"bro, udah siap?" Haechan menepuk punggung Jeno.
"gausah tegang gitu." sahut Renjun.
Jaemin yang melihat itu hanya tersenyum simpul. "tar lagi jadi paman kita."
"paman muda" balas Haechan.
Jeno meneguk segelas air putih agar gugupnya hilang. Dia mencoba untuk rileks, hanya perlu mengucapkan sebuah janji di depan Tuhan nya, dan juga para saksi. Iya, dia harus bisa.
"Jeno? Ayo, pendetanya udah dateng." Papa Jeno masuk dan memanggil anaknya.
Tiga temannya itu mengekor dibelakang kemudian duduk ditempat yang sudah disediakan.
Jeno sudah berdiri tegap menunggu sang pengantin perempuannya. Sang pendeta itu tersenyum teduh melihat bagaimana gugupnya Jeno.
Klek
Semua menoleh kebelakang. Pintu gereja yang dibuka itu membuat semua keluarga Jisa dan Jeno menoleh dengan serempak.
Jisa yang digandeng oleh papanya juga sama terlihat gugup. Namun, karena setelah seminggu Jeno yang tak dapat melihat Jisa, sekarang seperti telah terbayarkan, gugupnya menjadi hilang, malah ia merasa tidak sabar untuk cepat cepat menyelesaikan acara sederhana namun berharganya ini.
.
Acara selesai, sebelum benar benar pergi, tiga teman Jeno itu sempat sempatnya bercanda ria saat Jisa yang sudah kelelahan, tapi Jisa tak mengusir atau bagaimana, lagian ketiga teman Jeno itu, sudah teman dari kecil, jadi Jisa tidak mungkin mengusir mereka dari rumahnya. Rumah Jeno.
"syukur lo hidup punya temen kaya kita, sampe sekarang masih nemenin kan?" -Haechan
"iya makasih elah." balas Jeno
"Sa, pesen gue, kalo anak lo laki laki, jangan kaya bapaknya, mending kaya gue aja." -Jaemin
Jisa tertawa, "emang lo kaya gimana?"
"ganteng lah, banyak yang suka, tapi gue gak mainin hati perempuan." jawab Jaemin
Renjun ingin memukul Jaemin, dan Haechan pura pura seperti akan menerkam. "alah lo, ga mainin hati perempuan, terus itu apa adek kelas lo kasi harapan! Congor lo emang."
"Chan, mulut lo kecilin!" -Renjun
"mana bisa anjir mulut gue dikecilin, kan udah segede ini ukurannya. Nih, aaaa." dan Haechan malah membuka lebar mulutnya didepan Renjun.
Renjun ekstra sabar, padahal maksud Renjun volume suaranya.
Jisa kembali diam, ia hanya melihat Jeno yang tertawa karena candaan teman temannya itu. Enak sekali punya teman, Jisa tidak ada.
Jisa yang menyender disamping Jeno, merasa ngantuk, tapi ia tahan.
Jaemin tak sengaja menotis Jisa, dan langsung saja, "Jen, gue balik dah kalo gitu, udah malem juga. Kuy balik." Jaemin menarik kerah belakang Haechan.
"yaudah gue balik. Jagain istri lo." kata Renjun dan tersenyum manis pada Jisa.
Jeno mengantar teman temannya hingga depan rumah, sedangkan Jisa hanya berdiri didepan pintu menunggu suaminya.
"balik Jen!"
"hati hati bawa mobil lo!" balas Jeno sambil melambaikan tangannya keatas udara.
Jeno berbalik dan melihat Jisa yang berdiri menunggu dirinya. Jeno tersenyum karena Jisa terlihat menggemaskan dengan piyama besar miliknya, jadi, tidak terlihat kalau Jisa sedang mengandung.
"capek ya?" Jeno mengusap pipi Jisa dan mengajaknya kedalam kamar.
"tidur, kamu dari tadi gadapet rebahan, kasian dede bayinya." lanjut Jeno.
"aku ga dikasianin?"
Jeno mencubit kedua pipi Jisa. "ya iyalah, kamu juga bayi aku."
Saat Jisa ingin naik keatas ranjang, Jeno menahannya.
"sikat gigi dulu, sama cuci kaki"
Jisa menghela nafas. "iya - iya"
Mereka berdua masuk kedalam kamar mandi dan mulai menyikat gigi masing masing. Sambil menyikat gigi, Jeno juga merapikan rambut Jisa yang panjang sebahu itu agar tidak ikut masuk ke dalam mulutnya.
Setelah selesai, Jeno pun menyiram kaki Jisa, lalu mengelapnya dengan handuk.
"aku bisa sendiri, Jen."
"gapapa, aku yang mau kok."
Selesai dengan semuanya, mereka berdua keluar dan langsung merebahkan diri.
Jeno mematikan lampu dan hanya lampu diatas nakas saja yang dihidupkan. Ia kemudian menyuruh Jisa tidur diatas lengannya.
"kamu ga kangen apa seminggu kita ga ketemu?" tanya Jeno.
Jisa malah menggeleng. Oh, tentu Jeno terkejut. "demi apa, Sa?"
"ih bercanda, kangen lah. Bayinya apalagi, pengin minta dielus sama papanya terus." kata Jisa.
Jeno mencium kening Jisa. "coba sini aku elus."
Jeno mengangkat pakaian Jisa keatas dan memperlihatkan perut buncit Jisa. Ia mengelus kulit lembut itu dengan penuh kasih sayang.
"kalo cowo mau dikasi nama siapa?" tanya Jeno.
"Felix?"
Jeno mengernyit. "kok kaya bule gitu"
"papanya juga kaya bule. Jeno Lee, anaknya juga dong, Felix Lee" Jisa tersenyum lebar membuat Jeno sangat senang melihat bagaimana Jisa terlihat benar benar bahagia.
"kalo perempuan?" tanya Jeno lagi.
Jisa terlihat sedang berpikir. "hm, Fel.. Felicia?"
"kenapa Fel Fel semua coba?"
"mama sama papanya kenapa J J semua coba?" tanya Jisa balik.
"yakan, jodoh." jawab Jeno.
"ya masa anak kita jodoh baru aku namain sama sama Fel?"
Jeno terkekeh. "iya - iya dinamain itu aja. terserah bundanya deh, daddy nya mah nurut"
Jisa merengut, ia kemudian membelakangi Jeno.
"kalo minta dipeluk tu bilang, gausah kode kenapa?" kata Jeno sambil memeluk Jisa dari belakang. Tangannya juga mengelus perut Jisa dengan lembut.
Tak sesekali juga Jeno mengecup ngecup telinga Jisa, dan bahu yang sedikit tereksposnya itu.
"diem bayinya minta tidur."
"entar aja."
"udah ngantuk."
"entar dulu, main dulu sebentar."
"is sana main sama guling kamu!!"
✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖✖
Papah, nanti anterin feli ke cekolah ya?