High School Examen [Completed]

By Southern_South

1.4M 142K 10.9K

Dari 5.000 murid Hanya 50 yang lulus Di saat puluhan ribu orang harus mengikuti ujian masuk dengan persentase... More

i
P r o l o g
BAB I - 01
BAB I - 02
BAB I - 03
BAB I - 04
BAB I - 05
BAB I - 06
BAB I - 07
BAB 1 - 08
BAB I - 09
BAB I - 11
BAB I - 12
BAB I - 13
BAB I - 14
BAB I - 15
BAB I - 16
BAB I - 17
BAB I - 18
BAB I - 19
BAB I - 20
BAB II - 21
BAB II - 22
BAB II - 23
BAB II - 24
BAB II - 25
BAB II - 26
BAB II - 27
BAB II - 28
BAB II - 29
BAB II - 30
BAB II - 31
BAB II - 32
BAB II - 33
BAB II - 34
BAB II - 35
BAB II - 36
BAB II - 37
BAB II - 38
BAB II - 39
BAB II - 40
E p i l o g
01 | E-mail
02 | E-mail
03 | E-mail
04 | E-mail
05 | E-mail
06 | E-mail
V i s u a l
V i s u a l N o n - M C
?
Dari Giona [Old Version]
Dari Gabriel [Old Version]

BAB I - 10

24.4K 3.6K 245
By Southern_South

*

*

*

GIONA MENGIRIM SOPIRNYA untuk menjemputku ke Royal Hostel. Tentu saja dia tidak ikut. Alhasil, aku sendirian di kursi belakang sepanjang perjalanan ke hostel termegah itu. Dari kejauhan, bangunan itu tampak tak ada bedanya dengan kastil modern—berdiri kokoh di puncak bukit, menjulang hampir 100 meter ke angkasa. Ada menara silinder dengan puncak berbentuk kerucut di sana. Sayap kiri dan kanannya masing-masing memiliki tembok panjang menyerupai tembok raksasa Cina di mana permukaan atasnya digunakan sebagai jalur untuk menuju ke pelataran. Sementara itu, di bawahnya terdapat deretan pohon palem dan kolam raksasa buatan dengan semburan air mancur yang ditingkahi permainan cahaya berwarna-warni. Jelas sekali, E-Hostel kalah telak.

Kendaraan ini mengantarku sampai ke pelataran. Aku terdiam di hadapan gerbang belakang yang terbuat dari logam. Memang kurang ajar. Aku dibawa ke pelataran belakang hostel. Pelataran luar, pula, yang sesungguhnya tidak termasuk ke dalam area hostel. Agak kesusahan, aku mendorong pintu baja besar di hadapanku. Pintu terbuka sedikit, menciptakan celah kecil yang kugunakan untuk mengintip ke dalam.

Aku kehabisan kata-kata ketika melihat apa yang terjadi di hamparan rumput hijau yang luas itu. Dua orang perempuan dengan kaos masing-masing bertuliskan 'Yuri' dan 'Natasya' sedang memegang stik golf. Karena mereka tampak santai, jadi aku berasumsi mereka baru saja pulang dari lapangan golf atau sebaliknya meskipun yang terakhir ini agak meragukan. Terpaut beberapa meter dari mereka, ada dua orang laki-laki sedang bermain anggar. Desing pedangnya yang beradu mengisi kesunyian malam.

"Gauvan maju jangan mundur terus!"

"Cazqi! Kau terlalu agresif!"

Dari suara si pelatih itu akhirnya aku mengenal nama kedua lelaki tersebut—salah satunya sudah tak asing.

Sepertinya hostel ini seru. Walaupun sudah malam, tapi masih ramai dengan aktivitas latihan seperti ini. Sempat berpikir apakah latihan itu wajib atau tidak, tetapi setelah melihat sekumpulan orang di atas karpet piknik, kurasa jawabannya tidak. Kedelapan atau mungkin sembilan orang di sana—sangat jauh sampai wajah-wajahnya tak kelihatan—sedang menikmati makanan entah apa yang dibawakan oleh para pelayan. Enak sekali hidup mereka.

