Binding destiny

De imaginisa_

108K 9.9K 167

[Romance - Fantasy] Fantasy series #1 Awalnya hidup Maura baik-baik saja, sampai ketika umurnya menginjak usi... Mai multe

Prolog
1 || How is begin (1)
1 || How is begin (2)
2 || After begin and mysterious ring
3 || The incident
4 || sadness
5 || Grandmother
6 || Homecoming and hug
7 || Rencana Ares
8 || Selamat ulang tahun
9 || Pemuda bertopi Hitam
10 || Terkurung
11 || Dua sosok baru
12 || Hello Leta!
13 || Rencana
14 || Kecurigaan Maura
15 || Penobatan Avner
16 || Tersesat
17 || Penyusup
18 || Hukuman mati
19 || Setelah Hukuman Mati
20 || Rencana mereka
21 || Kill Them
22 || Wake Up
23 || Apa yang sebenarnya terjadi?
24 || Adu Argumen
25 || Wanita dalam mimpi
26 || Rencana kabur
27 || Gadis Yang Avner Cintai
28 || Sebuah Jawaban Untuk Isabelle
30 || Kaki Kokoh
31 || Kecurigaan Leta
32 || Pelayan menyeramkan
33 || Tanpa Judul
34 || Kilasan memori
35
36
37
38
39
40
41
42
43

29 || Iblis Licik

1.4K 132 0
De imaginisa_

Selamat membaca dan menikmati kisah Avner dan Maura

|chapter twenty nine|







      Wanita bergaun merah itu terlihat begitu bahagia, ia menatap kedepan dengan senyuman menawan. Sembari menyentuh perutnya dengan lembut, ia kembali tersenyum. Tidak tahu kenapa, ia hanya merasa sangat bahagia saja. Luar biasa bahagia.

"Sayang, kau lelah mau duduk?"

Perhatian wanita itu teralih, pria dengan jubah mewah itu berdiri tak jauh darinya. Berdiri tepat di belakang seorang pria botak yang tengah melukis nya sekarang. Ia terkekeh, suaminya itu selalu berlebihan.

"Diamlah, aku sedang di lukis," ucapnya kesal.

Pria itu tersenyum, istrinya sangat cantik dengan gaun merah itu. Dan ia membenci nya, apa lagi ketika pria pelukis sialan itu terus menatap istri nya, dasar kurang ajar.

"Hei, pria kuas, berhenti menatap istriku!" Ujarnya kesal.

Wanita itu kembali berdecak kesal. "Axel, jika dia tidak melihatku lalu bagimana ia bisa melukisku!"

"Dia ini pelukis jenius, sayang. Dia pasti tahu caranya!"

"Diamlah, Axel. Atau aku tidak akan mau berbicara denganmu lagi."

Axel mengangkat tangannya menyerah, ia membiarkan pelukis itu kembali melihat pada istrinya. Hanya kali ini, kalau tidak mungkin Axel sudah membunuhnya sedari tadi. Axel kembali menatap kedepan pada istri cantiknya, Axel tidak bohong.

Namun semenjak kehamilan anak pertama mereka, istrinya nampak lebih cantik dari biasanya. Dan juga begitu menawan. Axel semakin mencintainya.

"Axel, apa aku terlihat cantik dalam lukisan itu?"

Axel tersenyum mengangguk dengan semangat. "Tentu, kau sangat cantik. Luar biasa cantik."




"YANG MULIA! YANG MULIA! NONA SUDAH BANGUN!"

Avner yang semula tengah mengetukkan jarinya bosan di kursi yang ada di sudut kamar itu sontak bangkit terlonjak, ia segera bergegas menuju ranjang dimana Maura terbaring sejak dua hari yang lalu. Avner nampak berbinar bahagia ketika melihat jemari Maura yang mulai bergerak, kening gadis itu berkerut, kemudian matanya terbuka secara perlahan.

Avner tersenyum, mengusap kepala gadis itu dengan begitu lembut.

"Amour, kau sudah sadar? Apa masih terasa sakit? Kau bisa katakan padaku."

Maura ingin membuka mulut nya, namun rasanya sulit. Seperti di beri lem, kedua bibirnya tak bisa ia buka. Tubuhnya lemas, untuk berkedip saja berat. Ia menatap Avner, di saat seperti ini Maura harap Avner dapat membaca pikirannya.

'Lemas. Tubuhku, semuanya. Lemas'

Avner mengangguk mengerti, ia segera memerintahkan Javier untuk segera memanggil tabib Han kemari, pria dengan tubuh penuh tato itu membungkuk lalu pamit undur diri.

"Tabib akan datang dan memeriksa mu, tenang saja, ya. Semua akan baik-baik saja."

