Bening

By ndaquilla

1.6M 239K 16.5K

Bening tak membutuhkan telaga untuk menggenapi takdir yang dipilih Tuhan untuknya. Setelah menerima permintaa... More

P R O L O G
1. Bertemu
2. Diskusi
3. Mencari Tahu
5. Ketakutan Anin
6. Nuansa Bening
7. Mengalun Ribut
8. Pemain Cadangan
9. Sekarang Atau Tidak Sama Sekali
10. Mungkin Ide Gila
11. Serangkaian Ketidakpastian
12. Surprise!
13. Dia Sakit
14. Siapa Yang Kamu Sebut Istri?
15. Pengantin Baru
16. Pewaris
17. Mengulik Masa Lalunya
18. Ini Suamiku
19. Tamu
20. Panggilan Dari Mertua
21. Jangan Mencoba Sembuhkan
22. Senja Dibalik Mega
23. Post Traumatic Stress Disorder
24. Selingkuh
25. Istrinya Salah
26. Kamu Capek
27. Nama Itu Terucap
28. Bak Senja Di Mata Nirmala
29. Honeymoon
30. Agak Dingin
31. Gamang
32. Tolong
33. Siapa Yang Jahat?
34. Affan Tidak Pulang
35. Mereka Sedang Menimbangnya
36. Mama
Bening Ebook

4. Selembut Embun

36.6K 6.5K 225
By ndaquilla

Banyak yang takut pada gelap padahal lelap adalah kegiatan paling membahagiakan. Saat memejam, pekat merupakan bagian pertama yang menjemput. Membawa terhanyut, hingga jiwa yang pasang surut, rela melepas penat.

Namun Anin tidak berada dalam momen yang tepat untuk dibawa berkelana menuju alam semesta. Ia masih terjaga, sekali pun netranya tertutup. Tangannya telah berhenti mengelus tengkuk Affan, tetapi debar di dadanya tetap saja ribut. Ia mencoba mendamaikan hatinya yang resah dengan mengikuti permainan yang ia cipta. Awalnya, ia pikir bisa. Rupanya, sentuhan Affan pada punggung dan bibirnya cukup membuat tersiksa.

Karena itulah, Anin mencoba mundur. Ia menarik diri, berusaha menormalkan pandangannya seperti sedia kala. Ia sentuh dada Affan dan mendorongnya demi membuat jeda.

“Udah?”

Dan ketika suara Affan bersimfoni dengan sinar keemasan yang membanjiri mereka, Anin tertegun tak segera mengangguk. Ia pandangi Affan beberapa saat, menyandra irisnya yang sekelam malam dengan netranya yang haus. Namun hal itu tak berlangsung lama, segera setelah alarm siaga di kepalanya mendentingkan peringatan, Anin memutus tatapan. Ia angkat  tangannya, menghapus bekas lipstick yang menempel di sudut bibir pria itu. “Udah,” bisiknya tersenyum kecil.

Affan tertawa, ia melakukan hal yang sama pada Anin walau ekor matanya tetap waspada. “Siapa nama istrinya Cakra?”

Setelah berhasil menekan gemuruh ribut di dadanya, Anin kembali memulas senyum. Ia mencoba melirik pada sosok semampai yang kini telah keluar dari dalam mobil. Memerankan tokoh wanita yang sedang jatuh cinta, Anin pura-pura mencebik. Lalu mendekatkan kepalanya ke sisi telinga Affan dengan gerakan menggoda. “Briana,” bisiknya seraya menyematkan tawa kecil di sana. Kemudian mengerling lagi, kini Cakra telah keluar dari persembunyian. “Bisa kita selesaikan ini sekarang?” bisiknya pelan. Ia mulai tak nyaman dengan situasi yang ia ciptakan sendiri.

Affan mengangguk tak kentara, seraya merapikan kemejanya sendiri ia memundurkan langkah. Ia sedang bersiap merengkuh pinggang Anin, ketika suara Cakra terdengar mendekat.

“Bri? Kamu udah pulang?”

Otomatis atensi mereka pun berpindah.

“Oh, iya, udah.” Briana langsung berjalan mendekati suaminya, walau fokusnya tak bisa melepaskan Anin begitu saja. “Aku nggak tahu Anin punya pacar,” gumamnya yang masih bisa didengar.

