I'm Studying in a School Full...

By racchie-

350 4 3

Khairando "Nao" Mulkillah adalah seorang siswa SMA, dan ia baru saja memasuki SMA Kasuwari 3. Ia adalah orang... More

I. Perkenalan - Pembagian Kelas Para Siswa Baru
II. Kapan Terakhir Kali Kamu Bisa Makan Enak?
III. ...dan Kapan Terakhir Kali Kamu Bisa Tidur dengan Nyenyak?
IV. Kamu Tahu di mana Letak Kesalahanku Sekarang?
V. Apakah Teman-temanmu Sekarang Lebih Kuat daripada Aku?
VI. Apakah Mereka Semua Menyukaimu?
VII. Bagaimana dengan Orang-orang yang Tidak Menyukaimu?
VIII. Apakah Kamu Sendiri Sudah Banyak Belajar Sampai Saat Ini?
IX. Tapi Apakah Kamu Sendiri Sudah Jadi Lebih Kuat Sekarang?
X. Kuharap Kamu Menjawab Semua Pertanyaanku dengan "Baik-baik Saja"
XI. Dengan Temanmu yang Sekarang, Aku Harap Kamu Tak Akan Melupakanku Juga
TRIVIA I
XII. Sesi Peralihan - The End of Beginning
XIII. Scapegoat
XIV. Intention
XVI. Appointment
XVII. Carry On
XVIII. Question & Confession
XIX. Concealing Foes

XV. Love & Hate Relationship

11 0 0
By racchie-

Gue sama Shakila masih berusaha nutup mulut sambil ngedengerin apa-apa yang si Hamzah ributin sama--yang katanya--anak-anak kelas 10. Karena gue gak sempet ngeliat langsung keributan itu, gue jadi penasaran setengah mati. Siapa yang nyerang mereka, dan kenapa harus si Hamzah yang kena? Kenapa pula mereka harus pacaran di tempat sepi kayak gini? Ah sudahlah, mungkin gue gak bakal paham soal pertanyaan kedua itu.

Gue bisa denger keributan mereka semakin parah atau malah emang sebelom gue dateng juga udah separah ini. Ada bunyi meja yang dipukul, suara erangan, juga teriakan cewek. Kalo gitu, pasti di dalem kantin ini cuma ada Hamzah, Rosalind, sama anak-anak kelas 10 yang ngajak ribut sama mereka. Gue lagi-lagi gak bisa nahan diri gue buat terlibat langsung dan nolongin si Hamzah.

"Sha, kalo Hamzahnya kalah gimana?" kata gue yang udah terlalu khawatir.

"Biar gue aja yang maju, tapi lo jangan sampe keliatan mereka."

"Haaah?!"

Shakila gak meduliin gue dan langsung maju buat ngelerai keributan di kantin. Sementara dia sedang beraksi, gue turutin perkataan dia buat sembunyi sambil sedikit mikir-mikir. Kenapa gue gak boleh ketauan anak-anak kelas 10 yang ngajak ribut itu? Apa dia mikir kalo misalkan gue ngebela si Hamzah, ntar strategi kita malah berantakan?

Gue ngeliat satu kemungkinan. Seandainya gue ikut tarung sama mereka, gue bisa aja kesulitan "ngebawa" mereka buat gabung sama gue dan yang lainnya. Mungkin Shakila lebih tau, kayaknya anak-anak yang ngajak ribut ke si Hamzah itu punya kekuatan banyak yang cukup buat nyaingin gue sekelas. Makanya daripada gue harus ikut tampil, Shakila meminimalisir kerugian daripada anak-anak itu harus nyerang balik kelas gue suatu saat nanti. Singkat kata, anak-anak itu berniat buat mengusir Jack.

Setelah perkelahian berakhir ditandai dengan banyaknya anak-anak yang kabur, gue langsung nyusulin ke tempat kejadian perkara. Iya, gue paham kalo Shakila emang kuat kalo soal perkelahian, tapi makin ke sini kayaknya dia makin keliatan overpower. Biarlah, suka-suka penulis saja.

Di tempat itu, gue bisa ngeliat si Hamzah sama Shakila yang udah kewalahan, dan juga Rosalind yang masih masang wajah ketakutannya. Gue gak tau dan gak perlu ngejelasin apakah dia takut gara-gara perkelahian atau muka Hamzah yang emang keliatan sangar kalo ngebentak orang lain.

