If You Know When [TELAH DITER...

Oleh ItsmeIndriya_

1M 120K 15.4K

Trilogi IYKW Series Sekian lama menghilang, akhirnya Vanilla kembali dengan harapan baru untuk akhir kisah pe... Lebih Banyak

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
PENGUMUMAN
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
VOTE COVER!!!
Lima Puluh Delapan
Lima Puluh Sembilan
Enam Puluh
Enam Puluh Satu
Enam Puluh Dua
Enam Puluh Tiga
Enam Puluh Empat
Enam Puluh Lima
TERIMA KASIH
PRE-ORDER IYKWHEN
LDR SERIES 1 || OBSESI ELANG
DIARY VANILLA

Dua Puluh

19K 2.1K 230
Oleh ItsmeIndriya_

"Sandra kan?"

Kalimat tersebut menginterupsi ucapan Sandra. Sandra pun langsung menoleh dan mendapati pria tinggi berkulit putih dengan hoodie hitam sedang menatap kearahnya. Sandra meneliti wajah cowok itu, namun Sandra tidak mengenalinya.

Sadar bahwa Sandra tidak kenal, cowok itu langsung memperkenalkan diri, "gue Jason, temannya Vino. Sorry karena kemarin gak sempat ketemu di acara kalian."

"Jason, Jason Gustavo?" tanya Sandra dengan mata melebar dan mulut yang terbuka tidak percaya.

Reynaldi Jasonelic Gustavo, anak dari pemilik rumah sakit tempat Sandra bekerja dulu, Kakak angkat dari mantan pacar Dava yang menghilang. Sontak Sandra langsung menundukkan kepalanya, "maaf, saya tidak tau jika anda--"

"Santai aja, gak usah seformal itu. Lagian kita seumuran kan? Lo juga udah gak kerja di rumah sakit keluarga gue, jadi gue bukan atasan Lo." Sandra mengangkat kembali kepalanya dan tersenyum canggung. Dalam hati ia mengagumi ketampanan pria di hadapannya ini.

Tinggi, putih, bahu lebar dan dada bidang, benar-benar membuat Sandra terpikat. Sandra langsung menghilangkan pikiran kotor tersebut ketika wajah Vino tiba-tiba melintas di pikirannya. Tak bisa di pungkiri, naluri Sandra melihat cowok tampan memang tidak bisa hilang begitu saja. Meskipun sudah bertunangan dengan Vino.

"Btw, ngapain jauh-jauh kesini? Bukannya Lo tinggal di Jerman?"

"Ah, itu... Gue lagi ada urusan disini, karena gue pernah kuliah di sini. Sekalian ada seseorang yang harus gue cari."

Kening Sandra berkerut, "adik.. angkat Lo?" tanya nya dengan nada hati-hati di balas anggukan kecil oleh Sandra. "Sorry to hear that."

Jason tersenyum, membuat hati Sandra menjerit bahkan pipinya memerah. Hanya satu kelemahan Sandra, melihat cowok ganteng tersenyum kepadanya. Sudah bisa di pastikan Sandra akan terlihat seperti ikan yang kehabisan napas.

"Yang tadi itu, temen Lo?" tanya Jason menatap kearah belakang Sandra.

Sandra menepuk jidatnya, ia sampai lupa kalau ia pergi bersama Vanilla dan sejak kehadiran Jason, Sandra sama sekali tidak mendengar suara Vanilla. "Kenalin ini teman sekamar dan partner kerja gue, Va..." Kalimatnya kembali menggantung ketika ia menoleh kebelakang dan tidak mendapati tubuh Vanilla di sana. Hanya kantong plastik sampah yang di tinggalkan Vanilla yang tetap berada di sana.

"Kayaknya tadi dia pergi waktu gue tegur Lo," sahut Jason.

"Mungkin dia lagi gak enak badan, soalnya dia memang lagi dalam masa pemulihan."

"Sakit?"

Sandra mengangguk, "pikirannya yang sakit," jawab Sandra. Jason langsung membulatkan mulutnya dan seketika teringat pada adik angkatnya yang sampai saat ini belum ia ketahui keberadaannya. Padahal tinggal selangkah lagi, Jason bisa bertemu adiknya itu.

"Jason, che ci fai qui? (Lo ngapain disini?)" tegur seseorang di belakang Jason membuat Jason dan Sandra menoleh.

"Ho incontrato il mio amico.(Gue ketemu teman gue)"

"Dai, gli altri to stanno aspettando, (ayo, yang lain udah nunggu)," ucap cowok itu.

Jason menganggukkan kepalanya dan kembali menoleh kearah Sandra yang sedari tadi hanya memperhatikan Jason yang sedang berbincang dengan temannya. "Kayaknya gue harus pergi, nice to meet you, Sandra." Sandra tidak menjawab dan hanya melempar senyum. Setelah itu Jason langsung pergi bersama temannya meninggalkan Sandra.

