Bening

By ndaquilla

1.6M 239K 16.5K

Bening tak membutuhkan telaga untuk menggenapi takdir yang dipilih Tuhan untuknya. Setelah menerima permintaa... More

P R O L O G
1. Bertemu
2. Diskusi
3. Mencari Tahu
4. Selembut Embun
5. Ketakutan Anin
6. Nuansa Bening
7. Mengalun Ribut
8. Pemain Cadangan
9. Sekarang Atau Tidak Sama Sekali
10. Mungkin Ide Gila
11. Serangkaian Ketidakpastian
12. Surprise!
13. Dia Sakit
14. Siapa Yang Kamu Sebut Istri?
15. Pengantin Baru
16. Pewaris
17. Mengulik Masa Lalunya
18. Ini Suamiku
19. Tamu
20. Panggilan Dari Mertua
21. Jangan Mencoba Sembuhkan
22. Senja Dibalik Mega
23. Post Traumatic Stress Disorder
24. Selingkuh
25. Istrinya Salah
26. Kamu Capek
27. Nama Itu Terucap
28. Bak Senja Di Mata Nirmala
29. Honeymoon
30. Agak Dingin
31. Gamang
33. Siapa Yang Jahat?
34. Affan Tidak Pulang
35. Mereka Sedang Menimbangnya
36. Mama
Bening Ebook

32. Tolong

32.9K 5.9K 331
By ndaquilla

***

“Mama seharusnya nggak repot-repot, Ma,” kata Anin pelan. Berharap ibu mertuanya tidak tersinggung. “Mama kan baru aja sembuh. Seharusnya, kami yang ke sana.”

Rike membuat raut jenaka, kemudian tertawa kecil sambil mengelus lengan menantunya. “Udah seminggu Mama keluar rumah sakit, Nin. Udah lama, ah,” katanya riang. Ia mulai membuka rantang berisi makanan yang ia masak untuk anak dan menantunya. “Kamu baru pulang kerja ‘kan? Mandi dulu aja sana. Mama bisa kok ngerjain ini sendiri.”

Anin meringis bingung. Telapak tangannya menyentuh leher, lalu mengusapnya pelan. Sebuah kebiasaan yang tak sadar ia lakukan bila berdekatan dengan orang asing yang membuatnya resah. Antara ingin meninggalkan atau benar-benar bertahan demi kesopanan. “Mama tadi kenapa nggak telpon? Mama udah nunggu lama?”

Well, saat Anin sampai di rumahnya, ia sudah mendapati ibu mertua berdiri di depan pagar di temani oleh supir. Ngomong-ngomong, Anin dan Affan sudah pindah ke rumah mereka sendiri sejak seminggu lalu. Rumah berlantai dua dengan empat kamar tidur, selesai direnovasi. Sebenarnya belum semua, taman kecil di area samping belum sepenuhnya jadi. Padahal, Affan sudah merencanakan agar spot itu menjadi tempat favoritenya dan Anin menghabiskan akhir pekan mereka, selain di kamar tidur tentu saja.

Cukup dua hari saja bagi mereka untuk menginap di rumah keluarga Anin, Affan segera memboyong istrinya menempati rumah mereka yang telah rampung. Kabar baiknya, semua selesai sesuai rencana. Dan kabar buruknya, rencana berbulan madu hanya berakhir sebagai wacana semata.

“Enggak, ah, itu Mama baru sampai kok. Masih mau pencet bel, eh tahunya kamu pulang.”

Anin masih bekerja seperti biasa. Affan tidak melarangnya, dan Anin memang butuh kegiatan. “Aku yang cuci rantangnya, Ma,” ia menahan tangan sang mertua yang sudah hendak berjalan ke westafel. “Mama udah masak, jadi biar Anin yang nyuci, ya?” hanya inilah yang biasa ia lakukan demi memupus kecanggungan.

“Oke,” Rike pun membiarkannya. Ibu tiga orang anak itu lantas menarik salah satu kursi, duduk di atasnya sambil memerhatikan menantunya lamat-lamat. Pelan-pelan ia mendesah agar tak ketahuan. Fakta mengenai sang menantu yang sengaja disembunyikan oleh putranya, cukup membuatnya terguncang. Namun setelah itu, ia malah merasa sedih.

Penderitaan yang ditanggung dalam diam oleh menantunya selama ini, membuat Rike berkali-kali meneteskan air mata. Setidaknya, setelah dengan jujur sang putra menjelaskan kondisi Anin pada mereka. Lalu merasa bersalah, ketika ia pernah berpikir bahwa Anin sengaja mengabaikan putranya.

“Nin?”

“Iya, Ma.”

