Dari Januari

By amidyra

101K 10.5K 520

Cause you're the one who makes my life bearable *** R 15 | Bahasa Indonesia © ami 2020 More

Prolog
Longing
Shared Bed
Broke Up
Sleep Over
Surprise
Mamanya Berulang Tahun
Satu dari Sekian
Unforgetful Concert
A Hug A Day Keeps The Doctor Away
Sleepy Hug
Bilang Dong Kalau...
Festival
Bad Day
Menghilang
Yang Penting Bersama
You Are Doing Well
Over Thinking
Hari Ulang Tahunku
Dua atau Tiga
Vacation
Monsters Under The Bed
Bearable
Pada Akhirnya
Catatan Akhir

There was time when it happened

2.7K 371 8
By amidyra


Kalau ada yang bertanya apa ada kisah sedih dari cerita kami, tentu saja aku akan menjawab ada. Karena pada dasarnya, tidak ada kisah yang sempurna termasuk milik kami.

Perjalanan backstreet alias pacaran tanpa ketahuan publik a.k.a fans The Vidays tidak sepenuhnya lancar. Selepas gosip tempo hari, ada lagi media entertaintment yang ingin mengetahui hubungan asmara Arsyaka. Merasa seperti tiada batas rahasia yang dipunya oleh public figure. 

Entah dari siapa mulanya, mereka bisa mencari kabar itu. Soal hubungan kami. Menyebarkan berita dengan jelas, Arsya mengencari seorang perempuan. Merilis foto saat kami bertemu diam-diam. 

Lantas, gosip yang menyebar itu berkembang lagi. Tak hanya wajahku, tetapi identitasku juga mulai dikulik. Puluhan artikel muncul di portal-portal infotainment. Banyak yang akhirnya memberi komentar atas statusku yang perempuan biasa. Ada yang menyangkut pautkan dengan model tempo hari, membandingkan malah.

Sedai awal, aku tahu ini risiko yang kupunya. Aku berusaha tak mengacuhkan gosip mengenai kami karena bagaimana pun, hubungan yang kujalani ini milik kami berdua, bukan mereka. Meski tak berbohong, kadang aku masih merasa sedih membaca ada banyak komentar yang jemari kerdil tinggalkan, tak pantas untuk dibaca. 

We can't rule the world, right?


Makanya untuk beberapa hari kami tak bertemu. Untuk beberapa hari pula aku pulang ke rumah. 

Membuatku berpikir soal mengapa. Apa yang salah dengan menjadi pasangan seseorang? Sebagian manusia tak penuh berpikir.

Arsyaka hanya bilang (lagi-lagi) untuk membereskan semuanya. Sedang aku di sini menimbang-nimbang kembali. 

Rasanya sesak memenuhi dadaku perlahan, akan tetapi muncul sakit ketika kutarik napas panjang. Beginikah rasa dilema?

Dari semua ini, aku melihat ayahku lebih banyak diam kepadaku. Ia tak bertanya sama sekali tentang Arsyaka atau alasan aku mengambil cuti mendadak untuk pulang. Selama ini beliau memang tidak menyoal hubungan kami. Tetapi tidak berarti pula, ia merestui. 

Mama mungkin sudah senang hati menerima hubunganku dengan Arsyaka. Lebih-lebih beliau mendukung dan sering juga bertanya kabar atau meminta Arsyaka untuk mampir kala sedang berkonser ke sini. Tetapi, papaku berbeda. 

"Kalau sesuatu itu tidak baik untukmu, lepaskan."

Di sebuah sore kami duduk di teras belakang. Mencari hawa segar dari cuaca Surabaya sebelum hujan seperti percuma. Tapi kami duduk berdua di sana, lantas ia mengucapkan kalimat itu.

"Papa pikir Arsyaka demikian?"

"Papa pikir laki-laki yang bertanggungjawab tidak akan membuatmu sedih berhari-hari seperti ini."