Cakra berdeham seraya mencoba menciptakan gesture santai. “Affan calon suami Anin. Waktu Anin dijodohkan, kamu nggak di sini,” jelas Cakra tanpa repot-repot memerhatikan sang istri. Karena sudah jelas sekali, hujaman irisnya masih mengarah pada Anin. “Fan, ini istri gue. Kayaknya kalian perlu kenalan.”

“Nggak perlu,” sambar Anin tenang. “Kita lagi buru-buru,” ia langsung menarik tangan Affan. “Aku belum makan, Fan. Kamu bilang acara jam tujuh ‘kan? kita pasti telat.”

Menyeringai kecil, Affan membuka kunci pada mobilnya. Membiarkan Anin terlebih dahulu masuk ke dalam. Affan menyempatkan diri menoleh ke belakang, senyum simpulnya hadir sejenak demi beramah-tamah. “Lain kali, Ya, Cak? Adek lo nggak sabaran banget,” selorohnya seraya melambai sekadarnya.

“Seneng ya, cari perhatian?”

Affan hanya mengedik. Ia pakai sabuk pengaman dan mulai menyalakan mesin. Seraya membunyikan klakson tanda berpamitan, ia paku jalan di depan. “Cuma mencoba ramah sama calon keluarga.”

“Klasik,” sindir Anin mulai membuka kembali tasnya. Mengeluarkan lipstick dan cermin kecil dari dalam tasnya. “Kamu belum bersihin bibir, Fan,” tegur Anin mengangsurkan dua lembar tisu.

Affan menerimanya dan mulai berkaca lewat spion tengah. “Udah nggak ada ‘kan?”

Memerhatikan wajah Affan dengan saksama, Anin pun menggeleng. “Kok keliatannya kita enteng banget, ya, ngejalani semua ini?”

Affan mengangguk membenarkan. “Mungkin karena selama ini, kita udah terbiasa ngejalani yang berat-berat. Jadi, kalau cuma sekadar perjodohan nggak bikin kita kerepotan.” Hanya menanggapinya dengan tawa kering, Anin kembali fokus pada touch upnya. “Ngomong-ngomong, kamu belum jelasin hubungan kamu sama Cakra itu gimana?”

“Nggak ada gimana-gimana sih, dia cuma naksir aku. Pernah nekat merkosa juga, tapi untung ada papa,” Anin menjelaskan santai. Seakan kata perkosa yang ia ucap sama maknanya dengan mengatakan bahwa hari ini adalah hari Rabu.

“Cakra pernah coba perkosa kamu?” Affan nyaris berseru andai ia tidak lihai mengolah keterkejutan.

“Iya, tapi nggak jadi.”

Balasan yang luar biasa santai dari Anin membuat Affan menarik napas panjang. Ia belum ingin mengomentari, jadi, ia pusatkan perhatian pada jalanan yang merayap padat. Kepalanya menggeleng, demi mengusir kebisingin dari benaknya yang berebut ingin bertanya lebih rinci lagi. Membuka kaca mobil, Affan tertawa saat angin berebut memasuki mobilnya. “Wow, Anin. Wow, Anin,” sarkasnya mengudara tanpa ia sadari. “Dan kamu tetap bertahan di sana?”

“Aku udah berusaha keluar, tapi papa nggak ngizinin.”

“Papamu tahu kelakuan Cakra?”

“Nyaris semua orang yang ada di rumah itu tahu,” lalu Anin memilih menatap Affan lekat-lekat. “Makanya, aku nggak keberatan dijodohkan. Karena syarat aku ninggalin rumah memang harus menikah. Biar papa tenang.”

“Maksudnya?”

Anin hanya menggeleng seraya tersenyum puas. Ia mengatur sandaran kursi dan sedikit menurunkannya. “Kita punya waktu setelah menikah nanti buat ngebahasnya. Sekarang, boleh aku izin tidur bentar. Aku ngantuk banget.”

Affan mendengkus, ia lirik Anin sekilas saja. “Memangnya kamu ke mana aja dari tadi? Jam tiga sore udah pulang ‘kan?”

