntar balik gue anterin juga, deh. Sekalian kerjain tugas kelompok Bahasa Indonesia, hari ini 'kan giliran di rumah lo," tukas Arsen beralasan.

"Hah? Kelompok?"

Daniel terdiam sesaat, berusaha mengingat dan mencerna maksud dari kalimat teman sekelasnya ini. Sekeras apa pun ia berpikir, Daniel sama sekali tidak ingat jika mereka memiliki tugas kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Di samping itu, terdapat Arsen yang kini meruntuki kebodohannya sendiri. Mengapa ia berbohong sebanyak itu? Baiklah, salahkan mamanya yang memaksa ia untuk berangkat bersama Daniel. Semenjak wanita itu tahu jika ia satu kelas dengan Daniel, ia jadi sering menyuruh Arsen untuk berteman dengan Daniel.

Alasannya adalah agar ia menjadi sepintar bocah itu dan berharap Arsen bisa menjadi juara kelas seperti Daniel. Huh, menurut Arsen kalau bodoh ya terima saja. Mengapa mamanya tidak bersyukur saja, sih, sudah memiliki anak setampan dia. Malah menginginkan hal mustahil.

"Alah, pokoknya ada, deh. Nggak percaya banget sama temen sendiri," sergah Arsen cepat. Ia tak mau memicu kecurigaan jika terlalu lama berbasa-basi.

Merespon desakan yang Arsen berikan, Daniel menatap ke arah sang kakak, meminta persetujuan dari yang lebih tua.

Terlihat menimang sejenak, Mattew akhirnya mengangguk. "Boleh, berangkat bareng aja, toh kalian sekelas. Tapi dengan syarat, jangan balik lebih dari jam enam. Kalau sampe lebih, gue nggak mau tanggung jawab kalo lo di marahi Mama sama Papa karena mereka pulang awal malem ini," tukas Mattew pada akhirnya.

Tak perlu berpikir dua kali, Daniel pun mengangguk mantap. "Oke, gue janji!"

"Ya udah, sana masuk ambil helm. Jangan sampe kena tilang cuma gara-gara nggak pake helm, malu-maluin yang udah punya SIM." Lagi Mattew berucap yang hanya mendapat anggukkan dari si lawan bicara.

Daniel bergegas masuk ke dalam rumah dan mengambil helm yang biasa ia gunakan. Menyisakan Arsen serta Mattew yang terjebak dalam suasana canggung.

"Lo siapa, sih? Kok kayak baru lihat, seumur-umur nggak ada, tuh, temen Daniel yang dateng ke rumah terus ngajak dia berangkat sekolah bareng," ujar Mattew menyambung percakapan yang tadi terputus.

Tangan Arsen refleks menepuk jidat begitu mendengar ucapan Mattew. "Bangsat gue terlupakan," gumam anak itu pada dirinya sendiri.

"Hah? Lo ngomong apa barusan?"

"Eh, enggak, Kak. Kenalin, gue Arsen. Temen sekelas Daniel, dan gue juga orang yang kasih tau di mana Daniel pas dulu lo cariin dia." Arsen nyaris mendapat masalah, beruntung Mattew tak mendengar ucapannya tadi.

"Oh, pantesan agak nggak asing. Oke, lo tunggu aja di sini, bentar lagi Niel keluar. Gue mau berangkat duluan, ada pertemuan OSIS pagi ini," tukas Mattew lantas memasuki mobilnya. Tanpa menunggu persetujuan dari sang lawan bicara, anak itu bergegas meninggalkan area rumah dengan mengendarai mobil kesayangannya.

Tak lama usai kepergian Mattew, muncul Daniel dengan membawa sebuah helm di tangannya.

"Kakak lo udah duluan, yuk berangkat. Keburu telat, juara kelas nggak boleh telat," celoteh Arsen ketika mendapati Daniel celingukan mencari keberadaan sang kakak.

"Bacot," ketus anak itu saat dirasa Arsen mengejeknya.

Mendapati wajah masam yang Daniel sajikan tak ayal membuat Arsen terpingkal.

"Gitu aja sensi kek perawan lagi dapet."

Adalah keputusan yang salah karena sudah menerima ajakan Arsen untuk berangkat bersama. Anak itu memang akhir-akhir ini sering menguntitnya, tapi kualitas mulut masih sama. Tak pernah berpikir dahulu sebelum berucap, benar-benar ciri khas orang bodoh.

🍁🍁🍁

Dering bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi nyaring, seisi siswa kelas X IPS 4 bergegas keluar dari dalam kelas dan menganti baju dengan seragam olahraga. Daniel pun tak luput dari gerombolan yang kini mulai menyerbu lapangan olahraga.

Sebenarnya anak itu sangat malas untuk ikut jam olahraga, tetapi mengingat sang papa yang selalu memarahinya karena nilai mapel olahraga yang pas-pasan membuatnya mau tak mau ikut serta dalam kegiatan yang menghasilkan keringat tesebut. Tapi setidaknya kini Daniel merasa sedikit bersyukur karena ada Arsen yang menempel padanya, jadi ia tidak merasa sendirian.