Rike tahu ini sudah terlambat. Dan ia juga paham, apa yang coba ia lakukan tidak akan berpengaruh besar pada perkembangan kondisi sang menantu. Namun, ia ingin mencoba lebih dekat dengan wanita yang telah dinikahi oleh anaknya. “Affan bilang, lusa kamu libur, ya? Mama mau minta temenin kamu dong, Nin.”

Anin telah selesai, kini tengah mengeringkan tangan. “Ke mana, Ma?” tanyanya ragu-ragu.

“Ada bazaar amal, tapi kegiatannya di panti asuhan. Mama pengin ajak kamu ke sana. Soalnya Mama nggak ada temen. Dan kebetulan kamu libur ‘kan?”

Anin kontan meringis. Ia tidak pernah suka menghadiri acara-acara seperti itu. Biasanya, ia pasti sudah menolak mentah-mentah. Tapi, please, ini ibu suaminya yang mengajak. “Anin tanya Affan dulu, ya, Ma?” ia sedang mengulur waktu.

Rike menanggapinya dengan senyum lebar. Ia mengangguk senang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur menantunya yang bersih. “Kalian belum dapet asisten rumah tangga? Affan udah coba hubungi ke yayasan yang kemarin pernah Mama kasih tahu belum? Bukan apa-apa, kasian kamu, Nin. Udah capek kerja masih harus masak dan bersih-bersih lagi.”

“Dibantu Affan kok, Ma,” Anin mengatakan jujur.

Karena seminggu ini, mereka memang saling membantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Di saat Anin yang bertugas mencuci pakaian, maka Affan yang akan menjemurnya. Anin menyapu semua lantai, lalu Affan membantunya mengepel. Untuk urusan makan, Affan sama sekali tidak rewel. Mereka bisa membeli, atau memasak makanan yang mudah-mudah saja. Namun untuk kedepannya, mereka merasa perlu bantuan dari asisten rumah tangga.

Setengah jam kemudian, Rike pun pamit pulang. Anin sudah hendak mengambil remote untuk menutup pagar, saat klakson terdengar dan mobil Affan memasuki halaman. Dengan kening berkerut, Anin menanti suaminya di teras. Ingat betul ini masih setengah lima sore. “Tumben?” katanya setelah pria itu keluar dengan cengiran.

Affan tertawa kecil sambil meregangkan punggung. Ia menghampiri istrinya dan mengecup keningnya sebentar. “Mama tadi ke sini, kan?”

“Iya, baru pulang. Nggak ketemu di depan?”

Mereka bersisian memasuki rumah. “Ketemu di portal tadi.”

“Terus kamu ngapain pulang?”

“Aku pikir, Mama mau lama di sini. Makanya aku pulang. Takut kamu nggak nyaman kalau dibiarin berdua aja sama Mama.”

“Apa sih? Nggak mungkin sampai segitunya,” protes Anin setelah mendengar alasan kenapa laki-laki itu pulang.

Affan hanya mengedik, lanjut melangkah menuju meja makan. “Wuiih, semur. Aku makan, ya?”

“Nggak mandi dulu?”

“Kan tadi udah,” jawab Affan santai sambil membawa piring untuk diisi nasi.

“Kapan?”

“Tadi pagi. Kan mandinya sama kamu.”

Dan yang Anin lakukan adalah memukul lengan pria itu kuat-kuat. Tak peduli pada ringisan suaminya, Anin mencebik lantas mengambil ponselnya di dalam tas. Papanya sempat menghubungi tadi, lalu menawarkan supaya sementara ini Mbok Retno saja yang membantu-bantu mereka di rumah. Sepertinya, Anin menyukai tawaran itu.

Oh, ya, ngomong-ngomong, ponselnya telah kembali minggu lalu. Dan Anin, menuruti suaminya. Ia tidak ke mana-mana. Hanya menunggu Satria yang kemudian mengantar ponsel itu kepadanya.

Namun masih ada yang mengganggu, KTP pria itu lupa ia kembalikan. Mau menghubungi pun bingung karena tak memiliki nomor ponselnya. Jadi, untuk sementara waktu, Anin menyimpannya saja.

*** 

Anin menikmati pudingnya, duduk di belakang mencoba tak melihat panggung di depan sana. Ia sengaja memilih tempat yang tak terlihat. Enggan ikut pada euforia orang-orang yang memandang takjub sekumpulan anak yatim piyatu yang tengah melakukan persembahan berupa lantunan ayat-ayat suci. Ada yang meneteskan air mata haru, ada juga yang memandang kagum, sebagiannya lagi sibuk merekam.

Namun Anin tidak melakukan hal-hal di atas. Ia hanya tertunduk, bukan karena khidmat. Tetapi karena benar-benar ingin menghindar. Datang ke acara asing yang diisi oleh orang-orang asing pula, tentu membuatnya merasa tak nyaman. Tetapi, demi ibu mertuanya yang baik hati, ia hadir menemani.

