Dari Januari

By amidyra

101K 10.5K 520

Cause you're the one who makes my life bearable *** R 15 | Bahasa Indonesia © ami 2020 More

Prolog
Longing
Shared Bed
Sleep Over
Surprise
Mamanya Berulang Tahun
Satu dari Sekian
Unforgetful Concert
A Hug A Day Keeps The Doctor Away
Sleepy Hug
Bilang Dong Kalau...
Festival
There was time when it happened
Bad Day
Menghilang
Yang Penting Bersama
You Are Doing Well
Over Thinking
Hari Ulang Tahunku
Dua atau Tiga
Vacation
Monsters Under The Bed
Bearable
Pada Akhirnya
Catatan Akhir

Broke Up

5.4K 529 36
By amidyra

"Berat ya?" Dia bertanya padaku yang sedang melihat hujan yang melinang di kaca jendela. Kupalingkan wajahku menghadapnya.

Aku mengangguk.

"Kita udahan aja ya?"

Aku masih diam. 38 menit yang lalu kami sudah berbicara perihal alasan. Banyak kata-kata rancu yang diutarakan hanya karena sebenarnya, ini terlalu sulit buat kami. Begitu?

Pertemuan yang jarang karena kami sama-sama sibuk, hingga terkadang memilih untuk sendiri di waktu seharusnya kami bisa bersama. Kemudian rasa rindu pun disalah artikan sebagai kecanggungan lantaran tidak tahu, tidak bertemu cara bagaimana mengobatinya. Seperti tertumpuk, terpendam oleh berkas-berkas dan tagihan-tagihan yang butuh segera dilunasi. Aneh sekali memang usia 27 tahun.

Napasku pendek dan dangkal, terburu-buru karena sedang menahan diri. Bibir dalamku sedikit perih karena kugigit. Tidak, tidak perlu melinang, cukup hujan saja.

Kedua kalinya aku mengangguk. Meski lebih pelan dan ragu-ragu. Jika itu yang sedang kami butuhkan. Mungkin? Apa benar itu yang sedang aku dan dia butuhkan?

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Tanyanya aneh. Seperti agenda bercinta yang dibatalkan sehingga perlu mengagendakan hal lain.

"Pulang, hapus make up, dan tidur."

"Jangan lupa makan."

Aku mengangguk dan pamit undur diri. Sendiri.

"Na!"

Panggilnya sekali lagi saat aku sudah berdiri.

"Jangan menangis malam ini."

Untuk yang satu itu aku tidak mengangguk. Bagaimana mungkin?

Aku pulang dan duduk di belakang pintu. Masih terdiam belum menangis. Kau tahu aku sedang berpikir aneh beberapa saat yang lalu. Saat saat aku merasa, aku terlalu mencintainya. Seperti segala perasaan dan emosi hanya berpusat pada dia bahkan sampai aku merengek pada Tuhan untuk sedikit saja mengurangi. Oh aku tidak bercerita hal itu padanya.

Kau tahu kenapa? Karena pada saat itu aku yakin aku bahkan belum sepenuhnya mencintai diriku sendiri. Aneh. Kata orang kau tidak bisa mencintai orang lain sebelum kau mencintai dirimu sendiri. Absurd. Itu absurd karena aku ada! Aku ada!

Hal hal lucu kadang memang terjadi pada diri sendiri, biar ada alasan untuk ditertawakan. Aku melepas sepatu hak tinggiku satu persatu. Lebih pegal ternyata berjongkok di atasnya. Kulepaskan juga tas dan jam tangan yang ada di lengan. Mendudukkan diri menekuk lutut. Sekarang aku merasa lebih rileks.

"Tuhan apakah ini caranya?" Aku bertanya dan yakin Tuhan di sana sedang tersenyum. Dibuka catatan saat aku sedang menangis-nangis merindukan manusia itu kemudian berharap aku tidak mencintainya sedalam ini. 

"Tuhan kok gini caranya?" Aku merengek lagi dan yakin di atas sana Tuhan sedang tertawa. Aku menangis. Aku menangis dan karenanya tidak bisa memenuhi permintaan Arsyaka tadi. Maaf. Aku toh tidak menyanggupi.

