CHOICE

By IM_Vha

87.2K 7.5K 948

#teenfiction #sicklit #mentalhealth "Jika hidup adalah soal pilihan. Maka apakah mati bisa disebut keputusan... More

CAST
0. Prolog
1. Neraka Hampa
2. Luka Baru
3. Tetangga
4. Kerja Kelompok
5. Keinginan untuk Hidup
6. Dihajar
7. Kucing
8. Bekas Luka
10. Rumah Nenek
11. Sepupu
12. Dia yang Disalahkan
13. Bolos
14. Dihajar Lagi
15. Melukis
16. Kita Teman
17. Plester
18. Tempat Asing
19. Pukulan Preman
20. UKS
21. Sudah dan Masih Hancur
22. Sebuah Maaf
23. Rantai Pengekang Baru
24. Having Fun
25. Collapse
26. Amarah
27. Bagaimana Jika Menyerah?
28. Menyelinap
29. Menyerah
30. Tragedi Pagi Hari
31. Terungkapnya Fakta
32. Ketika Mata Terbuka
33. Tidak Sendirian
34. Lembaran Baru
35. Epilog

9. Si Aneh Arsen

2.8K 274 23
By IM_Vha

💙Happy Reading 💙

Pukul sembilan pagi, seharusnya saat ini adalah jadwal mata pelajaran olahraga untuk kelas Daniel. Namun, semua siswa tingkat pertama kini berkumpul di dalam aula dan saling berdesakan layaknya di sebuah pasar.

Sudah terhitung tiga bulan sejak tahun ajaran pertama berlalu. Ulangan tengah semester ganjil baru saja tuntas minggu lalu. Dan hari ini adalah waktu bagi setiap siswa tingkat pertama untuk mengikuti ekstrakurikuler yang mereka inginkan.

Berdasarkan aturan khusus yang SMA itu buat, seluruh siswa kelas satu wajib untuk mengikuti minimal satu ekstrakurikuler. Mereka boleh berhenti maupun melanjutkan dari kegiatan ekstrakurikuler itu ketika masuk ke tingkat dua.

Sama dengan siswa lainnya, Daniel juga ikut bergumul di kerumunan. Tetapi anak itu masih belum memutuskan untuk mengikuti ekstrakurikuler mana, karena nyatanya tak ada ketertarikan dalam diri Daniel untuk mengikuti kegiatan semacam ini. Ayolah, Daniel tidak pandai bergaul dengan seseorang, apalagi berkelompok. Ia rasa nyalinya menciut, bahkan sebelum bertemu dengan orang-orang dalam ekstrakurikuler.

"Kira-kira kita harus ambil eskul apa, ya?"

Daniel terkejut bukan main ketika seseorang datang dan merangkul bahunya begitu saja. Seakan sudah berkawan akrab, Arsen bertanya pada Daniel sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada sekitar sepuluh stan yang kini nampak berlomba-lomba untuk menawarkan ekstrakurikulernya pada adik kelas.

"Arsen, lo apa-apaan?" Usai tersadar dari rasa terkejutnya, Daniel buru-buru melepaskan lengan Arsen yang melingkar di bahunya.

Perbedaan tinggi mereka yang cukup jauh, membuat Daniel sedikit kesusahan dalam melepaskan rangkulan. Apalagi Arsen tampak tak ingin melepaskan rangkulannya, anak itu seakan mengapit Daniel di dalam lengan panjangnya.

"Arsen ...."

"Gimana kalau klub sepak bola? Atau basket? Seru tuh kayaknya, apalagi buat orang dalam masa pertumbuhan. Dijamin, deh, lo bakal tambah tinggi," tutur Arsen tanpa segan.

Daniel mendengus kesal. Hei, dia tidak terlalu pendek untuk ukuran anak laki-laki. Rata-rata tinggi siswa di kelasnya juga sama dengan Daniel. Arsen saja yang memiliki tinggi badan yang kelewatan. Ia sangat kesal ketika seseorang mengatainya pendek.

