High School Examen [Completed]

By Southern_South

1.4M 142K 10.9K

Dari 5.000 murid Hanya 50 yang lulus Di saat puluhan ribu orang harus mengikuti ujian masuk dengan persentase... More

i
P r o l o g
BAB I - 01
BAB I - 02
BAB I - 03
BAB I - 04
BAB I - 05
BAB I - 07
BAB 1 - 08
BAB I - 09
BAB I - 10
BAB I - 11
BAB I - 12
BAB I - 13
BAB I - 14
BAB I - 15
BAB I - 16
BAB I - 17
BAB I - 18
BAB I - 19
BAB I - 20
BAB II - 21
BAB II - 22
BAB II - 23
BAB II - 24
BAB II - 25
BAB II - 26
BAB II - 27
BAB II - 28
BAB II - 29
BAB II - 30
BAB II - 31
BAB II - 32
BAB II - 33
BAB II - 34
BAB II - 35
BAB II - 36
BAB II - 37
BAB II - 38
BAB II - 39
BAB II - 40
E p i l o g
01 | E-mail
02 | E-mail
03 | E-mail
04 | E-mail
05 | E-mail
06 | E-mail
V i s u a l
V i s u a l N o n - M C
?
Dari Giona [Old Version]
Dari Gabriel [Old Version]

BAB I - 06

29K 4.2K 221
By Southern_South

*

*

*

AKU MENDENGARNYA. Sesuatu yang kucari. Dia menyebut namaku, tetapi tak ada kehangatan di sana. Suaranya dingin, membeku di udara, dan terasa menyakitkan saat sampai di telinga. Aku ingin berlari ketika Ayah menghampiriku. Kedua kakiku gemetaran, keringat dingin mengucur di punggung dan pelipisku. Tiba-tiba, kakiku enggan berlari—sesuatu yang lumrah terjadi ketika tubuhmu ingin bergerak cepat, dirimu malah lumpuh.

"Kelas seni lukis tidak menerima murid bernama Jane."

Aku berusaha mencerna apa yang Ayah katakan. Mengapa? Apa karena tindakan bodohku di hari pertama? Apa karena aku adalah anaknya? Apa dia mengenalku?

"Kau mengenalku?"

Ayah melontarkan pertanyaan yang sama.

Iya. Tentu saja aku mengenalmu. Kau adalah ayahku. Aku ingin menjawab begitu, tapi lidahku betul-betul kelu dan entah mengapa aku merasa tak memiliki hak untuk menjawab demikian. Perasaan asing yang melarangku.

"Siapa aku?"

"Kepala sekolah."

"Kepala sekolah." Dia mengulangi jawabanku dibubuhi senyum sarkastis di ujungnya.

Sejujurnya aku ingin menjawab 'Ayah', tapi bahkan, mengatakan 'kepala sekolah' saja sudah segugup itu. Aku merasakan banyak hal aneh bercampur aduk, antara bahagia dan marah sekaligus, tak tahu mana yang paling dominan. Namun, yang jelas, aku ingin memeluk dan ingin memukulnya di waktu yang bersamaan. Aku memang senang bisa melihatnya, bertemu dengannya, berhadapan, saling cakap, bicara. Tapi aku tidak suka nada ketus dan dingin itu. Hal yang membuatku merasa tak pernah diharapkan dan tak seharusnya ada.

"Aku sudah mengatur jadwalmu. Kau kudaftarkan ke kelas teater, panahan, dan musik."

Mataku membulat. Deretan kelas itu akan memperpadat jadwal, menguras energi, dan menambah tekanan. Aku selalu tertekan dengan segala keteraturan. Entah keberanian dari mana, aku menatap tajam ayahku. Dari jarak sedekat ini, jelas sekali dia sangat mirip denganku. Aku mewarisi cukup banyak sifat genetik darinya dan ini agak menyebalkan.

"Aku tidak mau. Aku hanya akan mengikuti kelas melukis!"

"Mengikuti jejak Alexander Fausto, huh?"

"Ya," tegasku.

"Aku ayahmu."

Dunia tiba-tiba berhenti. Aku tak tahu harus menjawab apa ketika dia mengakui bahwa dirinya adalah ayahku. Aku diam. Otakku melamban, kebingungan. Ada ledakan bahagia karena ternyata aku tak dilupakan seperti yang kukira. Namun, kebahagian itu praktis terhapus oleh pertunjukan pertamanya, otoritas yang tak boleh dibantah.

"Aku sudah mendaftarkanmu ke kelas sekunder yang sesuai dengan pilihanku. Kau boleh mengikuti kelas melukis kalau tidak kelelahan, asalkan kau mengikuti kelas yang kupilihkan." Aku tersenyum miris. Ini baru hari kedua, padahal. Namun, Ayah sudah berani merenggut kebebasanku. Dia sangat berbeda dengan Papa.