Sejauh ini aku baik-baik saja mengintip mereka dari kejauhan. Sampai pada akhirnya aku melihat seseorang berjalan dengan singa putih mendekati kumpulan orang yang sedang makan-makan. Singa jantan bersurai lebat. Aku yakin itu. Lelaki yang membawanya menjatuhkan gumpalan daging segar ke mulut singa yang menganga. Aku menggosok mataku, takut itu hanyalah ilusi. Namun, nyatanya benar. Hanya luar biasanya, orang-orang di sana kelihatan biasa-biasa saja meskipun singa itu berjalan-jalan di sekitar mereka. Royal Class memang betulan gila.

"Hei! Ada yang mengintip, ya?"

Gawat. Yuri menangkap basah kelakuanku. Padahal celah ini amat kecil. Aku berdeham dan berusaha bersikap setenang mungkin. Kudorong pintu hingga terbuka lebar. Hanya Yuri dan Natasya yang menyadari kehadiranku. Yang lain terlalu jauh—termasuk gerombolan orang dengan singa putih itu. Aku tak berhenti merapalkan doa agar singa itu tidak berani mendekat padaku barang satu langkah kecil saja.

"Aku bukan mengintip. Agak kesusahan membuka pintu ini."

Natasya memalangi jalanku dengan stik golf. "Kau Jane, 'kan? Mengapa tiba-tiba ke sini?"

Aku menghela napas, mendorong stik golf itu jauh-jauh. "Ada perlu dengan Giona. Biar cepat, tolong tunjukkan dia di mana!"

Natasya dan Yuri saling pandang. Tampaknya mereka tak percaya.

"Aku serius. Aku bahkan sampai di sini diantar sopirnya."

Akhirnya mereka membiarkanku masuk dan menyuruhku menunggu Giona di teras belakang hostel. Syukurlah, teras itu menjauhi kumpulan para anggota Royal Class. Kakiku melangkah panjang-panjang agar cepat tiba di teras sebelum orang-orang itu menyadari kedatanganku dan yang terpenting sebelum singa putih yang menyeramkan itu melihatku.

Aku sampai di depan teras granit dengan lima anak tangga yang memisahkanku dengan pintu belakang. Derit pintu raksasa yang penuh ukiran itu membuatku kaget. Pintu terbuka lebar. Beberapa anggota Royal Class keluar dan berdiri memperhatikanku. Agak kaget mendapati mereka memakai seragam Gateral di malam hari seperti ini. Mereka kelihatan superior dengan formasi berjajar yang membuatku merasa diintimidasi. Sedetik mereka saling pandang lalu satu per satu bubar menuju halaman. Mereka berpencar entah akan ke mana. Hanya senior berambut kemerahan dan senior berkulit hitam manis yang masih berdiri di depanku.

"Tamunya Giona?" tanya si rambut merah dengan sebelah alis terangkat. Di jasnya tertulis Raquella Kent. Sementara yang satunya lagi Amanda Joe.

"Ya. Di mana dia?" Aku naik ke teras.

"Di kolam air panas. Dia baru saja selesai latihan memanah," jawab Amanda ramah.

Sementara, Raquell menatapku tak suka dan berkata, "Baik sekali Giona sampai meminta izin agar kamu bisa masuk ke tempat eksklusif ini. Kamu senang?"

"Ini hanya hukuman." Giona mengambil alih sebelum aku sempat menjawab. Gadis itu datang membelah posisi Raquell dan Amanda. Ia berdiri di tengah-tengah dengan setelan piyama biru tua. Rambut pirang gelapnya yang bergelombang dibiarkan terurai. Wajah segarnya menandakan ia memang baru saja selesai mandi. Ini pertama kalinya aku melihat dia tanpa seragam Gateral. Tampak natural, dan entah versi ini atau versi formal yang aku suka. Aku merasa tidak waras memikirkan ini. Akhir-akhir ini aku sering berkhayal menjadi dirinya—dipuja, dihormati, diinginkan. Tak peduli kau membosankan dan menyakitkan—sikap Giona kurasa begitu—orang-orang akan tetap mencintaimu.

"Kau sudah selesai lagi?" Amanda heran. "Kukira kau baru saja selesai latihan."

"Sudah dari tadi, kok." Giona tersenyum tipis.

Senior berambut merah itu kembali menatapku. "Kau kenapa diam saja? Terlalu senang, ya, bisa merasakan sensasi menjadi anggota Royal Class?"

Hei. Apakah dia tak senang aku ada di sini? Nada bicaranya menyiratkan itu.

"Biasa-biasa saja, sih," jawabku malas.