Hpku berdering, ada telepon. Kuusap basah di pipi dan mata agar bisa membaca lebih jelas. Namanya. Perlu kuangkat atau tidak? Tidak? Apakah aku berpura-pura sudah tertidur saja? Tapi terlalu sore. Apakah aku kirim pesan saja nanti? Tetapi juga terlalu obvious kalau aku sedang menangis. "Hey aku sedang menangis!" Kuteriakkan kalimat itu pada handphone yang berdering.

"Halo."

"Halo, Na. Udah nyampe rumah?"

"Udah." Aku berjanji tidak akan menjawab lebih dari satu kata agar suaraku yang sengau tidak kentara. Janjiku pada diri sendiri sebelum mengangkat telepon ini.

"Udah hapus make up? Mandi?"

"Belum."

"Oh."

Mau apa sebenernya ia?

"Engg itu, aku pesenin gofood ke alamat kamu. Ini udah.. 7 menitan lagi. Kamu... jangan pergi mandi dulu sebelum drivernya dateng mau?"

Mau apa tidak mau. Terus kalau aku tidak mau drivernya batal ke sini gitu? Kenapa pertanyaannya suka aneh.

"Ya."

"Oke." Jeda 3 detik kali ini. Aku bernapas normal.

"Kalau gitu aku tutup ya."

"Makasih."

Jeda lagi 5 detik.

"Na, aku minta maaf." Klik.

Jangan. Katamu kau tak ingin mendengarku menangis malam ini maka dari itu jangan. Aku berdiri saat ada nomor tidak dikenal menelpon yang ternyata driver membawa pesanan dari restoran fastfood. Ada segelas besar cola dingin yang aku heran dibelikannya untukku? Padahal dia sendiri yang selama ini sibuk melarang meskipun aku menyukainya. Mungkin... mungkin ia sudah tidak sepeduli itu? Aku justru menangis lagi.

***

Bulan Februari. Sudah bulan Februari sekarang ini dan artinya sudah hampir 2 bulan sejak komunikasi kami berakhir. Oh, seharusnya bukan kami lagi mungkin aku perlu menyebutnya aku dan dia saja. Benar benar berhenti total karena mungkin, selain butuh waktu sendiri untuk menata hati masing-masing, aku dan dia juga sedang sibuk. Sibuk mengejar harta dunia karena manusia butuh makan. Hewan-hewan juga butuh makan. Maka dari itu sekarang aku suka menyetok makanan kucing di rumah meskipun aku tidak punya kucing. Aku tidak begitu menyukai kucing sehingga harus memeliharanya. Tetapi kali ini lebih sering aku membawa makanan kucing. Di mobilku juga ada, di tasku aku bungkus kecil dalam plastik. Jika bertemu dengan kucing-kucing liar di jalan aku akan memberinya. Meskipun kucingnya jelek karena kasihan sekali, mereka jelek jadi tidak ada yang mau memelihara. Rasis (?) Sekali manusia memang.

Tahu tidak itu karena aku sedang mempraktikkan self-love. Kata temanku kala itu, self-love itu akan muncul saat kamu bisa lebih tulus mencintai sekitar. That you'll find yourself kinder and more pleasant yang berujung pada, kamu akan percaya diri pada dirimu sendiri. Sayang pada diri sendiri karena kamu mampu menyayangi makhluk lain. It creates mystical happiness and positivity inside you.

Ah.. kenapa tidak kusadari ini sejak dulu? Kenapa dulu aku merasa tidak adil saat diri ini lebih mencintainya dan kenapa aku merasa tidak mencintai diriku sendiri, rasanya seperti itu. Mengherankan memang pemahaman manusia yang cetek ini. Tuhan ketawa lagi.

"Na!" Aldi dari kubikel sebelah memanggil sambil berdiri mengenakan jaket. Oh sudah sore waktunya pulang kantor.

"Hm?"

"Besok mau dibawain coklat nggak?"

"Hah?"

"Hadeeeh, kan valentine besook. Mau nggak? Gue nih baik hati peduli pada sobat-sobat jomlo kaya kalian makanya mau nawarin daripada engga ada yang ngasih. Maya mau juga nggak?"

"Eh sial!" Bukan aku yang mengumpat tapi Maya.