Papa salah mengenai hal itu. Aku sedih bukan sebab Arsyaka, tetapi hal lain. Pun apabila iya, kurasa senang dan sedih sudah jadi satu paket dalam sebuah hubungan. Kita tidak bisa menghindari kesedihan selamanya, dan menginginkan hanya hal baik terjadi. Karena hal itu tidak ada di dunia ini.

"Tapi aku sayang sama Arsyaka, Pa. Sayang banget," ujarku masih memandangi rerumputan diam. "Barangkali sama seperti papa menyayangi mama, sama seperti papa menyayangiku." Tidak ada yang tahu bagaimana mengukur perasaan, besar kecilnya tidak bisa dibandingkan karena hal tersebut sejatinya personal. Tapi aku mengatakan ini sebab aku mengerti alasannya. "Karena aku ngrasa nggak sanggup, Pa, kalau rasa sayang itu hilang."

Tak ada lagi yang bicara. Langit semakin abu-abu di atas kami. Sebentar lagi hujan dan kami merasa perlu meninggalkan teras. Papaku yang beranjak lebih dulu. Sedang kakiku masih berat, seberat perasaanku yang tak menentu ini. Hingga mama mengatakan sesuatu.

"Ada tamu buat kamu."

"Na.." 

"Ayakaa." Aku langsung memeluknya erat di pintu masuk. Tangannya mengelus punggungku pelan. 

"It's ok.. i'm here."

"Kamu kenapa ke sini? Gimana kalau-" Aku tidak jadi melengkapi kalimat. Rasanya mungkin sudah cukup berat baginya.

Ia menghela napas lelah. 

"Maafi-"

"Sttt." Aku meletakkan telunjukku di bibirnya menyuruhnya berhenti. Aku tidak mau. Dia tidak perlu minta maaf. "Bukan salah kamu, Ka."

"Tapi mereka fansku." Dia berhenti menatap mataku. 

Aku menyalakan ponselku dan membuka akun media sosialku. Sebab ia mengatakannya, aku jadi tahu bahwa ia merasa sedikit tersakiti karena ini. Jemariku menghapus akun itu di depannya.

"Sudah selesai kan?"

"Iya, tapi belum di antara kita." 

Degub jantungku mengencang. Apalagi ini? Apalagi sih Arsyaka?! Kamu jangan bilang yang aneh-aneh!

"Nggak ada yang perlu diselesaikan."

"Ada." Aku takut mendengarnya. "Mungkin kita harus berhenti mencoba..." Kata-kata itu. Kata kata yang paling benci untuk kudengar harus aku dengar sendiri dari mulutnya. Sekarang. Di depanku. Untuk kedua kali.

Dadaku kembali nyeri.

***

"Ka?"

"Hmm." Ia bangun. 

Semalam aku menangis di kamar seorang diri. Aku tidak lagi menemuinya untuk mendengar bahwa ia kemari hanya untuk mengakhiri hubungan kami. Kukira Arsyaka akan pamit pulang, tetapi ternyata ia masih di sini. Duduk di kursi kamarku.

"Kamu masih di sini." Aku memastikan kalau itu beneran dia dan bukan halusinasiku saja.

"Kamu ngingau terus."

"Oh ya? Bilang apa?"

"Bilang 'Ayaka jangan pergi'."

"Ayaka jangan pergi." Aku mengulanginya lagi supaya lebih jelas itu terdengar olehnya. 

Tangannya kemudian terulur menyentuh pipiku.

"Papa kamu benar, aku nggak baik buat kamu," ujarnya kemudian membuatku tersenyum sarkas.

"Tapi mereka nggak paham tentang kita, Ka." Tentang aku dan dia yang saling menyayangi.

"Na, aku nggak bisa nempatin kamu dalam kondisi kaya gini..." 

Air mataku mengalir pelan. 

"Jadi di sini, hanya tinggal aku aja yang pengen kita ada?" Arsyaka nggak menjawab tetapi tangannya menghapus linangan air mataku.

"Aku sayang kamu."

