Bening

By ndaquilla

1.6M 239K 16.5K

Bening tak membutuhkan telaga untuk menggenapi takdir yang dipilih Tuhan untuknya. Setelah menerima permintaa... More

P R O L O G
1. Bertemu
2. Diskusi
3. Mencari Tahu
4. Selembut Embun
5. Ketakutan Anin
6. Nuansa Bening
7. Mengalun Ribut
8. Pemain Cadangan
9. Sekarang Atau Tidak Sama Sekali
10. Mungkin Ide Gila
11. Serangkaian Ketidakpastian
12. Surprise!
13. Dia Sakit
14. Siapa Yang Kamu Sebut Istri?
15. Pengantin Baru
16. Pewaris
17. Mengulik Masa Lalunya
18. Ini Suamiku
19. Tamu
20. Panggilan Dari Mertua
21. Jangan Mencoba Sembuhkan
22. Senja Dibalik Mega
23. Post Traumatic Stress Disorder
24. Selingkuh
25. Istrinya Salah
26. Kamu Capek
27. Nama Itu Terucap
28. Bak Senja Di Mata Nirmala
29. Honeymoon
30. Agak Dingin
31. Gamang
32. Tolong
33. Siapa Yang Jahat?
34. Affan Tidak Pulang
35. Mereka Sedang Menimbangnya
Bening Ebook

36. Mama

37K 6.5K 639
By ndaquilla

“Lo lagi nonton bokep?”

Affan memutar bola matanya. Bersiap menutup laptop, namun tangan Tama sudah terlebih dahulu menahan.

“Siapa tuh?” ia menunjuk dengan mata menyipit. “Anjing, lu bayar orang buat mata-matain bini lo, Fan!” kekeh Tama menepuk-nepuk pundak Affan dengan heboh. “Ya, ya, ya, emang susah sih kalau udah ke-detect jadi budak cinta. Sampai harus rela ngelakuin hal-hal norak kayak gini.”

Affan mendengkus, ia shutdown komputer tipisnya. “Jadi, mau ke mana kita hari ini?”

Tama mengedik, ia duduk di depan Affan dengan pandangan berbinar jenaka. “Jadi …,” ia sengaja memenggal kalimatnya. “Ada apa gerangan sampe lo harus mata-matain bini lo sendiri?”

Ck, nggak ada. Gue cuma mau mastiin dia aman.”

“Iya deh, gue percaya aja,” Tama menyeringai. “Ngomong-ngomong, dia di boncengin siapa tadi?”

Affan mengangkat bahu mencoba tak peduli. Lalu memanggil karyawan hotel untuk meminta kopi lagi. Duduk di lobi sejak dua jam lalu, Affan sudah menghabiskan dua cangkir kopi. Karena selain memantau keadaan kantor, ia juga sedang tidak waras dengan mengirimkan dua orang mata-mata demi membuntuti istrinya.

Well, semua bermula sejak ia menghubungi mertuanya waktu itu. Mengatakan keberatan untuk berpisah dengan sang istri. Affan pikir, Faisal akan mendebatnya. Namun Faisal justru membuat Affan makin bingung. Sebab, bukannya langsung menolak, Faisal malah mengatakan agar sementara waktu Affan tidak usah menghubungi Anin terlebih dahulu.

Affan jelas merasa keberatan. Hendak melayangkan protes, namun pupus begitu mengetahui sang istri tengah berada dalam fase pengobatan.

Jangan hubungi Anin dulu, ya, Fan?”

“Lho kok gitu, Pa?” mana mau Affan diatur-atur begitu. Masa untuk menghubungi istrinya saja dilarang. Kan Affan ingin meminta maaf.

“Saat ini, Anin sedang melakukan sesi konseling,” suara Faisal terdengar lelah. “Kali ini, Anin nggak menolak, Fan.”

Maksudnya, istrinya tidak menolak diajak berobat begitu ‘kan?

Wah, ada apa sebenarnya?