Tahu jika Daniel tak memberi respons pada ucapannya, selain tatapan kesal. Arsen berinisiatif untuk menarik lengan bocah itu menuju meja pendaftaran klub basket.

"Kak, kita mau daftar," ucap Arsen pada salah seorang panitia yang menjaga stan eskul basket.

Tersenyum ramah, panitia itu berucap, "Diisi dulu formulirnya, Dek. Nanti baru kami kasih arahan."

"Oke."

Menarik lengan Daniel menjauh dari kerumunan, Arsen menyerahkan satu formulir pada anak itu dan menyuruhnya untuk mengisi. Melihat isi dari formulir tersebut, tentu saja Daniel tak langsung mengisi. Anak itu membaca secara seksama dan setelah paham, ia kembalikan formulir itu pada Arsen.

"Gue nggak tertarik."

"Hah? Yang bener aja. Kenapa nggak bilang dari tadi? Percuma gue udah minta formulir," gerutu Arsen tak terima. Anak itu meratapi formulir yang sudah diisinya sebagian.

Daniel tidak pernah menyukai hal-hal yang berbau olahraga. Lagi pula, apa-apaan Arsen ini? Kenapa tiba-tiba sok akrab dengannya? Bukankah aneh jika orang yang biasanya menjahili Daniel, kini jadi sok akrab seperti ini?

"Lo kenapa aneh, sih?" Tak mau menyimpan rasa penasarannya terlalu lama, Daniel memutuskan untuk bertanya.

Arsen mengalihkan pandangannya dari kertas formulir ke wajah Daniel. Ia tahu, jika anak ini pasti merasakan keanehan karena tiba-tiba dirinya berlaku sok akrab dengannya. Akan tetapi, Arsen lebih memilih tidak peduli dan melanjutkan aksinya.

"Emang salah kalau gue berubah?" Bukannya memberi jawaban, Arsen justru membalas pertanyaan Daniel dengan pertanyaan lain.

Arsen kira, Daniel akan membalas ucapannya dengan bantahan. Tapi ternyata anak itu justru hanya diam dan mengalihkan pandangan, seperti tak ingin melanjutkan pembahasan.

Mengabaikan keberadaan Arsen, bocah berambut hitam legam tersebut berjalan menuju salah satu meja dengan pengunjung yang lumayan sedikit. Daniel pikir jenis eskul tersebut memiliki sedikit peminat, dan mungkin itu lebih baik daripada berada di ekstrakurikuler yang memiliki banyak anggota.

"Dek, mau ikut ekstrakurikuler sastra? Kita masih punya banyak lowongan, kok," sapa salah satu senior yang menjaga stan.

Daniel ternganga saat sang senior mengatakan lowongan. Ia sedikit bingung, apakah ini sejenis melamar pekerjaan? Mengapa mereka menyebut soal lowongan?

Sadar jika lawan bicaranya kebingungan, siswa yang bertugas menjaga stan lantas terpingkal.

"Tanggung jawab lo, Zee. Kasian adeknya sampe bingung gitu," tukas salah seorang di antaranya usai tertawa.

Siswa bermata almond yang masih terpingkal mencoba untuk menghentikan tawanya. Ia menggeleng pelan kemudian mengucapkan maaf pada Daniel.

"Maaf, Dek. Bercanda, kok. Kami dari klub sastra, apa Adek berminat gabung ke klub kami? Kalau memang berminat, kamu isi dulu formulirnya. Nanti kami beri informasi lebih lanjut tentang kegiatan klub kami," ujar siswa ber-name tag Zeedan atau yang dipanggil Zee tadi.

Daniel hanya bisa tertawa canggung menanggapi candaan yang dilontarkan dua siswa senior di hadapannya. Entah Daniel yang jarang bercanda, atau memang ia yang tak paham dengan candaan yang mereka buat. Yang jelas, candaan itu tak lucu sama sekali, tapi keduanya tadi terpingkal.

"Kak, gue mau daftar klub juga." Arsen yang sedari tadi berdiri di belakang Daniel angkat bicara, membuat yang lebih pendek terbelalak.