“Aku tidur, Fan. Orang tidur nggak bisa jawab,” sunggut Anin dengan mata memejam.

Affan mendengkus, kepalanya menggeleng sementara ekor matanya betah memerhatikan Anin yang memejam disebelah. Ia tidak tahu bagaimana cara kerja semesta, ia juga tak paham mengapa takdir membuat peran untuk mereka. Tidak ingin menebak-nebak masa depan yang telah tergaris, Affan hanya paham bahwa mulai sekarang Anin akan menjadi salah satu tokoh yang mengambil peran cukup banyak untuk alur hidupnya.

***

Anin menipiskan bibir, sementara Affan sama sekali tak merasa bersalah. Bahkan, ketika tatapan tajamnya tersemat pada pria itu, Affan hanya melipat alisnya kemudian mengedik dan mengajaknya masuk ke dalam. Namun Anin belum ingin. Jadi, ia tarik lengan Affan yang kepayahan membawa kado besar dengan kedua tangan.

“Kenapa nggak bilang kalau yang ulang tahun itu anak SMP?”

“Kamu nggak pernah nanya ‘kan?”

Anin berdecak, ia merasa sangat salah kostum ketika nyatanya ia pergi ke acara ulang tahun seorang remaja perempuan yang berusia 13 tahun. “Aku pikir yang ulang tahun umurnya udah dua puluhan. Dan ballroom ini diubah jadi arena clubbing. Bukan dekorasi warna pink  di mana-mana gini,” gumamnya dengan intonasi yang sengaja ia tekan. “Lipstikku kemerahan, Fan.”

Affan menanggapinya dengan pendaran bosan. Setengah mencebik, ia tatap Anin lekat. Matanya menyipit agar pandangannya semakin jelas. “Dihapus dikit pakai tisu aja. Atau sebenarnya nggak apa-apa lho, Nin, nggak terlalu merah,” ia sentuh bibir bawah Anin dengan tangan yang tak repot memegang kado. “Udahlah, nggak kemerahan. Pas kok. Nanti dihapus jadinya pucat. Gini aja.”

Tepat ketika kata terakhir ia ucap, deheman di belakang membuat keduanya menoleh.

Awalnya mereka bersikap biasa saja. Namun, begitu mengenali sepasang suami istri di belakang mereka, keduanya segera meringis. Refleks, Affan menurunkan tangannya. Sementara Anin, segera menyematkan senyum canggung dan berusaha menguasai diri.

“Selamat malam, Om, Tante,” sapa Anin ramah.

Sepasang suami istri itu adalah kedua orangtua Affan. Saling melempar lirikan seraya memasang senyum penuh makna.

“Pa, Ma? Baru datang juga?”

Rike lah yang terlebih dahulu mengurai kecanggungan. Ia mencubit perut anaknya, lalu memasang wajah ramah di hadapan Anin. “Wah, Anin, kamu cantik sekali. Tante hampir nggak ngenalin tadi,” ia sentuh lengan calon menantunya itu lembut. “Affan nggak nakal ‘kan?” selidiknya penuh kehalusan.

Anin tertawa kecil. Kepalanya menggeleng, sambil menimpali punggung tangan ibunya Affan dengan telapak tangannya. “Tante juga cantik banget,” katanya tulus. “Dan ngomong-ngomong, Affan nggak nakal kok, Tan,” ia kedipkan sebelah matanya membuat mereka berdua terpingkal. Lalu pasrah saja, ketika ia digandeng dan dibawa masuk ke dalam ballroom oleh ibunya Affan.

Di belakang, Affan berjalan dengan papanya, santai. Keduanya membawa kado berukuran sama besar. Isinya tentu saja boneka. Setiap tahun, Willona—sepupu Affan yang berulang tahun—selalu merequest hadiah yang diinginkan lewat undangan digital yang dikirimkan.

Tahun lalu, Willona menginginkan hadiah berupa sepatu, maka bersama dengan undangan tersebut ia juga mencantumkan nomor sepatunya. Tahun sebelumnya, Willona menginginkan satu set berbie lengkap dengan rumah-rumahannya. Dan mereka semua mengabulkan tanpa mengeluh.