“Anin mau diajak ke psikiater, Pa?” tanya Affan penuh harap. Benar-benar di luar dugaan. Namun, Affan sangat senang dengan progress itu. “Jadi, kondisinya gimana sekarang?”

“Cakra punya teman seorang psikolog. Setelah kita ceritakan kondisi Anin, ternyata psikolog itu punya metode terapi yang tepat. Jadi, nggak lagi bergantung pada obat penenang. Anin sedang dilatih untuk mengalihkan tiap-tiap kenangan buruknya dengan mengganti lewat kenangan baik yang ia miliki sebelum Senja pergi darinya. Juga, setelah dia menikah dengan kamu, Fan.”

Ada kebanggaan sendiri saat Affan mendengar bahwa kebersamaan mereka yang masih singkat itu, telah tertanam sebagai memori yang baik untuk istrinya. “Jadi, kenapa Affan nggak boleh menghubungi Anin, Pa?”

“Anin beranggapan kamu pergi meninggalkannya karena dia nakal.”

“Pa—“

“Diam dulu, Fan!” sergah Faisal tajam. “Untuk sementara, biarkan Anin berpikir begitu. Untuk sementara ini, kami dan juga ahli kejiwaannya, sepakat menjadikan hal itu sebagai alasan kuat kenapa kamu meninggalkannya. Karena, hanya dengan alasan itulah, Anin bersedia bertemu dengan psikolog.”

“Maksudnya, Pa?”

“Fan,” suara Faisal melembut. Tidak sekeras sebelumnya. “Anin beranggapan, dia nakal karena selama ini tidak pernah mau untuk melakukan konseling. Jadi, kamu pun pergi karena nggak sanggup dengan kenakalannya. Dan sekarang, Anin ingin berubah. Dia tidak ingin kamu sebut nakal lagi. Makanya, dia nggak keberatan melakukan konseling dengan psikolog. Berharap segera sembuh dan kamu akan pulang.”

“Maksud Papa, aku harus pura-pura menghilang beneran dari Anin gitu? Biar Anin mau ikutan terapi?”

Enak saja!

Bagaimana kalau terapi itu memakan waktu berbulan-bulan?

Hah, yang benar sajalah!

“Setelah Senja yang menjadi pusat dunia Anin. Berikutnya adalah kamu yang dijadikannya segala fokus atensi. Dia menuruti kamu lebih banyak daripada mendengarkan Papa. Dia percaya pada kamu dan menerima pernikahan kalian. Setelah itu, dia mulai mengikuti ke mana pun kamu tinggal. Dia nggak mengeluh sewaktu kamu ajak dia tinggal di rumah orangtua kamu. Dan sewaktu kamu memberinya sebuah rumah, ke sanalah dia pulang, Fan.”
Affan terdiam kaku.

Untuk satu alasan yang tak mampu ia jabarkan, ia merasa bersalah pada istrinya.

Bagi seseorang yang memiliki mental sehat seperti dirinya, hal-hal kecil yang ditunjukkan oleh istrinya tentulah ia anggap biasa. Tak pernah berpikir sedalam itu, Affan merasa kini dirinya yang terlalu egois.

“Walau pun progresnya terdengar sangat lambat, Anin sudah berusaha membaur dengan keluarga kamu, Fan. Dia tidak keberatan pergi dengan ibu kamu. Padahal, kamu tahu sendiri bagaimana selama ini Anin bersikap. Semula, dia hanya terlihat hidup dengan dirinya sendiri. Tetapi pernikahan kalian, membuat dia lebih terlihat manusiawi.”

Lalu Affan membentaknya hanya karena ia tertekan dengan banyak hal.

Oh, Tuhan … betapa sialan dirinya saat ini!

Beban pekerjaan, sekaligus masalah yang Bara timbulkan, membuat Affan tanpa perasaan melimpahkan segalanya pada wanita itu.

Pada istrinya, yang ternyata memilih pulang ke rumah mereka dan bukannya rumah orangtua wanita itu seperti biasa.

Astaga! Betapa tololnya Affan! 