"Lo ngapain ngikutin gue, sih?" protes Daniel saat tahu Arsen mulai mengisi formulir yang sama dengannya.

"Dih, apaan. Gue emang suka hal-hal yang berbau seni, kok. Makanya gue mau join ke klub sastra nan indah ini," kilah Arsen tak mau jujur.

Daniel mengernyit. Tak mungkin anak berandal seperti Arsen ini menyukai hal-hal berbau sastra. Sebenarnya ada apa dengan anak ini? Apakah fungsi otaknya terganggu, ataukah ada makhluk tak kasat mata yang merasuki tubuh anak ini hingga sudi bergelut dengan sastra?

"Apa lihat-lihat?" ketus Arsen saat Daniel memandanginya.

"Nggak apa-apa, kok. Ada lalat di jidat lo," sahut Daniel acuh lantas mengalihkan pandangannya dan mulai mengisi formulir.

Dan dengan bodohnya Arsen menyentuh dahi, memeriksa apakah benar ada lalat yang menempel.

"Dih, masa orang ganteng ditempelin lalat," gumam Arsen tak percaya.

'Bego banget,' batin Daniel ketika tahu Arsen percaya ucapannya.

🍁🍁🍁

Hari yang cukup menyenangkan bagi Daniel. Mengapa? Karena hampir seharian ini tak ada yang merundungnya barang satu orang pun.
Di lain sisi ia juga mengenal beberapa kawan baru di klub sastra yang ia ikuti. Daniel senang, setidaknya di klub ini ia tak perlu menjadi sosok yang banyak bicara karena kebanyakan anggotanya memang anak pendiam sepertinya. Oh, meski begitu, ia menjadi sedikit risih karena harus satu klub dengan Arsen. Anak rusuh yang menjadi satu-satunya anggota cerewet di klub sastra.

"Daniel."

Daniel yang berniat untuk ke dapur mengambil segelas air guna memuaskan rasa dahaganya, menghentikan langkah begitu sebuah suara menyebut namanya. Ditolehnya ke ruang keluarga, terdapat sang ayah yang kini sedang asik membaca koran. Tumben sekali, pikir Daniel.

"Iya, Pa," jawab Daniel.

Menutup koran yang di bacanya, Thomas berucap, "Besok kita akan berkunjung ke rumah nenek. Papa harap kamu ikut, sudah lama kita nggak ke sana. Nenek kalian pasti rindu cucu-cucunya. Mattew juga setuju untuk berangkat, jadi sebisa mungkin kamu harus ikut juga," tukasnya sembari memandang lekat sang anak.

Mendengar kata 'Nenek' disebut, sebuah senyum terukir di kedua sudut bibir Daniel. Luapan rasa bahagia tak bisa anak itu bendung maka dengan semangat ia mengangguk, mengiyakan ajakan yang ayahnya berikan.

"I–iya, Pa! Aku ikut, aku juga kangen nenek," sahutnya bersemangat. Entahlah, kali ini ia tak memiliki rasa takut ketika berbicara sang ayah. Kali ini rasa bahagia mengalahkan rasa takut yang biasanya menyelimuti.

Memang benar, dibandingkan anggota keluarga yang lain, Daniel lebih dekat dengan sang nenek. Sosok wanita tua penuh wibawa itulah yang selalu memberi dukungan atas apa yang sekiranya Daniel sukai. Tak pernah memaksa, tak pernah pula membandingkan bagaikan barang. Haya kasih sayang yang selalu wanita tua itu ajarkan pada anak dan cucunya. Dan Daniel sangat menyayangi wanita itu.

Tentu saja dia juga sayang sang kakek, tapi sifat kakeknya sedikit mirip dengan Thomas. Hal itu membuat Daniel merasa kecil ketika berhadapan dengan Mr. Immanuel.

🍁🍁🍁

Enjoy, and see you next part. 😗
Kalo nggak sabar ya seperti biasa, ke KaryaKarsa aja. Link ada di bio 👶

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.6M 309K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.6M 268K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
6.8M 286K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
2.6M 129K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...