"Enggak, Ka. Enggak. Kamu nggak sesayang itu sama aku." 

Aku kecewa. Aku sudah tidak mengharap apa-apa lagi. Hanya dia dan dia pun menyerah.

Arsyaka tidak pernah datang lagi setelah itu. Bahkan menghubungiku saja tidak. Aku sudah kembali ke Jakarta dan bekerja. Tetapi aku juga merasakan diriku sedikit berubah. Aku tidak seceria biasanya. Atau meski aku tertawa tetapi aku merasa kosong.

Aku di rumah banyak melamun, meski tidak banyak yang aku pikirkan. Hanya.. hanya soal menjadi bahagia. I know i can't be egocentric that happiness doesn't revolve around me. Hal-hal selalu terjadi di dunia ini dan aku tidak hanya bisa mengharap akan ada akhir yang bahagia. Aku tahu aku masih bisa bahagia dengan cara lain. But the thing is, i was beyond happy, being the happiest with him. Membuatku skeptis untuk memperoleh kebahagiaan yang sama dengan cara lain.

Arsyaka dan kawan-kawannya juga menghilang. Sudah hampir mereda gosip gosip mengenai mereka. Tetapi Arsyaka tidak membalas pesanku. Bhiyan yang biasanya berisik pun juga tidak menjawab pesanku. Aku merasa nelangsa padahal tidak seharusnya. Apakah benar memang, aku hanya seseorang yang kebetulan garis takdirnya bersinggungan dengannya. Tetapi bukan untuk berjalan bersama?

Sampai suatu hari aku menjumpainya di ruang tamuku selepas pulang bekerja. Aya hanya nyengir lebar kemudian pamit undur diri tanpa bercakap lebih lanjut. Aku memilih duduk berjauhan.

"Kamu apa kabar?" Tanyanya. Kepalaku masih berusaha memproses. Untuk apa lagi ia kemari. Apakah kembali menegaskan hubungan kami yang menggantung tak pasti ini menjadi akhir yang sesungguhnya? "Kok diem aja sih? Biasanya juga masih cerewet ngirim pesan."

Kudongakkan kepalaku menatapnya. Masih diam untuk meminta penjelasan.

"Aku minta maaf. Aku tahu aku salah."

"Kamu tuh jahat, Ka," ucapku pada akhirnya.

"Maaf." Arsyaka mendekat. Ia memelukku yang tak mampu menolak rengkuhan itu.

Arsyaka telah membereskan semua. Selama ini dia menghilang untuk merapikan semua kekacauan termasuk juga menunggu agar gosip-gosip yang beredar mereda. Ia sudah berbicara dengan Mama Papanya, juga sudah berdiskusi dengan agensi apa yang terbaik buat kami. Kemarin bahkan ia datang ke rumah Mama Papaku bersama kedua orang tuanya untuk meminta maaf. Aku tidak tahu mengenai itu.

Sesungguhnya memang tidak ada kepastian dari hidup ini. Hidup mati, kaya susah, jauh dekat, sehat dan sakit. Tidak ada yang bisa dipastikan manusia. Tapi setidaknya ada hal-hal yang ingin diusahakan dengan berjanji. Ada cita-cita yang ingin dicapai: bersama. Dalam segala kemungkinan kondisi yang akan kami hadapi nanti.



Continue Reading

You'll Also Like

2K 278 16
Awalnya, Dewi Kirana tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu lagi dengan Satria Natha Moerdoko setelah sekian lama. Di situasi yang tidak terdug...
2.2M 10.3K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
177K 16 1
[Cerita Pilihan @WattpadChicklitID Bulan Januari 2023] [Cerita Pilihan @WattpadRomanceID Bulan Februari 2023] **DIHAPUS KARENA PROSES PENERBITAN** Th...
879 124 15
Bagi Delin, Dekka adalah sosok kakak yang tingkahnya sulit diprediksi karena mereka tak satu frekuensi. Usai menjadi sarjana, Dekka justru memutuskan...