“Anggaplah kepergiaan Senja dari hidupnya sebagai pemicu. Kemudian, menghilangnya kamu untuk sementara waktu, merupakan momen yang tepat untuk menjadi penyembuh. Kamu mengerti maksud papa ‘kan, Fan?”

“Jadi, aku nggak boleh hubungi dia atau ketemu dia, sebelum progress penyembuhan ini membuahkan hasil gitu ‘kan, Pa?” Affan langsung lemas. “Sampai kapan, Pa?”

Tidak ada yang tahu.

Dan mungkin, Affan akan mengutuk diri sendiri sebentar lagi.

Sial!

Gara-gara kontrol emosinya yang buruk, Affan harus melimpahkan kekesalan itu hanya pada istrinya seorang. Padahal, bukan hanya wanita itu yang menjadi sumber satu-satunya dari sakit kepala yang mendera.

“Lo mendesah, gitu banget sih, Fan?” kekeh Tama. “Kenapa? Setelah lo selidiki ternyata bini lo selingkuh?” celetuknya tanpa berpikir. “Inget, Fan, laki-laki itu kalau selingkuh yang dipake cuma nafsu. Beda sama perempuan yang nyeleweng memang karena hati. Makanya, banyak laki selingkuh pasti balik lagi ke istri. Sedangkan kalau perempuan yang selingkuh, jarang deh dia balik ke suami. Hati-hati lo.”

“Mulut lo, Bang,” Affan berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia minum kopinya, lalu menyisakan setengah.

“Tapi, lo hebat ya kemaren. Diajak mojok sama Aura nggak mau,” cebik Tama setengah mengejek. “Padahal, ya, gue bisa liat kok, kalau Aura ngeliatin lo udah bisa dikategorikan zina mata.”

Tergelak mendengar penuturan itu, Affan memandang Tama geli. “Kayaknya, lo lebih cocok deh Bang, jadi kakak buat adek-adek gue.”

Tama mendecih, namun tak mengomentari hal itu. “Main golf aja deh, yok?”

“Serius, Bang? Nggak ada kerjaan lain nih?” Affan tertawa namun mengikuti Tama yang sudah beranjak dari kursi.

“Anggaplah kita lagi di pengasingan, Fan. Lagian, mau ngerjain apa coba? Staf ahli kita di sini aja banyak. Udahlah, hepi-hepi aja, anggap Opa lagi ngasih kita waktu buat liburan.”

Karena memang, tak ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan di sini.

Padahal, Affan ingin sekali cepat-cepat pulang ke Jakarta. Banyak pekerjaan yang menunggunya di sana.

Dan tentu saja, ia merindukan istrinya.

“Bini gue sakit, Bang,” jujurnya dengan menekan rasa bersalah yang membuncah di dada. “Bantu gue keluar dari sini bisa nggak sih, Bang?”

***

Anin menggigit bibir bawah, sembari memandangi cermin yang kini memantulkan lehernya yang telah berhias kalung berlian dengan bandul berisi berlian-berlia kecil dengan pecahan yang tidak simetris. Namun anehnya, malah terlihat sangat indah.

“Wah, cantik, Nin. Kita ambil yang ini aja, ya?” Hena ikut memerhatikan kalung itu dengan senyum merekah. “Menurut Mama gimana?” ia mengerling pada sang ibu yang juga menancapkan netranya pada Anin.

“Bagus,” gumam Nirmala pelan, sementara bibirnya melengkungkan senyum kecil sambil melangkah menuju kedua anak perempuannya. “Gimana, kamu suka ‘kan?” pandangannya berpendar bahagia, turut menyentuh kalung di leher sang putri. “Cantik sekali, Nin.”

Diam-diam, Anin merasakan perasaan itu lagi. Kehangatan yang tiba-tiba menyusup melalui sela-sela hatinya yang beku. Biasanya, Anin pasti akan menepis perasaan tersebut sesegera mungkin. Buru-buru mempertebal dinding Namun, psikolog itu bilang, jangan pernah mencoba menghalau perasaan-perasaan itu lagi.