"Aku tidak akan menghadirinya!" Tak kusangka sisi pemberontakku akan keluar terang-terangan.

Raut wajah ayahku berubah gelap. Aku meneguk ludah, menyiapkan diri untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

Di luar dugaan, ayahku justru tersenyum. Senyum yang terasa mengerikan di situasi salah semacam ini. Dia membungkuk dan menepuk puncak kepalaku. Amat dekat hingga aku bisa menghirup embusan napasnya. Sesuatu yang seharusnya tak asing, termasuk sentuhan singkat itu. Hal-hal kecil yang telah menghilang selama belasan tahun itu membuat darahku mengalir lebih cepat.

"Kau tak seharusnya mengikuti jejak papa tirimu. Aku ayahmu. Aku yang akan menentukan masa depanmu. Lagipula, kau harus memperbaiki citramu yang sudah rusak. Kau harus menjadi yang terpintar dan paling berbakat di Gateral sebelum orang-orang mengetahui kau adalah anakku. Karena, kalau sampai terungkap, media akan dengan mudah menyorotmu." Tubuh ayahku kembali tegak. Dia memasukkan tangannya ke saku celana. "Dan kalau sampai citraku rusak karenamu, kau akan mengalami hal yang tidak kau inginkan."

***

"Kau serius mengambil kelas sekunder sebanyak itu?" Gabriel menutup tirai kamar dan tidur di sofa sembari menyelonjorkan kaki.

Aku tersenyum masam, menutup laptop dan merenung sesaat. "Bagaimana lagi. Aku sudah telanjur mendaftarkan diri." Didaftarkan, lebih tepatnya.

"Hebat. Aku salut! Kalau begitu kau harus pandai-pandai mengatur waktu belajar dan istirahatmu."

"Hm, begitulah." Aku menjatuhkan tubuhku di kasur. "Omong-omong, Giona tidak ikut kelas panahan, ya?"

"Kau serius menanyakannya?" Gabriel terperanjat duduk.

"Hanya penasaran. Aku tidak melihatnya di kelas tadi, dan aku mensyukurinya."

"Royal Class memiliki profesor pribadi untuk pelajaran akademis. Mereka juga mendapatkan pelatih pribadi untuk minat-bakatnya."

"Benarkah? Untuk setiap orang?"

"Ya."

"Luar biasa."

Aku terdiam sebentar. Berpikir. Meski tidak akan sering, suatu saat nanti aku pasti akan bertemu dengan Giona. Dan apa yang harus aku lakukan jika itu terjadi? Meminta maaf? Jelas tidak. Tampaknya aku harus merencanakan perbuatan yang tepat sebelum pertemuan itu terealisasi agar aku bisa memperbaiki kesanku di benak semua orang. Itu sulit. Dan bahkan aku tak tahu bagaimana memulainya.

Aku ingin bertanya lebih lanjut tentang Royal Class, sepertinya kelas itu masih memendam banyak hal menarik yang belum kuketahui. Namun, Gabriel keburu membuka laptop dan mengingatkanku bahwa kami harus mengerjakan tugas dari Bastian. Tugas kimia 5 nomor esai, tentang struktur atom dan sistem periodik yang akan menjadi topik bahasan besok. Kukira ini adalah topik yang lumayan mudah. Pertanyaannya juga mendasar, dimulai dari apa itu atom dan bagaimana strukturnya. Aku bisa mengerjakannya tanpa melihat buku. Terkecuali nomor-nomor akhir. Aku membuka modul untuk menjawabnya.

Satu per satu lembaran kertas keluar dari mesin cetak. Aku mengetukkan kumpulan kertas itu ke meja, dan menjilidnya asal dengan stapler. Padahal jika kumau, aku tinggal turun ke bawah untuk meminta fasilitas penjilidan gratis. Namun, akan terasa lucu jika isinya hanya 4 lembar HVS saja. Jadi, kusimpan tugas itu ke dalam tas lalu merangkak menuju tempat tidur.

"Sudah selesai?" Gabriel masih berkutat dengan laptopnya di sampingku.

Aku hanya menggumam.

"Cepat sekali."

"Hanya 5 nomor, 'kan?" Aku menurunkan selimut dari wajahku. Mataku diam-diam mengintip layar laptop Gabriel. Dia sedang memeriksa kerjaannya, menggeser layarnya dari halaman pertama ke bawah, dan mulutku langsung menganga lebar. Sulit dipercaya bahwa dia mengerjakan tugasnya dalam bentuk makalah, lengkap dengan kata pengantar, latar belakang, rumusan masalah, dan bagian menyebalkan lainnya. Tanpa kusadari aku langsung melompat ke lantai, mengambil laptopku.