"Hamzah! Lo abis diserang siapa?" tanya gue.

"Gue gak tau mereka dari kelas mana," jawab dia, sementara Rosalind sedang berusaha mengobati semua luka dia. "Yang jelas, gue tau kalo mereka itu anak-anaknya Gamallio."

"Gamallio? Tapi kenapa?"

"Gak ngerti sama sekali," jawab dia lesu. Baru kali ini gue ngedengerin dia ngomong selesu itu, padahal setelah ditendang Shakila pun dia masih bisa-bisanya ngebentak orang lain.

"Ngerti, kan, kenapa gue suruh lo diem dan nggak ikut berantem sama mereka?" tanya Shakila.

Gue menjambak bagian belakang rambut gue. "Maksud lo, ini pengkhianatan?"

Shakila menggeleng. Memang, dari kita semua baik Hamzah sekalipun nggak tau apa masalah sebenernya.

"Lo kali yang bermasalah, Zah," kata gue.

Gue udah siap nerima bentakan dia yang datang bagai batu petir Mpok Nari, tapi dia malah ngeliatin gue lekat-lekat sambil ngejawab dengan santai, "Kerjaan gue di tongkrongan cuma maen FIFA, Nao."

Gue gak bisa nyalahin dia, dan akhirnya gue malah suntuk sendiri mikirin apa yang sebenernya baru aja kejadian.

"Kalo gitu, sekarang lo mau ke mana, Zah? Pulang aja? Tadi si Fasta sempet nyariin lu," kata gue.

"Gue capek. Gue pengen pulang," kata dia. "Tapi gue juga harus nganterin Rosalind dulu."

"Kamu kalo mau pulang, pulang aja, aku gak apa-apa pulang sendirian, kok. Kamu harus cepet-cepet istirahat," timpal Rosalind.

Ini cuma sekedar pikiran gue yang nggak begitu penting, ya, tapi kenapa cowok "keren" semacam Hamzah harus dapet cewek anggun kayak Rosalind? Gue jadi ngerasa perjodohan duniawi ini nggak berlaku dengan adil. Cewek cakep bisa dapet cowok ganteng (yang tinggi, khususnya), tapi nggak sebaliknya. Gue jadi kasihan sama anak-anak yang udah kebelet tapi punya banyak kekurangan, mengingat seandainya teori gue itu bener apa adanya. Mereka gak bakal dapet cewek cakep yang mereka mau, apalagi orang semacam Rangga, yang punya standar tinggi dan ganda (katanya dia terima cewek 2D dan juga 3D, yang gue kira kalo itu adalah ukuran dada cewek).

"Gak apa-apa, Lin," kata Hamzah. "Aku kan udah janji, biar kamu pulangnya nggak terlalu sore."

"So sweet..." gumam gue sama Shakila.

Gara-gara Shakila udah dijemput juga, kita semua pun akhirnya bubar bareng-bareng dari kantin. Kalian tau, jarak dari gerbang utama sekolah ke kantin itu lebih deket daripada ke kelas gue, tapi kita masih bisa ngomongin banyak hal selama perjalanan ke luar sekolah.

"Zah, kok lo bisa-bisanya cinlok sama si Rosalind?"

Dia mengangkat bahunya. Seharusnya gue juga tanya kali, ya, "Kenapa lo milih si Rosalind, bukan temen sebangkunya aja? Lo bisa aja jalan-jalan ke Amrik kalo deket sama dia, main-main ke South Coast biar kulit lo hitam-hitam elegan gimana, gitu."

"Wajar lah namanya juga cowok. Lo sendiri gak tertarik ngedeketin cewek yang dari tadi barengan sama lo itu?"

"Itu sih... gimana nanti aja, deh," kata gue. "Belom kepikiran."

Dia berhenti natap gue sesaat buat ngeliatin jalanan. "Jack, kalo lo misalnya didatengin sama anak-anak yang mau ngebantu posisi lo sekarang ini, reaksi lo gimana?"

"Gue terima dengan sesuka hati, lah," jawab gue secara otomatis. "Kenapa harus ada alesan buat nolak."

