💚First Room; Part 3

16.6K 1K 82
                                    

"Sa, kamu tunggu sebentar disini. Aku beli pakaian dulu buat kita."

Selain mengangguk, memang apalagi yang bisa Jisa lakukan? Ia membiarkan Jeno yang berlari kecil masuk kedalam mall. Laki laki itu menuju pakaian perempuan untuk Jisa tentunya.

Ia sudah menemukan hotel yang tepat untuk mereka bermalam sehari saja. Jadi, tidak mungkin mereka masuk ke hotel dengan pakaian seragamnya. Jadi, ini ide Jeno, membeli pakaian untuk mereka berdua.

Jisa diam duduk diatas motor Jeno dengan wajah lelahnya. Gadis itu sesekali meringis kecil karena merasa sakit dibagian bawah. Tak begitu lama ia menunggu, Jeno sudah bisa ia lihat dengan pakaian yang berbeda, kaos berwarna hitam, dan juga celana kain hitam panjang. Jeno tentu masih menggendong tasnya di satu bahu.

"aku anter kamu ke toilet umum, kamu ganti disana."

Jisa diam beberapa saat untuk menatap Jeno. "kamu.. Yakin gapapa— kita bohong?"

Bohong kalau Jeno tidak merasa was was sama sekali. Ia hanya mencoba tetap tenang.

"iya. Kamu gak akan kenapa napa karena ada disamping aku." setelah mengatakan itu, Jeno naik keatas motornya dan melanjutkan perjalanan singkat mereka.

Jarak hotel mereka saat ini tidak jauh dari toilet umum, jadi Jisa bisa cepat berganti pakaian dengan kaos putih dan juga rok berwarna hitam pendek yang Jeno belikan.

Jeno menghela napasnya ketika melihat rok yang Jisa pakai.

"astaga aku salah beli. Tunggu aku beli celana aja buat ka—"

"engga Jen, jangan. Gapapa. Aku udah capek, pengin tidur."

Jeno pun mengelus pipi Jisa, ia lalu membuka tasnya dan mengambil almamater miliknya. Tangannya melingkar dipinggang Jisa, guna untuk mengikat almamater itu agar bisa menutupi paha Jisa yang terlihat.

"yaudah ayo." digenggamannya tangan Jisa dengan erat.

Sesampai di hotel, Jeno melakukan check in. Sementara Jisa menunggu di lobi sambil melihat sekitar. Tak begitu ramai tamu, jadi ia merasa nyaman, karena ia benci keramaian.

Kedua bola mata Jisa menatap punggung lebar Jeno sambil tersenyum tipis. Jeno bisa melakukan semuanya dalam sehari. Tidak- bukan yang tadi, tapi hal hal darurat seperti ini. Jeno memang pintar.

Jeno juga sudah membawa kartu berbayarnya sendiri, jadi ia tidak merasa khawatir untuk soal uang. Ia bisa beli apapun juga sekarang. Tapi, ini lebih penting bukan?

"ayo, kamar kita di lantai 7."

Jisa membalas tangan Jeno yang sudah didepan wajahnya. Ia berdiri dan berjalan disamping laki lakinya. "kamu, bisa jalan kan? "

"bisa lah. Cuma- sedikit sakit aja."

Jeno menelan salivanya. Ah, mereka masih ada rasa canggung jika mengingat itu. Menggaruk dahinya yang tak gatal, Jeno pun berhenti dihadapan Jisa. "biar aku gendong."

"huh? G-gausah Jen, lagian kita kan pake lift."

"tetep aja."

Jeno pun membungkuk agar Jisa bisa naik keatas punggungnya. "naik aja. Bisa tidur dipunggung aku."

Diam beberapa saat, perlahan, dengan sedikit keraguan, Jisa pun naik keatas punggung Jeno. Tak lupa juga tangannya sudah mengalung dileher sang kekasih.

Selama menuju kamar, hanya keheningan yang menemani mereka. Bahkan sudah sampai kamar, Jeno menurunkan Jisa diatas ranjang, memberikan posisi ternyaman untuk gadisnya.

Jeno mengelus kepala Jisa, "sekarang kamu tidur, aku harus kebawah dulu untuk pemesanan breakfast kita besok. Biar ga nunggu lama."

Ketika Jeno sudah akan melangkah pergi, Jisa menahan tangannya. Bahkan sangat erat.

[1]MISTAKE; happier | Lee Jeno✔️Место, где живут истории. Откройте их для себя