"Hahahaha." Aldi berlalu setelah selesai menggoda kami yang tentu saja, tawaran coklatnya aku tolak karena aku tidak suka coklat.

Hmmm valentine tahun lalu Arsyaka ngasih apa ya? Err... dried flower? Was it? Kayaknya sih kalau nggak salah ingat. Dimana ya bunga itu sekarang apa masih di dalam vas di sudut kamar? Kok aku lama nggak ngecek.
Eh, tapi kok mikirin dia lagi dia lagi. Aku merutuki isi pikiranku sendiri.

"Na!"

"Hm?"

"Pulang nggak lo bengong aja!"

Kan man, selantai udah hampir kosong akunya masih bengong mikirin Arsyaka. Bucin.. bucin.. udah putus juga ah, sedih..

"Iya ih, tungguin turunnya bareng."

"Mau langsung pulang, Na?"

"Enggak mau ke petshop."

"Beli makanan kucing?"

"Iyaps"

"Heran banget nggak punya kucing tapi beli makanan kucing rajin bener. Mending traktir gue."

"Hahahah, besok deh. Gue beliin coklat mau nggak, sobat jomlo?"

"Najis."

"Hahahaha."

Lampu sudah berganti hijau dan karena mobilku berada paling depan, aku usahakan cepat maju karena takut kelamaan bikin macet karena klakson udah nyaring padahal baru seperdelapan detik lampu berganti. Tangan manusia emang gercep kalau buat mencet benda itu. Tapi aku tidak sempat berfikir banyak lagi karena nampaknya dari arah kanan ada mobil lain yang memaksakan "hijau"nya sendiri hingga aku kemudian merasa hilang arah dalam sekejap.

Di kedipan selanjutnya aku sudah berganti posisi seperti miring? Oh aku baru saja kecelakaan. Kakiku sakit karena terhimpit rasanya. Beberapa orang kemudian datang membukakan pintu yang penyok. Aku masih sadar. Tetapi setelah berjalan keluar duniaku kemudian gelap.

Apa aku baru saja tidur? Aku tidak yakin. Tapi aku merasa bangun di tempat tidur dingin di ruangan dengan pembatas tirai kain di sisinya dan banyak orang berlalu lalang di luar? Dan ada Arsyaka di ruangan ini. Dan mas manager yang dulu aku sering lihat wajahnya tapi sedikit lupa namanya. Apa aku bermimpi Arsyaka lagi? Kenapa hari ini lucu sekali? Barangkali aku harus berhenti memikirkannya. Tidak baik memang.

"Nana?!" Dia bersuara memanggilku. Dan kepalaku berdenyut.

Aku membuka mata sekali lagi dan Arsyaka terasa dekat di depanku. Dekat sekali. Kemudian dia memelukku. Memelukku yang sedang berbaring dengan takut-takut dan pelukan yang ringan supaya aku tak kenapa-kenapa. Bisa kau bayangkan itu pelukan yang awkward sekali namun jelas kemudian aku merasa hangat. Mungkin memang benar ini bukan mimpi.

Dia melepas pelukan dan aku sedikit melihat matanya berkaca-kaca. Atau entahlah hanya aku yang sedikit lupa perihal matanya yang selalu bersinar. Dokter kemudian datang dan aku ditanya-tanya.

Malam itu aku makan disuapi dia. Belum ada yang lain. Orang tuaku sedang menuju ke sini. Aya yang menjadi teman kontrakanku memang kebetulan sedang ada business trip ke luar kota. Jika tidak ada dia mungkin aku akan bingung.

Tadi sore, manajer itu tidak sengaja lewat setelah aku kecelakaan dan mengenaliku. Memang dulu kami sempat bertemu beberapa kali, kalau-kalau sedang ada konser atau jadwal radio yang aku bisa datang. Ia lalu menghubungi Arsyaka yang bisa dilihat sekarang ada di sini. Benar-benar hari yang aneh.

"Tadi aku takut banget karena Mas Pram kirim foto mobil kamu udah remuk gitu." Oh aku baru ingat, nama manajer itu Pram.

"Oh ya? Boleh aku lihat?"

Dia meletakkan piringku di meja sebentar kemudian tangannya membuka handphone-nya dan menyerahkan padaku.