"Lo jarang banget ikut jam olahraga, kenapa?" tanya Arsen ketika kegiatan pemanasan baru saja dimulai. Anak itu menempatkan diri di samping Daniel, karena di situ adalah sudut yang terlindungi dari sinar matahari.

"Nggak apa-apa, cuma males aja," balas Daniel acuh. Baru beberapa menit terpapar matahari, bulir keringat sudah mulai mengalir di dahi anak itu.

"Pake ditanya, ya jelas dia takut itemlah. Dikira elu, kulit badak mana takut sama sinar matahari," celetuk Sony yang berdiri tepat di samping Arsen, tak lupa Brian yang berada di posisi barisan selanjutnya.

Tiga anak itu memang tak pernah bisa dipisahkan, di setiap sudut sekolah jika itu ada Arsen maka di sanalah Sony dan Brian berada.

"Bacot! Gue mah nggak masalah kalo sampe item, toh ganteng gue yang emang udah bawaan lahir nggak bakal luntur," balas Arsen menanggapi ocehan kawannya.

"Ye, ganteng-ganteng item," ejek Brian yang tak mau kalah dari Sony.

Ketiganya beradu argumen soal definisi tampan hingga menarik perhatian guru yang tengah mengajar. Tiga pukulan mendarat di tiga tempurung kepala anak yang terkenal dengan kebandelannya itu tanpa ada perlawanan. Mereka memang nakal, tapi kenakalan itu masih bisa berhenti di tangan guru. Toh ketiganya memegang prinsip yang sama, yaitu nakal sesuai takarannya.

"Eh, abis ini bolos, yuk. Gue yang traktir, deh. Jadi lo bertiga harus ikut," titah Arsen usai guru yang memarahi berlalu. Pukulan macam itu tak mempan untuk si keras kepala Arsen.

"Okelah berangkat!" Sony membalas dengan suara lantangnya.

Namun, Brian mengernyit heran. "Bertiga? Sama siapa, bro?" Meski tak pintar, ia masih bisa menghitung jumlah kelompok mereka.

"Tambah Tuan Muda ini."

Tanpa ragu Arsen mengalungkan lengannya ke bahu Daniel. Hal itu membuat remaja yang lebih pendek darinya terkejut.

"Nggak," balas Daniel mencoba melepaskan rangkulan Arsen.

Meski pernah membolos, tapi Daniel tak pernah menggunakan waktu membolosnya untuk hal bodoh seperti itu. Lagi pula nanti ada ulangan yang tak boleh ia lewatkan, jangan sampai ia mendapat nilai nol dalam ulangan harian. Meskipun ingin, Daniel tak akan memiliki cukup nyali untuk berhadapan dengan sang ayah, mengingat apapun yang ia lakukan selalu dalam pantauan pria tersebut.

Apalagi dua hari lalu ia baru saja bersitegang perkara yang terjadi di rumah kakeknya. Daniel tidak ingin memicu pertengkaran lagi.

"Ayolah, please—"

"Arsen! Sekali lagi kamu buka suara dan mengganggu siswa lainnya, bapak hukum kamu lari keliling lapangan sepuluh kali!" Suara tegas yang berasal dari depan membuat Arsen menghentikan kalimatnya seketika lantas menggaruk kepala.

"Oke, Pak. Nggak saya ulangi lagi," balasnya pada sang guru.

"Lo harus ikut pokoknya." Arsen bersikeras mengajak Daniel, tetapi kali ini dengan berbisik.

"Gue bilang enggak ya enggak, Arsen. Hari ini ada ulangan dua mapel sekaligus," sahut Daniel bersikukuh untuk menolak.

"Justru itu, lo harus ikut, bego! Biar lo tahu kalo hidup nggak soal nilai bagus dan prestasi di kelas." Bocah itu menepuk-nepuk bahu Daniel.

"Jangan terlalu khawatir sama masa depan yang bahkan kita sendiri nggak tau bakal seperti apa itu jadinya. Bisa hidup sampe hari ini aja tuh hadiah dari Tuhan, jangan disia-siain buat hal nggak pasti. Soal masa depan bisa dijalani sambil nikmati hari ini, kolot banget sih jadi orang," bisik Arsen kemudian melanjutkan kegiatan pemanasannya.

Tanpa sadar kalimat yang baru saja Arsen lontarkan telah menimbulkan gejolak aneh di dalam dada Daniel. Ada gejolak tak biasa yang muncul selepas ia mendengar kalimat itu. Diam-diam Daniel mulai memikirkan kebenaran tentang apa yang dikatakan oleh kawan sekelasnya ini. Soal masa depan yang tidak pernah diketahui oleh semua orang dan Daniel yang selalu khawatir akan masa depannya.

🍁🍁🍁

Jika benar hidup itu harus dinikmati karena setiap hal yang terjadi hari ini tak akan terulang lagi di hari berikutnya, maka apakah hari ini Daniel tengah menikmati hidupnya?