"Kenapa?" Gabriel kebingungan melihatku buru-buru memakai sandal sembari menenteng laptop.

"Aku punya banyak daftar film yang belum kutonton."

"Bukannya kita tidak bisa mengakses film?"

Bodoh. Aku berusaha menjaga raut mukaku agar tetap biasa saja. "Bisa, kok. Bukannya Gateral punya film menyenangkan yang bisa membuat kita stres?"

"Tentu saja." Gabriel tertawa. "Memutar video materi bisa dilakukan di sini, 'kan?"

"Mungkin kau akan terganggu dengan suaranya. Aku juga sedang butuh udara segar. Oh iya, kalau kau mau masak mi instan tadi, buatkan juga punyaku, ya!"

"Kau akan ke mana? Mi-nya mau kuantarkan?" Dia berteriak setelah aku berada di luar kamar.

"Jangan! Aku akan segera kembali!"

Telapak kakiku menuruni tangga dengan cepat, mengantarkanku ke halaman belakang hostel. Elevator akan membawaku ke lobi dan aku harus memutar jauh untuk bisa sampai di sini, atau mungkin sebenarnya ada jalan pintas, tetapi aku belum mengetahuinya.

Aku duduk di salah satu gazebo di pinggir kolam hias. Riak airnya lumayan bagus untuk relaksasi. Area ini dibatasi oleh gedung hostel di ketiga sisinya yang penuh dengan jendela-jendela kamar, dan satu sisinya lagi adalah benteng setinggi 5 meter yang dijadikan vertical garden.

Aku menyalakan laptop, mengecek ulang tugasku dan membandingkannya dengan milik Gabriel yang masih terbayang jelas di ingatanku. Bilangan kuantum utama, azimuth, magnetik, spin, dia mencantumkan semua itu. Bahkan sampai pada energi ionisasi dan afinitas elektron. Mungkin dia membahas lebih jauh dari itu. Dan jawaban-jawabanku? Tentu sangat idiot. Penjelasanku hanya sampai pada model atom dan tabel periodik modern. Semuanya kujelaskan dengan singkat.

Aku segera mengulangi pekerjaanku. Menyusun kover yang baik dan berpikir keras untuk latar belakang—sesuatu yang tidak pernah kubuat sebelumnya. Pelajaran bahasa Indonesia adalah hal yang aku benci dan aku biasanya menyewa teman untuk mengerjakan tugas bahasa Indonesiaku.

Malam ini aku benar-benar gila, berselancar di internet hanya untuk mencari template kata pengantar dan latar belakang yang bagus. Satu jam milikku habis untuk menyusun pendahuluan. Dan itu pun kurasa masih kacau. Satu jam berikutnya kugunakan untuk menyusun kerangka bahasan dan mencari berbagai referensi kredibel. Sulit sekali mencarinya. Aku hampir menyerah dan berniat menjawab dengan segala ide yang ada di pikiranku saja. Namun, kusadari otakku tak bisa diandalkan untuk menyaingi Gabriel. Belum lagi ada Guven dengan ambisinya yang luar biasa. Dan Megan, dan Giona, ah! Menjengkelkan.

Betul-betul semua ini sangat berat. Apalagi lagi aku harus menyelesaikan semuanya sebelum Gabriel datang ke sini menemuiku. Tidak ada jaminan bahwa ia akan terus berdiam diri di kamar, terlebih lagi dia penakut.

Tiba-tiba aku mendapatkan satu pesan di akun Gateral-ku.

Gabriella Jovanka Heesters

"Hei kapan kau kembali? Aku tidak bisa tidur sendirian."

Alexandra Berniece Jane

"Dasar penakut. Sebentar lagi."

Gabriella Jovanka Heesters

"Aku sudah selesai. Kau bisa menonton film di sini. Mi-mu dari tadi sudah matang, tahu!"

Alexandra Berniece Jane

"Habiskan saja dan tidur sana! Jangan berani-berani keluar kamar."

Gabriella Jovanka Heesters

"Kau sedang bertemu lelaki, ya? Dengan siapa? Bagian konseling akan membunuhmu besok."

Alexandra Berniece Jane

"Bunuh saja, aku tidak melakukannya."

Aku menutup kolom percakapan dan kembali mengerjakan tugas dengan lebih cepat. Kubaca referensi secara acak, berusaha memahaminya meskipun otakku sudah menegang dan mengetiknya dengan beberapa kali kesalahan.

Aku berusaha keras, sangat keras agar bisa mengimbangi Gabriel. Rasanya menyedihkan karena aku sendiri sadar belum mampu sejajar dengannya. Setiap kali kubaca ulang hasil pekerjaanku, tanganku selalu ingin membantingnya. Punyaku tidak seperti Gabriel!