“Lo beneran Anin ‘kan?”

Anin kontan mengangkat wajah. Keningnya berkerut, namun ia mengenali orang yang menyapanya.

“Ya, ampun, nggak nyangka bisa ketemu lo di sini.”

Anin belum ingin berkomentar apa-apa. Termasuk saat Satria mengisi tempat kosong di sebelahnya.

“Gue tadi antara yakin nggak yakin gitu deh pas mau nyapa. Soalnya lo pake selendang gini, takut salah orang gue.”

Anin memerhatikan penampilannya. Ia tidak mengenakan gamis, hanya long dres dengan lengan hingga siku. Lalu menutup kepalanya dengan kerudung yang masing-masing ujungnya ia sampirkan di bahu. Rambutnya memang masih terlihat, namun ia yakin penampilannya cukup sopan.

Ngomong-ngomong, yang menyapanya benar-benar Satria. Dalam balutan kemeja batik berlengan pendek. Pria itu memadukannya dengan jins biru dan converse. Khas anak muda yang sangat paham pada penampilan. Walau terkesan santai, Anin tahu Satria adalah orang  yang sangat memahami fashion.

“Akhirnya, punya temen ngobrol juga gue, setelah dijajah nyokap buat salaman sama temen-temennya,” kelakarnya benar-benar lega. “Btw, KTP gue masih lo ‘kan?”

Barulah Anin mengerjap. “Iya, ada samaku. Tapi nggak aku bawa.”

“Bagi nope dong, biar enak nanti kalau gue mau ambil KTP.”

Anin jelas tak keberatan, ia menyebutkan nomor ponselnya pada Satria. Dan setelahnya, pria itu melakukan panggilan ke ponselnya.

“Itu nomor gue, ya, save aja. Takutnya, lo tipe-tipe orang yang nggak mau ngangkat telepon dari nomor asing,” ujarnya santai sambil menyimpan ponsel di saku kemeja. “Lo sering, ya, ikut acara buibu rempong ini?” kelakar Satria tertawa. Karena ia harus merelakan weekendnya yang damai untuk menuruti perintah ibunya dengan ancaman tak diperkenankan mencium wangi surga.

“Ini baru yang pertama,” jawab Anin jujur. Ia berdiri, hendak mencari tong sampah untuk membuang wadah pudingnya yang telah kosong. Menyadari bahwa Satria mengikutinya, Anin hanya bisa menarik napas. Namun kemudian langkahnya melambat, ada seorang anak kecil yang tengah menatapnya takut-takut.

“Kenapa?”

Anin menghela dan membiarkan Satria mengikuti arah pandangnya. “Aku nggak suka anak kecil,” tutur Anin dingin. Apalagi ketika anak laki-laki itu terus menatapnya. Anin mulai merasa tak nyaman. “Kenapa dia ngeliatin aku terus?”

“Tuh anak kan cowok, ngerti dia mana cewek cakep,” celetuk Satria tertawa. “Hey, Bro! Lo kok nggak ikut ngaji bareng temen-temen lo?” Satria melenggang santai. Menghampiri bocah laki-laki yang mungkin baru berusia lima sampai enam tahun.

Tanpa sadar, Anin mengikuti Satria. Wadah puding ia remas di tangan. “Kamu kenal sama anak ini?”

Satria menggeleng santai. “Ini masih mau kenalan,” cengirnya jenaka.  “Ngomong-ngomong, lo cuma nggak sukanya sama anak kecil ‘kan?” ia melirik Anin penuh makna. Dan melebarkan senyum seketika saat wanita itu mengangguk. “Berarti kalau sama anak besar suka dong?” ia mengedipkan sebelah mata. “Yang kayak gue gitu,” kelakarnya tertawa.

Anin tak mengomentari ucapan itu, namun ia tak melepas pandangan mata dari betapa luwesnya Satria duduk di samping anak kecil tadi. Hanya beralaskan lantai keramik, Satria tampak tak mempermasalahkan di mana pun ia duduk.

“Nin! Sini dong, gabung sama yang ganteng-ganteng!” seru Satria tertawa. “Nih anak nggak doyan ngaji. Ya, udah, gue ajarin main mobile legends aja.”

Anin seketika mendengkus, ia melanjutkan langkah mencari tempat sampah. Ia tidak ingin membiarkan pria itu bersikap seolah mereka adalah rekan yang akrab. Yang bisa seenaknya diajak bercanda. Cukup adik-adik suaminya yang ia biarkan menyebrang batas, ia tidak mau banyak orang melakukan hal itu dan membiarkan tembok yang ia bangun sekian lama, runtuh sia-sia.