Sebab, susupan hangat yang merambat ke jiwanya adalah bentuk nyata dari kasih sayang yang pelan-pelan di terima oleh hatinya. Dan sebagai bentuk dari usahanya untuk benar-benar sembuh, seharusnya ia tak boleh menghindar lagi.

Pelan-pelan, dirinya harus terbiasa. Agar ketika limpahan kehangatan menerjang dadanya, ia tak lagi takut tuk menggapai bahagia.

Bahagia?

Sesuatu yang selama ini tak pernah ada di angannya.

“Kamu suka, Nin?” tanya Nirmala sekali lagi.

Dan pada detik itu, Anin melepaskan gigitan di bibir. Menggangguk kaku, seraya melempar pandangan ke arah mana saja. “Suka,” cicitnya ragu pelan.

Nirmala sudah sangat mengerti. Jadi, ia tak sungkan untuk tersenyum sekali lagi. “Cocok ‘kan, sama kamu?”

Anin menyaksikan penampilannya. Masih mengenakan seragam toko, namun dengan dua kancing yang telah terbuka. Memperlihatkan kalung berkilau itu berpadu dengan kulitnya yang putih. “Aku suka.”

Biasanya, ia benci menerima hadiah. Ia tidak suka berbelanja. Dan yang paling tak bisa ia terima adalah Nirmala dan anak-anaknya.

Namun, hari ini semua adalah pengecualian. Bagaimana Anin tak keberatan diculik mereka setelah jam kerjanya habis. Digandeng oleh Rere tiap kali mereka menaiki eskalator. Tak juga mengempas tangan Nirmala yang menggenggamnya selagi mereka berjalan melewati toko demi toko. Bahkan, ketika Hena memilihkan sebuah gaun untuknya, Anin turut mencobanya juga.

Walau masih tanpa banyak bicara. Entah kenapa, hatinya merasa ini benar.

Motornya masih berada di bengkel saat ia dijemput oleh Hena yang ternyata tak sendiri. Sambil melambai-lambai penuh semangat, wanita itu memintanya masuk ke dalam sambil menunjukkan kartu kredit yang katanya adalah milik papa mereka.

“Kita bebas pakai kartu sakti ini untuk beli apa aja, Nin,” katanya diiringi tawa. “Papa lagi pengin dibikin bangkrut sama cewek-cewek katanya. Jadi, kita harus memaksimal mungkin ngelakuin itu, ya?”

Lalu, ya, di sinilah mereka sekarang.

Mengelilingi mal bersama untuk pertama kali disepanjang kehidupan. Masuk ke satu toko hingga toko lain. Mencoba beberapa potong pakaian, sepatu juga tas. Dan ditiap toko itu, pasti selalu saja ada yang mereka bawa pulang. Saat berada di toko perhiasan ini pun, semua memilih masing-masing perhiasan. Bila Anin dengan kalung, Hena dan Rere memilih jam tangan. Sementara Nirmala, membeli gelang.

Ah, jangan lupa, sebentar lagi mereka akan mengunjungi butik untuk mengambil kebaya seragaman yang akan mereka kenakan di pesta pertunangan Hena hari minggu nanti.

“Capek?”

Anin menggeleng, namun tak bisa menghentikan diri memijat betisnya yang terasa pegal. Sudah tiga jam lebih mereka berada di pusat perbelanjaan dan berkeliling begini ternyata sangat melelahkan daripada seharian bekerja di balik mesin kasir.

“Kita coba kebayanya dulu, ya? Setelah itu baru pulang,” Nirmala memijat lengan Anin sembari menunggu giliran untuk melakukan fitting terakhir. “Nanti, kamu berendam air hangat. Biar otot-ototnya rileks.”

Sejujurnya, Anin menegang mendapat perlakuan seperti ini. Ingin rasanya menjauh, atau kalau seharusnya ia mengabaikan mereka seperti biasa. Namun, jerit rindu yang bersarang dari hati membuatnya menyerah pada kebutuhan ingin disayangi. Jadi, alih-alih berlari, ia malah menyandarkan kepalanya dengan hati-hati di bahu Nirmala. “Kita makan dulu, ya, Ma?”