Berkumpul di salah satu sudut kantin sekolah dengan menikmati jajanan yang telah dipesan oleh Arsen untuk mereka. Ya, anak itu benar-benar menepati janjinya ketika mengatakan akan mentraktir ketiga kawannya. Anak itu menghabiskan semua uang jajan yang ia miliki untuk memesan semua makanan yang kini tersaji di atas meja.

"Wah, makasih, bro. Semoga dilancarkan rezeki serta jodohnya dan diterima amal ibadahnya oleh Yang Maha Kuasa," puji Sony sembari melahap siomay di hadapannya.

Arsen memukul kepala sang kawan dengan cukup keras. "Diterima amal dan ibadah mata lo soak, gila lo, ya? Udah ditraktir malah doain temennya mati," protesnya tak terima dengan doa yang baru saja Sony panjatkan.

Sembari mengusap kepalanya Sony berucap ketus, "Sialan, gue hampir keselek, njir! Itu doa baik biar Tuhan juga liat catatan amal baik lo, bukan dosa aja yang Dia baca," balasnya semakin memanas-manasi. Ia suka jika sudah memasuki sesi mempermainkan emosi kawannya.

"Halah bacot! Kayak orang paling deket sama Tuhan aja."

Meski kesal, Arsen tak bisa benar-benar marah pada sang kawan. Alhasil ia akhirnya ikut duduk di bangku yang sama dengan mereka dan memakan apa yang sudah ia beli.

"Lu juga makan jangan bengong aja. Kalo kesambet gue yang repot," tukasnya pada Daniel yang sedari tadi hanya memandangi mereka bertiga dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Sejujurnya Daniel merasa terkejut saat ini. Ia bingung harus bereaksi apa dengan hal yang ia alami saat ini. Di usianya yang menginjak tujuh belas ini, Daniel sama sekali belum pernah menjalin hubungan pertemanan dengan orang manapun. Ia lebih suka melakukan semua hal sendiri dan ia lebih suka sendirian dari pada berada di keramaian.

Oleh karena ia selalu berada di sekolah yang sama dengan Mattew, maka banyak dari teman-temannya yang menjauhi Daniel dengan alasan yang bermacam, salah satunya adalah karena ia tipikal orang yang sulit bersosialisasi. Jadi setiap ada orang yang hendak mendekatinya, Daniel lebih memilih untuk menjauh. Selalu seperti itu, hingga akhirnya ia dicap sebagai anak sombong yang egois. Beberapa bahkan merundung dan mengatakan bahwa ia tak pantas menjadi adik dari sosok Mattew yang sempurna di mata mereka.

Daniel tak pernah mempermasalahkan itu apalagi berbagi cerita pada orang tuanya. Meski hatinya selalu sakit setiap mendengar kata-kata tajam yang orang lontarkan, dirinya tak pernah bisa melakukan suatu pembelaan. Lagi pula, dibanding dengan ocehan tidak penting dari orang luar, ia lebih merasa tertekan dengan cacian yang ibunya berikan serta segala aturan yang ayahnya terapkan. Hidupnya hanya berjalan sesuai dengan jalan yang mereka tentukan, bukan yang Daniel inginkan.

"Sen," panggil Brian pada Arsen yang sibuk mengunyah gorengan.

"Hmm." Arsen menyahut tanpa menatap ke arah lawan bicara.

"Ini anak malah ngalamun terus dari tadi, gua takut dia kesambet beneran, njing," bisik Brian ke telinga Arsen yang duduk di sampingnya.

Arsen lantas menatap remaja yang duduk di hadapannya. Dan memang benar yang Brian katakan jika Daniel hanya menatap tanpa ada niat untuk menyentuh makanan yang tersaji.

"Daniel." Diikuti sentuhan pelan ke bahu, Arsen memanggil nama bocah di hadapannya.

Merasa jika namanya dipanggil, Daniel lantas mendongak dan menatap tepat ke manik Arsen.

"Kenapa?"

Meski samar, Arsen dapat menangkap sorot kosong di dalam kelamnya manik milik remaja berkacamata itu begitu mereka beradu pandang. Astaga, lagi-lagi ia merasa seperti de javu. Ia seakan pernah mengalami kejadian semacam ini, jauh sebelum ia kenal dengan dua sahabatnya ini. Adalah sesuatu yang sangat buruk jika hal di masa itu kembali terulang di waktu sekarang. Arsen tidak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi.

"Nggak apa-apa. Intinya mulai sekarang kita temen," tukas Arsen yang mengundang heran ketiga orang yang duduk di bangku tersebut.

"Hah?" Bibir Daniel sedikit terbuka. Dia tidak salah dengar, 'kan?

🍁🍁🍁


Adek mau belajar nakal. 😌

Sip, enjoy dan jangan lupa follow aku😗

Seperti biasa, bab baca duluan ada di KaryaKarsa. Link udah tersedia di bio juga ya 😉

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.4M 257K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
3.9M 303K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
273K 21.7K 23
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...