"Cih! Dasar gengsian! Begini, sebelum masuk, jawab dulu pertanyaanku. Kalau gagal, kau harus angkat kaki." Raquell tersenyum miring. "Bagaimana, Giona? Hanya saja, dengan syarat kau juga harus ikut menjawab." Dia beralih menatap Giona. Sementara orang yang ditanya malah bersandar malas di tiang raksasa sembari melipat tangan dan menjawab 'boleh'.

Raquell menunjuk Amanda untuk memperhatikanku sementara ia akan memperhatikan Giona.

"Oke. Jane, sebutkan 200 digit pertama bilangan pi bersamaan dengan Giona yang menyebutkan 200 digit pertama bilangan euler!"

Mulutku terbuka lebar. Dua ratus digit bilangan pi. Raquell ini ternyata sangat menyebalkan. Namun, karena Giona telah mulai, aku pun mengikutinya.

Giona menyebutkan "2,71 8281 8284 5904 5235 ...." Tanpa hambatan. Dan aku kesulitan menerjemahkan kalimat "How I want a drink, alcoholic of course, after the heavy lectures involving quantum mechanics." ke dalam angka. Aku begitu lambat dan pengucapanku terputus-putus. "3,1415 ... 926 ... 5 ... 358 ... 9 ... 79." Dan sudah, hanya sampai sana aku menunjukkan keidiotanku. Sementara Giona terus berlanjut pada deretan angka yang kemungkinan tak berujung.

"3602 8747 1352 6624 9775 7247 0936 9995 9574 9669 6762 7724 0766 3035 3547 5945 7138 2178 5251 6642 7427 4663 9193 2003 0599 2181 7413 5966 2904 3572 9003 3429 ...."

Jujur saja, aku sampai lupa menutup mulut, padahal aku sudah selesai. Lagiapula mana mungkin aku menghafal 200 digit pertama pi? Apa gunanya? Hal terbaik yang akan kudapatkan paling hanyalah pujian orang. Namun, Giona berbeda, dia memiliki ingatan yang sangat kuat. Dia tentu saja tak perlu bersusah payah untuk mengingatnya. Aku menyaksikan bukti nyata secara langsung dari apa yang dikatakan Gabriel tentangnya. Telingaku terus dan terus mengikuti setiap angka yang keluar dari mulut Giona.

"... 5260 5956 3073 8132 3286 2794 3490 7632 3382 9880 7531 9525 1019 0. Selesai."

Aku berdecak kagum. Dia berhasil tanpa kesulitan menyebutkan semua itu hanya dalam waktu 1 menit 20 detik. Sekilas terpikir olehku, mungkinkah dia berbohong? Mungkinkah dia menyebutkan deretan angka asal? Dia tahu aku tidak hafal, tapi ... yeah, mungkin Raquell dan Amanda hafal. Mereka juga Royal Class. Giona pasti benar-benar hafal. Ada kemungkinan saat gadis-gadis normal lain berkumpul membicarakan skandal terpanas, apapun yang sensasional, mereka malah membicarakan topik yang tak tersentuh orang-orang.

"Yap! Jane gagal dan Giona berhasil! Kalau tak kubatasi, dia bisa saja terus mengucapkan bilangan euler sampai besok pagi." Amanda tertawa disusul seringaian dari Raquell.

"Tidak juga. Lagian, semua itu dihafal dan mengingat adalah tingkatan terendah dalam berpikir. Tak ada yang luar biasa."

Amanda mengelus-elus rambut Giona seperti mengelus kucing. "Kau memang tak akan pernah puas, Giona. Standarmu terlalu tinggi."

Aku tak mau mendengar pujian-pujian lebih lanjut yang ditujukan kepada Giona, sementara keberadaanku tak dianggap. Dan bisa jadi, arah percakapan akan berubah menjadi ejekan yang ditujukan padaku.

"Kalau begitu, aku bisa pulang sekarang, 'kan?"

Mereka menatapku.

"Kenapa pulang?" Giona melihatku seakan-akan aku ini orang aneh. "Ayo angkat kakimu! Kak Raquell hanya menyuruhmu untuk melakukan itu kalau kau gagal. Betul, 'kan?"

Amanda menertawakan kebodohan temannya dan mereka berdebat sengit untuk beberapa saat sampai akhirnya Raquella mengalah. "Baiklah, kau benar," katanya malas. "Sudah masuk sana! Dengan melangkah saja kakimu akan terangkat, kok."

Sambil menertawakan Raquell, Giona menarik lenganku ke dalam.

"Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri!"

Dengan senang hati orang itu melepaskan pergelangan tanganku dan aku berjalan di belakangnya.

Meski yang kumasuki ini adalah bagian belakang yang tampak kosong—tak ada furniture, materialnya sudah cukup merepresentasikan kemewahan. Dindingnya berlapis tembok marmer berwarna gading. Ada tiang-tiang besar yang kokoh dan lampu gantung kristal yang besar.

Giona membawaku ke ruangan pribadinya. Ruangan bergaya victorian ini memiliki beberapa bagian layaknya unit apartemen. Semuanya dibalut material mewah. Dindingnya dilapisi wallpaper berpola megah dengan warna lavender. Langit-langitnya dihiasi kandelir mewah. Setiap furniturnya diberi ukiran mendetail yang diadaptasi dari abad pertengahan Kerajaan Inggris. Karpetnya besar, begitupula dengan gorden rumbai yang menjuntai. Aku disuruh duduk di sofa dengan sandaran tinggi bak kursi raja, sementara si pemilik ruangan menelepon pelayan hostel untuk mengantarkan makanan.

"Kita akan belajar apa?" Tanganku mengaduk-aduk green tea latte dengan sedotan. Bosan karena sedari tadi Giona duduk di seberangku sambil memainkan ponsel. Sangat menyebalkan karena aku tidak bisa melakukan hal yang sama.

"Kata ibuku, kau bagus di matematika." Giona mematikan ponselnya dan mengambil buku Molecular Biology of the Cell karangan Bruce Alberts. "Namun, kau lemah di semua pelajaran lainnya."

Oke. Itu menyakitkan.

"Jadi? Jangan bilang kita akan membahas semua mata pelajaran malam ini." Aku bersandar lemas ke sofa. Melelahkan kalau harus seperti itu.

"Tidak." Tangan Giona menarik buku tebal berjudul Fundamental Physics karangan Halliday. "Kita akan membahas kinematika."

Punggungku lompat dari sandaran. "Fisika?!"

***

Aku belajar dengan Giona selama berjam-jam hingga larut malam. Mulutku terus bertanya kapan dan bagaimana aku pulang, tetapi dia tidak menghiraukan, dan sekalinya menjawab, paling dia berkata, "Diam! Aku harus melakukan apa yang ibuku suruh."

Apa yang ibuku suruh. Seakan-akan dia melakukan ini karena terpaksa. Kalau tak ingat bahwa aku butuh, aku bakalan minggat saja.

Pukul 11 malam, Giona membereskan semua buku-buku yang kami pakai. Aku tak berinisiatif membantunya karena aku adalah tamu dan lagipula dia tidak menyuruhku.

"Kau menginap saja, aku tak enak menyuruh sopirku mengantarkanmu pulang."

"Apa aku tidur di sofa?"

"Di kamarku saja. Kalau kau mau, kau bisa tidur sekarang. Aku masih punya banyak tugas."

Ini masih pukul 11.30 malam dan tentu saja aku belum mengantuk. Jadi, di kamarnya Giona, aku cuma berselimut tidak jelas sembari menonton tayangan televisi. Lama-lama itu membosankan. Aku turun dari ranjang untuk melihat-lihat barang di kamar ini. Setidaknya, aku bisa menebak personaliti Giona seperti apa dari koleksinya. Namun, tak banyak yang bisa kutemukan. Semuanya bersih dan pasti Giona memiliki penyimpanan khusus untuk setiap jenis barang sehingga semuanya tertutup rapi tanpa harus berantakan di luar.

Aku kembali dengan tangan kosong ke pinggiran ranjang. Sudut mataku yang lelah menangkap laci nakas yang sedikit terbuka. Aku hendak menutupnya, tapi sisi kurang ajarku muncul. Kutarik laci itu keluar dan tampaklah sebuah buku catatan dengan sampul kulit sintetis bergambar Disney. Aku membukanya. Kukira itu adalah catatan belajar Giona, tapi tidak. Itu adalah catatan milik anak kecil—sepertinya.

"Ini buku milik si—" Pertanyaanku berhenti saat aku menemukan satu halaman berisi gambar dua orang anak perempuan yang wajahnya kabur tercorat-coret. Gambar yang terlalu bagus untuk ukuran hasil karya anak kecil, kecuali bila ia memang dilatih untuk hal itu, sepertiku. Aku bisa menilai kualitas gambar itu, coretan tak akan berpengaruh. Itu terpisah dari sesuatu di belakangnya. Berbeda.