Sandra menghela napas dan memperhatikan plastik sampah yang di tinggalkan Vanilla. "Vanilla!" geramnya kesal dan terpaksa menyeret kantong plastik tersebut ke tong sampah. Sandra bersumpah ia akan memaki Vanilla karena tidak bertanggung jawab dan meninggalkannya begitu saja.

*****

Dengan menghentakkan kaki, Sandra mendobrak pintu kamar Vanilla dan mendapati temannya itu sedang tertidur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Niat awal Sandra yang ingin marah-marah pun tergantikan oleh helaan napas dan sedikit rasa khawatir.

"Vanilla, Lo gak kenapa-napa kan?" tanya Sandra sembari duduk di pinggiran kasur.

Dari balik selimut Vanilla menganggukkan kepalanya pelan dan mengusap pipinya yang basah. Ia mencoba mengatur napasnya agar Sandra tidak curiga bahwa ia sedang menangis. Beberapa menit kemudian, Vanilla membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan berubah posisi menjadi duduk menghadap Sandra.

"Ada masalah?" tanya Sandra lagi, "sini cerita ke gue."

Vanilla menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskanya. Vanilla ingin menceritakannya pada Sandra, tapi Vanilla tidak tahu harus mulai dari mana. Ketika ia melihat kakak angkatnya tadi, ia otomatis berlari kembali ke apartemen, masuk kedalam kamar dan tiba-tiba menangis. Rasanya seperti bersalah, karena pergi begitu saja dan tidak meminta maaf.

"Gue..." ujarnya sedikit ragu, "gue tiba-tiba kangen aja sama keluarga gue."

"Ya kalau kangen, pulang lah!"

"Gak segampang itu, Sandra."

Sandra mendengus, "sesusah apa coba? Lo punya duit, tinggal pesan tiket pesawat ke Indo terus berangkat, sampai sana pesan taksi ke rumah, selesai kan."

"Andai bisa semudah itu, udah gue lakuin dari kemarin-kemarin."

"Yang bikin susah itu diri Lo sendiri, Vanilla." Sandra menekannya perkataannya, "karena Lo ragu, dan selalu berpikiran negatif. Apapun yang terjadi di masa lalu Lo, udahlah, lupain aja."

Dalam hati Vanilla tertawa. Tanpa harus di suruh melupakan, Vanilla sudah lupa dengan sendirinya. Tapi Vanilla malah penasaran dan berusaha untuk mengingatnya kembali. Padahal Vanilla tidak tau apakah ia bisa menerima kenangan tersebut, atau malah ingin melupakannya setelah ingat nanti.

"Kok Lo lama banget tadi?" tanya Vanilla mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin terus-terusan membicarakan tentang masa lalu yang tidak Vanilla ingat.

Sembari memainkan ponselnya, Sandra menjawab, "tadi gak sengaja ketemu teman tunangan gue. Karena dia nyapa, jadinya gue ngobrol bentar deh." Sandra mendengus, "Lo sih kabur duluan, padahal tuh cowok tajir, ganteng pula. Siapa tau aja kan bisa buat Lo move on." Kalau bukan masa lalu, pasti tentang percintaan yang selalu menjadi bahan pembicaraan Sandra.

"Gue bukannya gak bisa move on," Vanilla mencoba membela diri, "gue cuma menikmati kesendirian aja. Lagian gue juga gak kepikiran untuk pacaran, tunangan, menikah, karena ada hal yang harus gue selesaikan dulu."

Sandra menghela napas dan menatap Vanilla, "terserah deh Lo mau ngomong apaan. Gue cuma ngasih saran karena gue gak mau pikiran Lo terus-terusan sakit."

"Mental gue yang sakit!" ujar Vanilla sembari menertawakan dirinya sendiri.

Ting!

Satu notifikasi di ponsel Vanilla membuat kedua orang itu menoleh secara bersamaan. "Tumben ada notif," ucap Sandra heran karena ponsel Vanilla sama sepinya seperti kuburan. Biasanya hanya Sandra yang rajin mengirim pesan dan menelpon Vanilla.

"Siapa?" tanya Sandra mencoba mengintip ponsel Vanilla.

Vanilla mengernyitkan dahinya heran. Pesan tersebut berisikan sebuah nomer yang kode negaranya adalah Indonesia, sementara nomer pengirim tersebut berkode negara Italia. Segera Vanilla beranjak dari atas kasur dan menjauh dari Sandra.

"Mau kemana?" teriak Sandra tidak di gubris oleh Vanilla.

Setelah sempat berdebat dengan hatinya, Vanilla pun memilih untuk mendial nomer tersebut. Bahkan Vanilla melakukan panggilan internasional untuk nomer yang tidak Vanilla tahu siapa pemiliknya.