Air mata Nirmala sudah berada di pelupuk mata. Ia hanya perlu berkedip dua kali dan bulir-bulir keharuan itu akan merembes ke pipi. Ingin Tuhan membekukan waktu, Nirmala merasa momen ini adalah hal yang paling indah. Yang pernah ia habiskan dengan seorang Bening Anindira.

Mencoba menahan isak yang telah menggantung di tenggorokan, Nirmala membelai rambut Anin yang panjang. “Kamu pengin makan apa?”

“Apa aja.”

Nirmala mengangguk mengiyakan. Tangannya kini beralih dengan mengelus lengan Anin yang dingin karena terpaan pendingin ruangan. “Kapan konseling lagi?” tanyanya hati-hati. “Mama boleh nemenin?”

“Mama mau?”

“Mau dong,” suara Nirmala berusaha ceria.

Anin mengangkat kepalanya dari bahu Nirmala. Menatap wanita paruh baya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Matanya berpendar dengan fokus yang tak hanya di satu sisi saja. Sebuah pertanda, kalau kini ada resah yang menggantung di sana. “Walau aku anak perempuan itu? Mama udah nggak marah?”

Berbicara dengan Anin memang harus berhati-hati sekali sekarang ini. Sebab, psikolognya berkata, jiwa Anin tidak berkembang dengan baik. Ia akan berubah menjadi anak perempuan berusia sembilan tahun dengan racauan tak masuk akal sewaktu-waktu. Namun, di waktu yang lainnya, Anin akan menjelma dengan jiwa yang sesuai usia.

Dan kini, Nirmala yakin, yang berada di hadapannya adalah Bening yang terluka. Ada pekat ketakutan di matanya yang indah. Nirmala pun sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Bibirnya melengkungkan senyum lebar, sementara tangannya sibuk merapikan tatanan rambut Anin yang mulai berserakan. Anak-anak rambut mulai mencuat dari ikatannya. “Kamu anak Mama,” bisik Nirmala tegas. “Dan Mama nggak akan marah.”

“Ta—tapi,” bibir Anin bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menoleh tak tentu arah, sementara tangannya menunjuk-nunjuk seperti tengah berusaha memperlihatkan sesuatu. Jiwanya yang terguncang parah, masih belum tertata. Masih banyak lobang yang membuat sesak itu datang tanpa mampu ia cegah. “Di—dia ninggalin aku, Ma,” adunya mengerjap. “Dia ninggalin aku.”

“Mama tahu,” kata Nirmala membenarkan. “Tapi Mama nggak akan ninggalin kamu. Mama akan tetap di sini untuk kamu.”

Anin tak mengerti untuk apa air matanya mengalir. Ia tidak tahu, apa yang membuatnya dengan berani memeluk tubuh Nirmala terlebih dahulu. Dan ia sama sekali tidak paham, kelegaan seperti apa yang berdesir di dalam dadanya ketika menangis dalam pelukan wanita setengah baya itu. Tetapi satu hal yang pasti, ia merasa bahwa semua ini benar.

“Mama …”

*** 
Abis ini, kalian pengen aku repost yg mana lagi?

Btw, aku ada upload Bening di Karyakarsa yaa, kalian bisa beli lanjutan cerita ini di sana.
Part di wattpad, sampai part 40 dan Epilog ya.

Terus, ada ekstrapart sebanyak 20 part. Dan udah aku up di sana juga. Silakan kalian kunjungi akunku di sana yaa

Pilihan metode pembayarannya ini yaa

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 178K 28
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
204K 1.2K 24
[21+] Diadopsi oleh keluarga kaya raya bukan bagian dari rencana hidup Angel. Namun, ia anggap semua itu sebagai bonus. Tapi, apa jadinya jika bonus...
666K 104K 40
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
1.9M 69.6K 73
Bukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.