"Sekarang gini, kalo lo didatengin sama seseorang yang pingin ngebantu posisi lo, tapi juga kepingin ngebikin lo bahagia, reaksi lo gimana?"

"Tentu aja gue terima," jawab gue, lagi-lagi secara otomatis. "Tapi maksud ngebikin bahagia maksud lo itu apaan, dah?"

Dia sempet menyernyit dan mengarahkan pandangannya ke gue. "Lo emang gak paham soal beginian, ya?"

"Er... maksudnya..?"

"Soal cewek, Nao."

Kenapa gue bisa dikatain gitu? Apakah kedekatan gue sama Neva tidak berarti kalo gue memahami orang lain, khususnya cewek? Atau jangan-jangan selama ini Neva adalah cowok tulen yang berdandan dan telah mengoperasi wajahnya agar keliatan mirip personil girl band dari Korea Selatan?

"Gue kasih tau, ya," kata Hamzah. "Si Rosalind itu kan sebangku sama dia, makanya gue jadi ngerti sedikit-sedikit cerita ini biar lo ngerti juga."

"Lo mau bilang kalo Shakila beneran demen sama gue?"

Hamzah ngangguk. "Katanya, sih. Lo sendiri harus mastiin juga."

Otak gue tiba-tiba konslet. "G-gue harus ngapain sekarang? Terus, maksud lo dia pingin ngebahagiain gue itu?" Akibatnya, omongan gue keluar terlalu cepat dan belepotan.

"Intinya, dia pengen lebih deket lagi sama lo," kata Hamzah. "Tapi kalo lo masih aja banyak perhitungan, gue pikir gak apa-apa. Lagian, lo orangnya begini dan dia juga orangnya kayak gitu."

"Kenapa dia bisa suka sama gue?"

"Gara-gara lo rajin, kayaknya, makanya dia tertarik dari awal."

Gue diem dan nggak nimpalin apa-apa lagi. Di dalam otak gue, sedang terjadi kelebihan hormon sehingga pikiran gue jadi gak bisa mikir jernih. Gue membayangkan, di dalam otak gue sedang berlangsung sebuah Sidang Istimewa yang dihadiri oleh Ahmad Badawi, Osama bin Laden, William Shakespeare, sama Pak Haji Bolot. Sisanya, kalo bukan mahasiswa hukum dan hubungan internasional, paling-paling cuma anak teater yang doyan meromantisasi segala hal.

"Tenang aja, Nao. Nanti juga lo pasti ngerti. Dan gue gak harus ngasih tau lo buat ngelakuin apa-apa ke dia, soalnya ini urusan lo berdua."

Gue bukannya nggak ngedengerin semua omongan dia, tapi masalahnya otak gue beneran konslet waktu itu.

Setelah kita semua berpamitan, gue langsung cabut ke tongkrongan dengan jalan kaki. Di sana udah ada anak-anak yang lain tampak sedang santai, sama seperti yang telah dijanjikan Fasta.

"Hamzah pulang duluan," kata gue sambil memesan cokelat panas ke penjaga warung. "Dia abis dihajar."

"Anjrit! Dihajar siapa?"

"Gue gak ngeliatin orangnya langsung," kata gue sambil duduk di tempat gue biasa. "Tapi kata si Hamzah, mereka anak-anaknya Gamallio."

"Gamallio?" ulang Fasta. "Ceng, barusan lo udah sempet ngobrol sama si Gamaliel, kan?"

"Udah, tapi katanya dia mau mikir-mikir dulu," jawab dia cuek sambil terus maen game di laptopnya.

"Lo sendiri gimana?" tanya gue ke Fasta.

"Gue sih, aman," jawab dia. "Tapi kenapa anak-anaknya si Gamaliel mau nyerang si Hamzah, sih? Mereka ngajak ribut sama kita?"

"Gue juga kagak paham, Fas."

"Kalo si Hamzah sendiri gimana, gak apa-apa?" tanya Andre.

"Iye, dia emang lagi ngebucin, pas dia diserang dia ditolongin sama Shakila."

Andre langsung bergidik setelah mendengar kata 'Shakila'. Entah apa yang telah Shakila lakukan sampai-sampai Andre bisa ngeri cuma gara-gara ngedengerin namanya doang.

"Oh iya, gue sama Andre juga berhasil ngajakin anak-anak IPA 1," tambah gue, baru keingetan. "Berarti tinggal IPA 2 yang belom dan bisa diajak."