Mencoba mencari keberadaan mertuanya, Anin memanjangkan leher. Dan ibu mertunya masih berada di depan panggung bersama dengan ibu-ibu yang lain. Masih sangat excited mendengar bibir-bibir mungil anak panti mengaji. Kalau Anin tidak salah, setelah ini barulah diadakan penggalangan dana.

“Kenapa? Lo mau ke sana?”

Anin tak perlu terkejut. Karena tadi, ekor matanya memang sempat menangkap pergerakan Satria. “Anak kecil tadi mana?”

“Udah gue suruh ikutan ngaji di sono,” ia menunjuk panggung dengan dagunya. “Pinter baca Alfatihah kok dia. Cuma tadi rada takut karena banyak orang yang dateng ke sini. Kasian, umurnya masih lima tahun ternyata. Tapi badannya bongsor, ya?”

Anin tak membutuhkan informasi sebanyak itu. “Besok kalau mau ngambil KTP kabarin jamnya, ya? Soalnya, KTP kamu ada sama—“

“Bening?”

Deg.

Tolong jangan lagi!

“Eh, Om Esa? Di sini juga, Om?”

Anin tak ingin berbalik. Fakta bahwa Satria mengenal si pemanggil, sama sekali tak membuat Anin merasa takjub. Bahkan kalau bisa, ia ingin terkubur segera. Sebelum ingatan masa silam datang menghadang. Sebelum kegilaan kembali menjadi nama tengah. Dan sebelum histeris menjadikannya pusat dari tatapan iba. Tolong, siapa pun, bawa ia pergi dari sini.

“Sa—Satria, kamu kenal Bening?”

Jangan memanggilnya dengan nama itu.

Jangan biarkan jiwanya membuka luka yang masih berdarah.

Tolonglah.

“Bening?”

Anin tak ingin menyerah lalu membiarkan masa itu membawanya merana. Ia tidak mau terkapar ketakutannya lagi. Namun kenapa rasanya sulit sekali. Sambil menggigit bibir bawah yang bergetar, Anin menarik napas panjang, lalu tercekat saat ia memutuskan membalikan badan.

Berhadapan langsung dengan seseorang di masa berdarah itu, Anin tak bisa menghentikan tangisnya.

Pria itu berdiri dengan tatapan gamang. Sejuta keterkejutan bergabung dengan kelegaan ketika melihat putri dari adiknya berdiri di depan mata. Ia ingin melangkah, memandang dari dekat keponakannya. Namun langkahnya terpaku. Tepatnya, ketika wanita muda itu menyatukan kedua tangan di depan, wajahnya bersimbah air mata sementara kulitnya tampak tak berdarah. “Bening?”

Anin menggeleng, menolak nama itu disebut. “Jangan tembak aku,” bisiknya pilu. “Papaku nggak ada,” matanya sudah berkelana dan tak menemukan papanya di mana-mana. “Nanti aku mati,” gumamnya ketakutan.  “Papaku nggak di sini,” ia melangkah mundur namun punggungnya menabrak Satria. “ Tolong, jangan tembak aku,” ia menggigit bibir takut menjerit dan membuat kekacuan.

“Anin? Kamu kenapa?”

Suara Satria menyadarkan Anin dari belenggu pekat ketakutannya. Membuat matanya mencari-cari pria itu lantas dengan cepat memeluk lengannya. Netranya masih memancarkan kengerian. Dan ia bersumpah, tak lagi bisa tenang. Sembari mengguncang lengan Satria, Anin berharap pria ini membawanya pergi jauh. “Satria, tolongin aku!” suaranya mulai terdengar histeris.  Kembali ia mengguncang lengan pria itu. “Dia mau nembak aku, Sat!” ia nyaris menjerit karena sosok itu masih tertangkap oleh matanya. “Dia mau nembak aku!”

“Nin? Lo kenapa?”

Anin menggeleng panik, air mata semakin deras membasahi wajah. Sementara ketakutan benar-benar menggerus akal sehatnya. Masih mengguncang lengan Satria, Anin hanya ingin diselamatkan. “Tolong, Sat! Nanti aku mati!”

*** 

Jangan kaget deh kalo Satria ini banyak kenalannya. Wkwkwk soalnya, julukan dia dari sobat2nya tuh Agen Dunia Akhirat. Pokoknya di setiap lini kehidupan, adaaaa aja yg dia kenal

Baiklah semuaanyaa, kira2 om Esa itu siapa ya? Kok Bangsat sampe kenal?

Hihihiii see uu kaliaan semua.

Kalo next part rada lama, itu berarti eike lagi gk fit yes.

Continue Reading

You'll Also Like

43.8M 2.3M 96
SERIES SUDAH TAYANG DI VIDIO! COMPLETED! Alexandra Heaton adalah salah satu pewaris Heaton Airlines, tetapi tanpa sepengetahuan keluarganya , dia men...
4.6M 170K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2.1M 233K 43
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
584K 29.1K 44
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...