Avner tersenyum, menggenggam erat tangan Maura dengan lembut. Andai saja Maura tidak sedang terbaring tak berdaya seperti ini, ia pasti sudah menendang Avner karena lancang menyentuhnya. Tapi tak bisa sekarang, seluruh tubuhnya mati rasa tak ada yang bisa di gerakan sama sekali.

"Mohon ampun, Yang Mulia."

Avner menoleh ketika mendapati Tabib Han sudah berdiri tak jauh darinya, Avner bangkit memberi ruang pada Tabib Han untuk segera memeriksa Maura. Ia takut sekali, Avner takut ketika sedari tadi Maura tak kunjung berbicara padanya.

Tabib Han meletakkan gelas kecil berisi cairan bening yang ia bawa di atas meja, ia mulai bergerak memeriksa Maura. Tangannya di tempelkan pada dahi Maura, turun menuju leher gadis itu. Tabib Han menatap Maura sebentar, mulut nya nampak menggumamkan sesuatu, kemudian ia mengusapkan tangannya pada kedua kaki Maura.

Tabib Han tersenyum setelahnya, ia mengambil kembali gelas di atas meja. Meminumkannya dengan lembut pada Maura. Gadis itu hampir saja muntah ketika merasakan pahit luar biasa dari cairan putih yang terasa lengket di tenggorokan nya itu.

Rasanya aneh, dingin dan juga pahit. Lidahnya langsung mati rasa, dan tubuhnya terasa beku, sialan sekali ia kedinginan.

"Bagaimana?" Tanya Avner penasaran ketika Tabib Han hanya diam saja.

"Mohon ampun, Yang Mulia. Kondisi Nona akan membaik secepatnya, namun ..."

Tabib Han menghentikan ucapannya, ia menatap pada Avner tahu jika pria itu pasti dapat membaca pikirannya.

'Kedua kaki, Nona tidak akan berfungsi untuk beberapa hari kedepan.'

Avner menghela napasnya, ia mengangguk saja. Avner mengibaskan tangannya di udara memberi isyarat pada Tabib Han agar segera pergi.

"Hamba mohon undur diri, Yang Mulia."

Avner mendudukkan dirinya di samping Maura, gadis itu nampak ingin bangkit dari posisinya sekarang. Avner membantu Maura, ia mengangkat tubuh gadis itu merubah posisinya menjadi duduk. Maura menatap Avner sekilas, ia mengepalkan kedua tangannya di atas selimut yang menutupi pinggang hingga ujung kakinya.

Tangan Maura perlahan terangkat, terhenti gemetar, ia menyingkap selimut itu dengan pelan ingin memastikan sesuatu. Maura mendongak menatap Avner dengan matanya yang berkaca-kaca. Bibirnya gemetar ingin mengeluarkan suara, tapi tak bisa. Lemas, rasanya lemas.

"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa," ucap Avner berusaha menenangkan.

Maura menggeleng lemah, air matanya jatuh begitu saja. Tangannya terangkat dengan terkepal kuat, Maura terisak. Ia memandang kedua kakinya yang tidak bisa di gerakan dengan sendu, ia menangis seperti kehilangan hidupnya. Maura terguncang, memukul kedua kakinya dengan sisa tenaga yang ia punya.

Tidak.

Ini tidak mungkin terjadi!

"Kaki... kenapa?" Tanya Maura dengan suara begitu pelan. "Kenapa? Kakiku... kenapa?"

Avner tersenyum, berharap itu dapat membuat Maura menghentikan tangisannya. "Tidak apa-apa. Kakimu hanya lelah, butuh istirahat sebentar."

"Bohong," desis Maura. "Cacat ... aku cacat!"

"Tidak, Amour. Kau baik-baik saja. Tidak apa-apa."

Maura menatap Avner tajam, rahangnya mengeras dengan binar kebencian serta napas yang menderu terengah, tangan kanan Maura terangkat ke udara, meski terasa berat dan gemetar karena tubuhnya yang lemas. Tangisan Maura semakin kuat terdengar bahkan hingga ke luar ruangan ini, membuat Avner membeku tak mampu melakukan apa pun.

Plak

Bahu Maura naik dan turun begitu tangannya berhasil menampar wajah Avner, tubuh Maura berkeringat, tangannya jatuh begitu saja ke atas pahanya. Tamparan Maura sama sekali tak bertenaga, bahkan sekedar membuat kepala Avner tertoleh pun tidak.

Lemas.

Tubuhnya seakan mati rasa.

"Brengsek!" Umpatnya sebelum tubuhnya kembali ambruk ke atas ranjang.

Avner menghela napasnya, ia mengusap wajah Maura dengan lembut. Tak bereaksi apapun bahkan setelah Maura mengumpat padanya. Ia hanya diam, karena tahu jika semua ini terjadi karenanya.