"IPA 2 siapa, ya? Dari SMP ada yang masuk kelas sana, gak, Dre?" tanya Fasta.

"Kagak inget gua," jawab Andre. "Ceng, lo tau anak-anak IPA 2, gak?"

Si Kaceng menggeleng. Dia lagi asik maen Dark Souls pake touchpad untuk sensasi + tantangan yang baru.

"Menurut lo, cukup gak kalo pasukan kita segini aja? Kita, anak-anak IPA 1, 4, 5?" tanya gue.

"Masalahnya, gak ada yang tau berapa banyak bekingannya si Muldam itu," kata dia. "Dan emang lo kepikirannya mau nyerang kayak gimana? Cuma tinggal itu yang belom direncanain."

Gue akhirnya menemukan suatu kebuntuan.

Tapi gue bukannya mau nyalahin gue yang terlalu lama buat ngumpulin pasukan. Dari awal, emang beginilah strategi Kak Muldam. Selama ini, anak-anak dia yang nyerang secara langsung cuma kejadian di awal-awal (atau bagian pemanasan). Sisanya sampe sekarang, yang ngajak ribut belakangan ini cuma anak-anak kelas 10. Tapi yang terjadi dari kemaren itu adalah kesalahpahaman dan hal-hal yang gue kagak ngerti. Mungkin, kalo gue bisa tau sedikit aja anak-anak Kak Muldam itu, gue bisa mengguncang dia sedikit.

"Gimana, ya, gue gak kepikiran ide bagus. Masa harus nunggu ada perkelahian lagi buat kita kelahi, gitu?" tanya gue ke Fasta.

"Malah, gue pikir cuma itu satu-satunya cara, Nao."

"Jadi, kalo ada perkelahian gue harus ikut ribut juga gitu?"

Fasta ngangguk.

"Tapi, kan gak semua masalah mereka terkait sama si Kak Muldam ini," pikir gue.

"Tenang aja, Nao. Kan kita udah punya banyak relasi, ya lo tinggal nunjukkin solidaritas kita aja."

Bener juga. Strategi yang baru aja gue bikin ini rupanya memiliki strategi perang yang sama kayak sistem aliansi. Gue bisa ngerahin semua anak-anak gue buat nolongin anak-anak lainnya yang kena serangan. Tapi kasian juga kalo gitu, berarti kita semua secara tak langsung dijadikan umpan satu sama lain.

Sambil menyesap cokelat panas yang baru aja jadi, gue ngarahin si Andre tentang rencana ini ke anak-anak yang baru aja kita ajakin hari ini. Gue juga ngobrolin soal ini secara langsung via telepon, dan gimana caranya biar rencana gue pokoknya berjalan dengan lancar. Masalahnya, kali ini anceman buat angkatan gue gak cuma kelas 12, tapi juga dari beberapa anak kelas 10.


Pada minggu berikutnya, gue bersekolah seperti biasa seolah nggak ada yang berubah dari rutinitas gue sehari-hari. Tapi di suatu kesempatan, gue sempet ngeliatin si Sulaiman yang agak murung selama dia ngebaca buku. Meskipun raut muka dia emang kayak gitu, tapi dia gak pernah keliatan semurung itu kalau lagi baca buku, apalagi dia suka baca buku-buku komedi.

"Man, lo kenapa? Kayaknya ada yang gak beres," kata gue kepada dia, mencoba perhatian.

Sulaiman cuma menghela nafas sambil bersender nikmat di depan kursinya. Mungkin itu pertanda kalo dia emang lagi capek atau pikirannya juga lagi kacau.

"Lo punya masalah sama orang lain?" tanya gue, sementara gue sendiri gak yakin masalah sosial macam apakah itu yang bakal mengenai orang semacam Sulaiman.

Dia menggeleng. Ya sudahlah, dia emang nggak lagi mau ceritain masalahnya. Gue yang mencoba buat menghargai semua orang, akhirnya pasrah kepada urusan si Sulaiman ini. Lagian, si Sulaiman itu kuat banget, kan? Anak-anak sempet ngebercandain gue kalo gue ini Jack dan Sulaiman ini Joker masa depan. Dan, ya, seperti kebanyakan Joker sebelum-sebelumnya (perkiraan gue doang), Sulaiman nggak tertarik buat jadi orang paling kuat di sekolahan. Gue rada-rada riskan juga kalo misalnya dia beneran jadi Joker, bisa-bisa dia bakal nantang semua orang buat dibanting di atas lapisan batu konglomerat yang ada di dekat mesjid.