Beberapa kali terdengar bunyi nada sambung, sebelum akhirnya seseorang mengangkat dan berkata, "halo?" satu kata yang terdengar membuat tubuh Vanilla menegang.

"Halo?" ucap pria dari ujung telpon untuk kedua kalinya dan Vanilla masih saja diam. Beberapa detik kemudian, sambungan telpon tersebut putus.

Vanilla tetap pada posisinya, memegang telpon di telinga dengan jantung yang seolah berhenti berdetak. Vanilla kenal suara yang tadi mengangkat telponnya, suara orang yang mengucapkan perpisahan ketika Vanilla baru saja hendak memulai semuanya dari awal.

Itu suara Dava. Entah siapa yang mengirim pesan tersebut, yang jelas membuat rasa rindu Vanilla kepada Dava semakin menjadi. Vanilla tidak boleh menangis, anggap saja ia tidak pernah mendengar suara Dava sebelumnya.

*****

Dava melempar jasnya ke atas kasur dan melepas dasi yang terasa seperti mencekik lehernya. Di gulung nya lengan kemeja putih yang ia kenakan hingga diatas siku dan memilih untuk duduk di pinggiran kasur sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Pekerjaan kantor membuat kepalanya berdenyut sakit. Dava butuh liburan, namun tidak bisa karena banyaknya jadwal yang harus Dava selesaikan terlebih dahulu. Lagi pula teman-temannya juga sedang sibuk bekerja. Mereka sudah berencana pergi liburan setelah Elang pulang dari Aussie nanti.

"Kak..." panggil Poppy yang entah sejak kapan berada di kamar Dava, membuat Dava mengangkat kepalanya dan menoleh. "Kapan sih Lo berhenti menyiksa diri Lo sendiri dengan kerjaan?"

Dava menghela napas, namun tidak menjawab.

"Dan kenapa Lo gak protes tentang perjodohan Lo dan Soraya? Jujur nih ya, gue gak suka sama dia. Arogan, angkuh, pokoknya gue orang pertama yang menentang perjodohan kalian."

Untuk kedua kalinya Dava menghela napas, "gak ada gunanya juga kan protes?" ujar Dava.

"Lo mau pasrah sama masa depan dan impian Lo?"

"Dia gak akan kembali, Poppy." Dava tau kemana arah pembicaraan adiknya itu. Jadi sebelum Poppy semakin banyak berbasa-basi, lebih baik Dava melontarkannya duluan.

"Karena Lo yang minta dia pergi disaat dia udah berusaha untuk kembali."

"Gue..."

"Kak!" tegas Poppy, "untuk apa Kak Vanilla datang kesini kalau dia memang mau menghindar selamanya dari Lo? Kalau pun dia kembali bukan untuk Lo, pasti dia gak akan mau ketemu sama Lo meski secara gak sengaja. Tapi faktanya? Dia malah nyamperin Lo kan, bahkan senyum seolah-olah gak pernah terjadi apa-apa antara lo dan dia."

Sejak bertahun-tahun yang lalu, semua orang selalu mengomel pada Dava tentang Vanilla, seolah apa yang Dava lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan. Dava selalu salah karena tidak pernah mengerti keadaan Vanilla, meninggalkan Vanilla, menyesal, lalu kembali meninggalkan gadis itu. Dava hanya ingin satu hal, ia tidak ingin masa lalu terus menghantui hari-harinya. Dava ingin semua masalah yang menyangkut masa lalunya, selesai, sehingga ia tidak perlu lagi membagi pikiran antara masa lalu, masa sekarang dan masa depannya nanti.

"Oke, kalau memang pilihan Lo adalah mengakhiri segalanya, silahkan. Tapi jangan berharap lagi, Kak. Itu membuat Lo terlihat seolah-olah balas dendam karena penantian Lo selama ini sia-sia."

"Gue gak balas dendam..."

"Terus apa?" potong Poppy dengan nada yang sedikit di naikan. "Kak, gue tau Lo bego, tapi please, jangan egois. Gue cewek, dan gue tau gimana perasaan Vanilla. Mungkin Lo merasa gak adil karena selalu salah, tapi Lo gak tau gimana berkurangnya dia untuk kembali seperti semula."

Cerocosan Poppy hanya bisa membuat Dava terdiam, menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Jangankan Poppy, Dava saja tidak tau bagaimana perasaannya. Dava tidak bermaksud balas dendam, ia hanya bingung harus seperti apa. Semenjak Vanilla pergi, Dava perlahan menghilangkan harapannya, lalu setelah harapan tersebut hampir hilang, Vanilla hadir kembali, membuat dunianya jungkir balik untuk kedua kalinya.

Karena tak kunjung mendapat respon dari sang Kakak, akhirnya Poppy mendengus kesal. "Pikirin baik-baik sebelum Lo menyesal." Poppy membalikan badan dan langsung keluar dari kamar Dava.