Ya, semua ini kesalahan Avner.


|BINDING DESTINY|




        Isabelle berjalan dengan pelan di lorong istana yang nampak sepi, tangannya menggenggam botol kecil kaca berisi cairan berwarna bening, langkah Isabelle nampak gusar dan ragu. Wanita itu memasukkan botol kaca tersebut ke saku rok yang ia kenakan.

'Tak usah munafik, Isabelle. Aku tahu kau mencintai Avner kan.'

Isabelle berbelok ke kanan, menuju lorong gelap yang hanya di terangi pencahayaan lilin. Wanita itu meremas tangan nya dengan gugup.

'Ambillah, kalian pasti membutuhkannya.'

Isabella menatap pada saku rok berwarna hitamnya, jantung wanita itu mendadak berdegup kencang. Ucapan Axel kembali terngiang begitu saja di pikirannya, mengganggu pertahan Isabelle dan keyakinannya.

Pria itu tahu jelas apa yang menjadi keinginan Isabelle, ia sudah begitu paham hingga menjadikannya sebagai umpan untuk Isabelle, wanita itu menegakkan tubuhnya. Mengatur deru napasnya yang mulai tak terkendali, pintu dengan ornamen emas berbalut warna hitam itu ada di hadapan Isabelle sekarang.

Kakinya yang semula gemetar mulai mampu berdiri dengan kokoh, ia menoleh sebentar kebelakang, memastikan jika tidak ada yang mengikutinya sekarang.

"Apa ini sudah benar?"

Tidak.

Ini rasanya tak tepat.

Isabelle meremas tangannya dengan kuat, niat awalnya yang ingin masuk mendadak berubah. Tak yakin dengan pilihannya sekarang. Isabelle menggigit bibir bawahnya dengan kuat, ragu apakah harus pergi atau masuk kedalam.

'Isabelle, iblis memang licik. Tapi aku yakin kau tidak seperti itu.'

Isabelle tersentak, suara bernada lembut itu tiba-tiba saja kembali berputar di pikirannya. Bagai kaset yang memiliki durasi pendek. Namun mampu membuat tubuhnya bergetar, tekadnya yang memang sudah goyah langsung hancur. Enyah semua rencana licik nan jahat yang sejak awal sudah di rangkai Isabelle.

Ia tidak bisa melakukan ini.

Isabelle memang iblis, tapi ia bukan Axel.

Ia memang licik, tapi tak selicik Axel.

Isabelle mengurungkan niatnya, ia menghela napas pelan. Hendak berbalik saja, kembali ke tempat dimana ia seharusnya berada sejak tadi.

Isabelle membalikkan tubuhnya, ia terlonjak kaget hingga membuat pintu yang semula tertutup rapat itu terbuka, sepasang sepatu berwarna hitam menjadi hal yang Isabelle lihat ketika ia jatuh membentur lantai.

Tubuh wanita itu menegang, dengan kaku mendongak ke atas. Penampakan pria bertato dengan tubuh tegap nan gagah itu membuatnya hilang nyali. Ketakutan setengah mati.

"Isabelle ...," panggil pria itu dengan nada rendah. "Apa kau ingin berkhianat?"

Tidak.

Jangan lagi.


Isabelle merangkak mundur, pria itu membungkuk dengan mata menatap tajam pada wanita bernetra merah yang kini tengah ketakutan. Bibir Isabelle bergetar, seiring dengan seringai pria itu yang mulai timbul. Mengisyaratkan pada Isabelle jika ia berada di posisi sulit.

"Apa kau ingin mengkhianati negeri mu, Isabelle?" Tanya pria itu lagi.


Isabelle menggeleng kuat, menunduk tak mampu bertatapan dengan iblis menyeramkan ini lebih lama lagi.

"Ada apa ini, Javier?"


Isabelle menegang sempurna, ketukan sepatu yang terdengar mendekat pada keduanya membuat Isabelle semakin ketakutan. Ia tahu seharusnya ia masuk saja, seharusnya ia mendengarkan Axel dan tidak membiarkan pertahannya goyah.

Seharusnya Isabelle ingat jika ia adalah iblis.

Harusnya sejak awal, ia tak usah bersimpati pada gadis itu.

Seharusnya ...

"Hanya memastikan jika tak ada duri dalam daging, Tuan," jawabnya sambil tersenyum licik.


... Isabelle tak berurusan dengan dua iblis licik ini.






****

Thank you, for reading

Hope you like it and enjoy this part

Don't forget to vote, comment, and share if you like my story

Be a good readers:)

Find me:

IG : nuranisa174

See you!

With love,
Imaginisa♥






Continuă lectura

O să-ți placă și

507K 31.4K 61
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
2.3M 136K 49
•Airis Ferdinand. Aktris cantik dengan puluhan mantan pacar, baru saja mendapatkan penghargaan Aktris terbaik di acara Awards international. Belum se...
812K 72.4K 32
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...
123K 7.8K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...