Beberapa orang yang gue gak kenal masuk ke kelas gue pas istirahat pertama. Tampang mereka kayak yang mau ngajak ribut, atau entah gara-gara mereka ini baru aja gagal judi bola Bundesliga yang kadang skornya gak masuk akal itu.

"Lu Nao, kan?" tanya dia ke gue.

"Iya... lo mau apa?" tanya gue dengan nada yang kebingungan.

"Gue gak terima kalo lo jadi orang paling kuat padahal lo masih kelas 10," kata dia. "Tapi, sebagai orang kuat, lo gak bisa ngelindungin kita semua dari Kak Muldam. Mending kita tunjukkin di sini, siapa yang paling layak buat jadi yang paling kuat!"

Oh, sekarang ini masalah gue adalah suara rakyat, ya? Tapi memang inilah tujuan gue sebenernya, dan gue bukannya jadi anak paling kuat cuma buat ngebikin semua orang tunduk sama gue. Lupakanlah Andre Grunder Frank, kita di sini berdiri sebagai suatu pemegang kekuatan yang sama.

"Sebelomnya, gue mau minta maaf kalo gue gak bisa ngelindungin kalian semua. Lo harus paham kondisi sekarang, makanya gue pikir lebih baik kalo kita nyusun strategi buat nyerang balik si Kak Muldam," kata gue dengan sok politis.

"Tapi gue gak terima! Pokoknya, kita kelahi sekarang di luar!" Benar, pilihan untuk kelahi di kelas gue adalah pilihan yang teramat bodoh dan menantang nyawa.

"Hmmmph, ya udahlah--"

"Kalo lo mau nantangin Nao, lo harus ngelangkahin gue dulu," kata Sulaiman tiba-tiba.

Gue jelas terkejut sama omongan dia yang motong perkataan gue. Lagian, bisa-bisanya dia mau bilang kayak gitu di hadepan gue?

"Nao, mereka ini ngajak ribut sama lo. Bukan gara-gara dia pingin nuntut ini atau itu, tapi buat nyelakain lo," kata Sulaiman. "Gue kemaren diajak ribut sama orang-orang ini, tapi mereka main kotor. Gue harus nyelesaiin masalah ini sekarang."

"Apa sih, lo? Gue kan ngajak ribut si Nao, bukan elo!" kata orang tadi.

Di balik hoodie berwarna hitamnya itu, rupanya dia masih berusaha kalem dalam segala situasi. Tapi yang ngebikin hati gue terenyuh, dia rela ngehalangin gue dengan perasaan dan sikapnya yang kalem itu. Gue jadi ikutan adem, ngomong-ngomong, kenapa hoodie dia gak kena razia waktu di depan halaman sekolah, ya?

"Oh, jadi lo semua udah ngajak ribut si Sulaiman, ya? Belom pernah dibanting sama kita-kita?" tantang gue ke mereka.

"Nao! Ini urusan gue doang, lo mending jangan ikut campur!" cegah Sulaiman.

"Lo gak usah khawatir, Man. Lo itu temen gue, dan udah tugas seorang temen buat ngebantuin lo yang kena masalah," kata gue.

Si Sulaiman secara dramatis ngeliatin gue sambil mikir, tapi akhirnya kita berdua udah siap nerima tantangan dari mereka semua.

"Ayo sini maju!"

Sedetik kemudian, gue malah mendapati anak-anak tersebut dihajar sama anak-anak kelas gue lainnya sampe tidak menyisakan satu pun dari mereka yang bisa berdiri. Si kembar yang gue pikir masih duduk terpaku di depan bangku gue, ternyata diam-diam menyelundup dari kolong meja dan menghantam kepala mereka dengan papan dada (PAPAN DADA, WOY, BUKAN DADA PAPAN).

"Kalo lo semua mau nantangin mereka juga, lo harus ngalahin gue dulu!" kata mereka.