Aku membuka halaman-halaman selanjutnya. Ada banyak coretan nama serupa di sana. Alexa. Chris. Alexa. Chris. Dua nama itu tertulis beberapa kali. Buku ini menarik paksa pikiranku untuk mundur ke masa lalu, mengeluarkan memori yang terbengkalai dan hampir saja terhapus dari ingatanku. Putaran kejadian di mana aku mengajari seseorang berhitung sementara aku diajari membaca olehnya, tergambar jelas. Namun, tidak dengan gambaran wajah orang tu.

"Kau belum tidur?"

Aku terperanjat kaget. Giona masuk ke kamar dan memergokiku sedang membuka buku catatan ini.

"Kenapa kau melihat barang-barangku?" Giona merebut buku itu dariku.

Aku memandanginya dalam diam. Berusaha mencocokkan setiap garis wajahnya dengan gambaran kasar wajah orang yang ada di masa laluku. Momen di mana kami merayakan ulang tahun bersama muncul amat samar. Itu hampir 12 tahun yang lalu. Potongan kejadian lama itu tiba-tiba berdatangan secara acak dan membingungkan. Namun, kesimpulannya dengan keras kepala mengatakan bahwa Alexa di sana adalah aku.

"Kau Chris?" tanyaku ragu. Kuharap jawabannya 'tidak'.

Terjadi jeda yang cukup lama sebelum Giona menjawab, "Iya."

Bibirku tertutup semakin rapat.

"Namaku." Giona menunjukkan kover buku catatannya. Giona Christavia Osvaldo.

Mulut dan mataku terbuka lebar berbarengan. Giona, Paul Marvin, Chris. Sulit memercayai dan menerima bahwa mereka adalah orang yang sama. Aku mengagumi Paul Marvin, jelas, dan membenci Giona di awal, tetapi aku sangat menyayangi Chris. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya ... diam. Sibuk dengan pikiranku. Andai aku tahu Giona adalah Chris, aku tak akan melakukan hal buruk yang telah kulakukan padanya.

"Kenapa?" Giona mendekat, duduk di tepian ranjang sembari memperhatikanku.

"Kenapa kau tak bilang siapa dirimu sebenarnya?! Kalau aku tahu kamu sahabatku dulu, aku tidak akan kasar." Kubentak dia dengan bentakan yang terasa canggung.

"Kupikir kau melupakanku, kau juga ... membenciku, 'kan? Jadi tak mungkin aku bilang yang sebenarnya."

Kalimatnya membuatku merasa semakin bersalah. Semakin buruk, tapi aku tak mampu berkata apa pun.

Giona membuka catatan itu lembar demi lembar. "Ibu mengundangmu ke Gateral agar aku punya teman dekat. Dia sangat selektif, aku hanya diperbolehkan bersahabat dengan anak dari orang penting, seperti Maggy, tapi aku tak menyukainya. Dia posesif dan sering sekali memamerkanku. Aku sangat terkejut ketika tahu bahwa murid undangan itu adalah 'Alexa'. Dan lebih terkejut lagi melihat sikapmu. Sebenarnya aku ingin membalas, tapi karena kau adalah Alexa, aku menahannya. Dan soal tamparan itu, aku sungguh minta maaf."

"Kau serius bicara sepanjang itu?"

Giona tertawa, dan ini adalah pertama kalinya bagiku melihat tawa Chris yang sudah beranjak remaja. Seketika aku membandingkan tawanya dengan tawaku, lebih manis siapa, tetapi aku merengut setelah sadar Mama seringkali mengomentari tawaku yang terlalu membahana.

"Sudah malam. Kau harus tidur." Giona merangkak ke kasur dan tidur membelakangiku. "Aku duluan, ya. Jangan lupa lampu utamanya matikan. Selamat malam, Jane."[]

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 287K 48
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’ "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
3.5M 167K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
2.3M 73.4K 74
NOVEL BISA Di BELI DI SHOPEE FIRAZ MEDIA "Bisa nangis juga? Gue kira cuma bisa buat orang nangis!" Nolan Althaf. "Gue lagi malas debat, pergi lo!" Al...
25.9K 10.3K 46
[COMPLETED] ________________________ - the mission behind the lie, and guess who's telling the truth! Mari memasuki dunia Victory High School, dimana...