Mazda abu abu itu bahkan hampir tidak bisa kukenali lagi sebagai mobil. Pintu kanannya rusak parah, kaca depan dan sampingnya pecah. Kuakui melihat diriku yang hanya lebam saja di kaki, punggung, tidak ada tulang yang patah, membuatku mengingat kuasa Tuhan. Lain kali, kudu lebih sering bersyukur dari pada ngomel-ngomel kalau lagi bete sama kehidupan. Ckck. Hamba nggak tau diri.

"Udah." Aku menyerahkan handphone sekaligus menolak suapannya karena dirasa cukup. Sedang tidak terlalu lapar. Lagi pula kakiku bengkak rasanya sakit kalau aku makan banyak besok akan bingung gimana jalan ke toilet. Dia menyerahkan minuman yang kuteguk sampai habis. Lebih haus sekali aku.

"Kamu nggak pulang?"

"Kenapa?" Aku mengerutkan alis mendengar jawabannya.

"Kok kenapa, ya kan udah malem?"

"Terus yang jagain kamu di sini siapa?" tanyanya pelan.

Pertanyaan itu ada benarnya, meskipun jika ditinggal sendiri pun akujuga tidak apa-apa. Aku yakin ada suster yang berjaga malam. Rawat inap ini juga hanya untuk melihat apakah besok keadaanku memburuk atau tidak.

"Tapi kamu juga nggak harus jagain aku."

Ia tak harus melakukan ini. Kami sudah melepaskan ikatan itu. Meski kuakui, sulit sekali melakukannya.

"Na."

Ia menghela nafas. Aku juga.

"Lain kali kalau nyetir hati-hati ya." Katanya sambil tangannya memainkan jariku. Pandangannya juga tertumpu pada punggung tanganku yang oh, aku juga baru sadar, ada beberapa luka goresan. Mungkin terkena pecahan kaca mobil.
"Jangan bikin orang lain khawatir."

Ia melihatku.

"Jangan bikin aku khawatir."

Aku diam. Diam karena sesungguhnya sedang mengira apa saja syarat-syarat khusus seseorang diberi bantuan oksigen karena rasanya aku sedang butuh sekarang. Dadaku sesak.

"Hei, jangan nangis." Aku juga tidak tahu kenapa muncul linangan bening di pipiku, yang tentu saja diusapnya pelan. Pelan dan lembut sekali.

"Arsyaka."

"Hmm?"

"Kamu bisa nggak sih nggak kayak gini?"

Ia terdiam.

"Bahkan sampai sekarang aku masih sayang kamu, kamu bisa nggak sih jadi orang yang lebih mudah untuk dilepaskan?"

Aku terisak. 

Malam itu aku membeberkan isi pikiranku. Betapa yang kujalani, hari-hari yang kulalui untuk sekedar melepaskan itu tak pernah mudah kurasakan. Hati yang patah belum genap kurawat lukanya. Dan menghilangkan kasih sayang tak semudah menghapus papan tulis. Karena barangkali ia sempat menulis cintanya itu melalui spidol permanent, atau aku yang menuliskannya. 

"I'm so sorry," cicitnya pelan.

Mungkin kita semua sempat hilang. Untuk membandingkan mana yang lebih mudah atau lebih sulit. Menjalani kisah cinta ini, atau tidak menjalaninya.

Maka ia mencoba berkata,

"Aku juga masih sayang sama kamu. Kita coba lagi, yuk?"

***

Continue Reading

You'll Also Like

5.1K 390 16
Kisah cinta Donghyuck dan Renjun yang terus tarik ulur. Banyak masalah yang mereka lalui. Apakah pada akhirnya mereka bisa bersatu? #🔞 #Hyuckren #BX...
24.5K 1.3K 33
"You're sirius in my life, Ra. No matter how bright others are, you shine the brightest to me." *** Ada suatu garis yang bernama cakrawala. Garis cak...
2K 278 16
Awalnya, Dewi Kirana tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu lagi dengan Satria Natha Moerdoko setelah sekian lama. Di situasi yang tidak terdug...
1.4K 204 9
Apakah rumah tangga mereka akan hancur? atau akan berlanjut harmonis seperti yang mereka harapkan? Dirga & Elya. Dua orang yang dipersatukan oleh ik...