Gue yang udah bersiap-siap tarung malah balik lagi duduk sambil menopang pipi gue di atas meja. Kalo kayak gini sih udah pasti menang telak. Gue jadi agak kesel juga gara-gara udah lama gak kelahi, sekalinya ada kesempatan malah diambil orang lain kayak gini.

"Sori, ya Man, biar kita aja yang ngurusin anak-anak ini!  Habis kata lo, mereka main kotor, ya kan?" kata Shakila sambil menginjakkan kakinya di atas korban perang. "Lo mau gue apain anak-anak ini?"

Sulaiman diem sebentar, dan ternyata dia juga diem-diem tersenyum kecil bak psikopat. Gue curiga jangan-jangan Sulaiman pingin mereka dihukum dengan cara disekap di atas triseda dan akan dibawa bolak-balik ke Lembang lewat Batu Kuda.

"Suka-suka lo aja, deh," kata dia akhirnya. Malah memutuskan sesuatu yang kedengeran terlalu baik bagi beberapa orang.

"Kalo gitu mulai sekarang, kalian harus nurut sama kelas ini, ya!"

Mau dia apakan orang-orang semacam ini?

Gue dari tadi sempet terkejut sama tindakannya si Sulaiman ini. Habis, kadang perkara kecil doang dia bisa besar-besarin.

"Lo kenapa, sih?" tanya gue.

Dia menghadap gue supaya wajahnya nggak kehalangan hoodie oversize itu. "Gue jadi belajar suatu hal."

Selanjutnya, dia bercerita tentang apa yang baru aja dia alami dari orang-orang barusan. Ternyata, Sulaiman bilang kalo anak-anak barusan itu sebenernya adalah anak-anak Kak Muldam juga, tapi bukan dari angkatan yang sama dengan gue. Kalo gitu, kenapa bisa-bisanya mereka ngomong seolah-olah mereka itu anak kelas 10?

"Gue waktu itu lagi pulang sendirian, tiba-tiba dicegat sama mereka. Lo harusnya paham, kalo yang bakal nyegat gue itu cuma kakak kelas doang. Waktu itu, intinya gue nerima tantangan mereka lewat 1 lawan 1, tapi mereka main kotor."

"Iya, ya, kakak kelas kita kan belagu?" gumam gue seadanya. "Eh, kakak yang di sana!"

Sebelom mereka semua dipulangkan ke alamnya masing-masing oleh Shakila, salah satu orang paling belakang noleh ke gue karena ngerasa dipanggil.

"Apa lo? Belom puas juga nyerang angkatan lo sendiri?"

"Lo bukan anak kelas 10," bantah gue. "Gue mau nantang bos lu itu bareng anak-anak kelas 10 yang lainnya. Tolong kasih tau bos lu itu secepetnya."

Dia diem sambil nyengir, habis itu langsung cabut dari kelas gue tanpa berkata apa-apa.

"Gara-gara ini juga, gue jadi sadar, Nao," kata Sulaiman. "Gue gak bisa terus-terusan ngeladenin semua perkelahian sendirian. Gue jadi bersyukur ada kelas yang mau ngajarin gue soal itu."

Gue terpana apa adanya. Bisa-bisanya cowok yang terlalu lama hidup di dalam dimensi egosentrisnya sendiri ngomong kayak gitu.

"Tapi, mau gimanapun juga, lo cocok kalo jadi solo fighter," kata gue.

Dia cuma terkekeh bentar gara-gara mood dia yang sedang membaik, setelah itu kembali lagi membaca bukunya. Lah, gue pikir dia bakal jadi orang yang asik setelah dia ngomong kayak gitu, tapi Sulaiman tetep aja Sulaiman.

"Untuk sekarang, kayaknya lebih baik kalo kita bertarung secara berkelompok."

Betul, Man, dan itulah yang saat ini gue bakal usahain. Dari awal, kelas kita ini udah sama-sama pengen jadi kelas yang terbaik, kan? Kalo gitu, gue juga berharap kalo kalian mau sama-sama bertarung buat itu. Buat cita-cita kita yang sama-sama kita dambakan.

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 170K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.8M 224K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.4M 128K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
487K 25.5K 36
SEBELUM BACA JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR NYA DULU YA GUYSS.. ~bagaimana ketika seorang perempuan bertransmigrasi ke tubuh seorang perempuan yang memili...