Tak ada yang keberatan dengan tingkat kerewelan Willona, karena mereka semua sepakat, bahwa remaja itu berhak mendapatkan apa yang ia mau. Sebagai penebus dari rasa bersalah atas kematian ibu Willona.  Yang meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang, saat akan menghadiri meeting penting di Singapura, delapan tahun yang lalu.

“Kamu udah akrab sama Anin?”

Affan menoleh pada papanya sambil mengangguk. “Lumayan, Pa, kan mau nikah,” katanya santai. Ingin cepat-cepat menyingkirkan kado sebenarnya. Karena tangannya sudah pegal. Namun peraturan lainnya, mereka harus menyerahkan kado ini langsung pada yang berulang tahun. “Pasti rasanya aneh, tiba-tiba nikah tanpa nyoba ngenal pasangan. Makanya, Affan ajak Anin ke sini.”

Danang mengangguk menyetujui. “Tapi, kalau ada jalan buat ngebatalin perjodohan ini, Papa mohon, kamu jangan nolak, ya?” kening Affan berkerut, ia menunggu kelanjutan dari perkataan yang ayah. “Opa masih belum rela ngelepasin kamu, kalau Anin yang akhirnya nikah sama kamu.”

“Maksud Papa?”

“Yang Papa denger, Opa ngirim utusan ke Faisal. Opa mau, yang dinikahkan dengan kamu itu Hena. Karena jelas, Anin nggak akan bawa keuntungan apa-apa buat perusahaannya. Makanya, Opa lagi coba-coba untuk ngelobi Faisal lagi.”

Affan diam menyimak. Namun tak mengatakan apa pun. Netranya sedang tertuju pada punggung berselimut gaun hitam di depan sana. Sedang berbincang entah apa dengan ibunya. Suaranya tidak terdengar, tetapi segaris senyumnya mampu Affan kenal.

Wanita itu tidak secerah matahari yang menyilaukan. Tidak juga selembut embun pagi yang menyejukkan. Wanita itu adalah dingin yang menusuk tulang. Menyematkan duri bagi siapa pun yang mencoba menggenggam. Anin, jelas bukan jelmaan dewi yang kecantikannya membuat mabuk kepayang.

Wanita itu berbeda. Jelas, cantik merupakan miliknya. Tetapi, hanya sebatas itu. Karena Anin, tidak pernah mempercantik diri dengan lengkungan senyuman. Tatapannya pun tak serindang pohon di tengah terik yang memabukkan. Sebab, Anin adalah simbol segala kerahasian yang tersimpan begitu nyaman lewat sendu tatapan. Wanita itu rumit. Terbelenggu banyak kesedihan yang tak pernah diceritakan.

Dan ketika wanita itu berbalik untuk menatapnya, Affan melihat ia tak keberatan mendengar celoteh ibunya. Hanya segaris senyum singkat tanpa perasaan, pandangannya seolah bercerita bahwa ia menikmati malamnya. Lalu, tepat pada momentum singkat tersebut, Affan seakan paham apa yang harus ia lakukan. “Affan mau nikahin Anin, Pa.”

Selancar itu ia berkata. Padahal masa depan masih begitu abu-abu untuk diterka.

Ah, mungkin Affan mulai gila.

***

Padahal rasa itu bukan cinta …
Tetapi aku sudah merasa mengenalmu sejak lama
Mungkin pada dimensi berbeda
Atau bisa saja jiwa kita pernah satu wadah

Kau rajut benang asa
Sementara kupilin rindu yang tak terhingga
Lalu kita bergerak menuju nirwana

Kubawa tandu bernama rindu
Kulihat kau dari jauh
Sambil merayu waktu
Kuterus rapal mantra temu

Ah, kamu …
Tolonglah, lihat aku …

***

Akhirnyaa yaa setelah sekian lama yaa bisa lanjut inii hahahaa

Selow2 aja deh, tau tau ntar ending aja yaa kaaan? Wkwkwk

Next part kita nostalgia dikit deh, tapi bukan sama Bang Raja syalalalaa

Tebak ajalah, hahaha

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 18K 37
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
5M 37.4K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
2.3M 106K 53
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
408K 2.5K 18
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...