Sementara Dava masih tak bergeming. Kepalanya terasa semakin sakit setelah mendengar kalimat kalimat yang di lontarkan Poppy padanya. Dava tidak tau harus seperti apa. Apa ia harus protes kepada orangtuanya mengenai perjodohan dengan Soraya, atau ia mengikuti alurnya saja.

Suara dering ponsel membuyarkan pikiran Dava. Ia langsung mengambil ponselnya, dan tanpa melihat terlebih dahulu, langsung di angkatnya. "Halo?" ucap Dava menyapa dengan nada setengah lemas.

Tidak ada sahutan.

"Halo?" untuk kedua kalinya Dava bersuara namun masih tidak ada jawaban. Dava pun langsung mematikan sambungan telpon tersebut dan melempar ponselnya keatas kasur. Ia menghela napas, rasanya ia ingin segala isi pikirannya hilang. Dava ingin tenang, Dava tidak ingin terus-terusan berpikir yang bukan-bukan.

Akhirnya setelah lama diam dan hanya menghela napas, Dava bangkit dan memutuskan untuk mandi.

*****

"Pa, Rian mau bicara sebentar," ucap Dava yang berdiri di depan pintu ruang kerja Papanya.

Dava pun melangkah masuk dan memperhatikan Papanya yang sedang sibuk mengurusi begitu banyak berkas.

"Ini soal perjodohan Rian dan Soraya."

Papa Dava menghentikan pergerakan tangannya dan menatap Dava, "kamu tidak setuju?" tanya Papa Dava di balas anggukan. "Masih menunggu dia?" tanya Papa Dava lagi dan Dava terdiam.

"Papa tidak pernah memaksa kamu untuk menikah. Cukup terjadi di masa lalu dan Papa tidak ingin mengulangnya."

"Perjodohan dengan Soraya?"

Papa Dava menarik napas, "untuk kebaikanmu. Kamu selalu terpuruk karena masa lalu, karena cintamu yang hilang. Papa tau bagaimana rasanya mencintai seseorang, dan Papa lihat rasa cintamu kepada wanita itu sangat besar."

Dava tidak menjawab dan hanya diam menunggu kalimat selanjutnya yang akan di lontarkan oleh sang Papa.

"Kalau kamu memang mencintai wanita itu, buktikan. Tapi jika harapmu sudah menghilang, cobalah memberi kesampaian pada Soraya."

"Dia..."

"Papa tau, wanita itu tidak meninggal dan ada di suatu tempat, iyakan?"

"Papa tau dari mana?"

"Untuk apa Papa memiliki relasi yang banyak jika hal seperti itu saja tidak tau. Lagi pula, wanita itu bukan berasal dari keluarga biasa, jadi apapun berita tentang dia pasti bisa dengan mudah tersebar." Lagi lagi Dava terdiam. Respon Papanya benar-benar di luar dugaan Dava.

Entah untuk keberapa kalinya, Papa Dava menghela napas, berdiri dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya. "Kalau memang kamu mencintai wanita itu, bagaimana pun keadaannya, bagaimana pun kondisinya, kamu pasti akan memperjuangkannya. Jangan membuat hatimu bingung untuk memilih antara bersama masa lalu, atau mencari yang lain untuk masa depan. Papa tidak memaksa kamu untuk menikah dengan Soraya, Papa hanya mengenalkan kamu saja, karena Papa tidak ingin anak Papa yang sudah dewasa ini kehilangan arah hanya karena cinta." Setelah kalimat itu terlontarkan, Papa Dava menepuk bahu anaknya dan berlalu meninggalkan Dava yang masih terpaku.

Jika Dava bertanya pada sepuluh ribu orang yang ia kenal, maka Dava yakin sembilan puluh sembilan persen jawaban mereka sama. Apa mungkin sekarang Dava harus benar-benar menentukan pilihannya? Antara kembali memperjuangkan Vanilla atau membuka lembaran baru bersama Soraya.

*****

Akhirnya setelah sekian lama part ini mendekam di draft, bisa di up juga.
Dari awal nulis kayak part ini part terbuntu yang pernah ku ketik. Ngestuck banget😤
Tapi gapapa, yang penting udah di up, mwehehehe

Selamat membaca!



Selasa, 10 Maret 2020

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

1K 370 42
"Aku hanya ingin dia versi agamaku." Ketika dia datang membawa harsa, lalu pergi meninggalkan luka dan nestapa..... sungguh sakit-!!! Ternyata 'peopl...
440 152 29
"Semua orang yang menyakiti maka akan tersakiti. Tapi semua orang yang membahagiakan belum tentu dapat kebahagiaan" LUKA ITU TERLALU BANYAK TAPI TID...
5.1M 291K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.1M 107K 57
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...