Akhirnya aku diam. Menyerah. Menerima keidiotanku dengan pasrah. Terlebih tubuhku juga sudah lelah, malam sudah larut dan aku belum mengisi perutku dengan apa pun semenjak siang tadi. Rasa pusing, sakit punggung, ditambah lambung yang terasa perih semuanya bersamaan menyiksaku. Aku memejamkan mata, bersandar dengan kepala menengadah ke atas, memikirkan banyak hal. Ini baru langkah pertama dan aku sudah mendapat banyak tekanan. Orang sepertiku memang tidak sanggup menjadi bagian dari sekolah ini.

Tiba-tiba saja pandanganku buram dan kemudian sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Sial. Aku menangis. Kuusap air mata itu dengan cepat sebelum ada yang melihatku.

"Kau kenapa, Nona?"

Dan terlambat. Seorang penjaga hostel sudah telanjur menghampiriku.

"Tak apa. Mataku hanya perih menatap monitor terlalu lama, dan hoaaam ... aku mengantuk." Aku berpura-pura menguap senatural mungkin. Laptop kututup begitu saja meski aku belum sepenuhnya selesai menyempurnakan tugasku. Lagipula tak akan aku lakukan. Terlalu sulit.

"Ini ada titipan untukmu." Penjaga itu menaruh kotak makan aluminium bersusun. Makanan di dalamnya pasti masih panas.

"Dari siapa?" Dahiku berkerut penasaran.

"Dia tak mau menyebutkan namanya. Sudahlah, sekarang Nona kembali ke kamar saja. Sudah malam. Tidak boleh berada di luar selarut ini."

"Baiklah. Kuambil ini. Aku lapar."

"Oh, ada pesan juga dari orang itu."

Aku berbalik menatap si penjaga. "Pesan?"

"Ya. Katanya, jangan berusaha terlalu keras."

"Siapa dia?" Nadaku mulai menajam, seakan bakalan ada hal buruk yang kulakukan kalau si penjaga tidak menyebutkan orangnya.

"Saya tidak bisa berkhianat. Pokoknya, dia tadi memperhatikanmu cukup lama dari sana." Penjaga itu menunjuk deretan jendela kaca yang membatasi area ini dengan lobi hostel.

"Benarkah?"

"Ya. Segeralah masuk dan makan. Pintu ke dalam akan kukunci."

"Tunggu! Kau yakin ini tidak beracun?"

Penjaga hostel itu tertawa. "Tak mungkin, Nona. Pengawasan di Gateral sangat ketat. Kalau ada apa-apa biar saya yang bertanggung jawab. Sekarang masuklah!"

"Baiklah." Aku menurut, menenteng kotak makan itu ke dalam hostel dengan sejuta tanda tanya mengelilingi kepalaku tentang orang yang mengirim makanan ini. Siapa pun dia, semoga saja niatnya baik. Kalaupun ternyata dia meracuniku, semoga saja aku tidak mati. Kalau keracunan parah, aku bakal di bawa ke rumah sakit di luar pulau ini. Aku bakalan dijenguk Mama, Papa, orang-orang rumah, dan aku bisa pulang. Orang tua mana yang merasa aman membiarkan anaknya di tempat yang sudah berani meracuninya?

Ketika aku sampai di depan kamarku, aku melihat Gabriel sedang berada di pertigaan koridor. Gesturnya menandakan ia sedang bicara dengan seseorang di balik dinding lorong. Aku memperhatikannya terang-terangan. Dan saat Gabriel berbalik, mukanya berubah agak tegang.

"Kau sedang apa?"

"Mau masuk kamar. Kau bicara dengan siapa?"

"Satpam." Gabriel masuk ke kamar lebih dulu. Sejujurnya aku curiga. Kenapa cara berbicara dengan satpam harus semisterius itu?[]

Continue Reading

You'll Also Like

ACCISMUS By KIRANI

Teen Fiction

33.3K 6.3K 20
"Katanya, kematian adalah akhir yang indah dari segalanya!" - Kedatangannya, bukan tanpa alasan. Dia harus menginjakkan kakinya di sebuah sekolah ber...
6.3K 632 2
Hetairoi yang bagaikan angin monsun membawa perubahan besar pada sistem Imperium School; entah untuk mendatangkan bencana atau keagungan. Hetairoi me...
1.9M 340K 68
Kisah ini menceritakan tentang anak anak terbaik dari yang terbaik yaitu mereka yang mampu untuk masuk sekolah elit bernama TREE HIGH SCHOOL dan sebu...
88.7K 7.4K 39
[High School of Mystery 2] "Kebenaran harus ditegakkan apa pun resikonya." Kehidupan Kevin dan teman-temannya kembali terusik dengan kehadiran kasus...