The Chemical Romance [The Sea...

By Aninesca_

2M 198K 17.5K

[Completed] ⚠️🔞 fyi, i know how to find copycats:) Pembaca diharapkan sudah membaca The Independent Slave (... More

EpigRAFE
Prologo
1st : Grosseto
s p a c e
2nd : Sconosciuto
s p a c e
3rd : La Lettera
4th : Rapporti di Amicizia
5th : Corvo Nero
C A S T L I S T
6th : C'è Solo il Suono
7th : Attèndere
8th : Sebtenziare
9th : Sanzioni Divertimento
10th : La Desiderare
11th : La Cena
s p a c e
12th : Rafe Seazzury
13th : Pericoloso Uomo
s p a c e
s p a c e
14th : Impantanarsi
15th : Conversazione
16th : Càrcere
17th : Cosa è Successo?
18th : Un Colpa
19th : Da Solo
s p a c e
20th : Tutto è Iniziato
21st : Il Clan del Seazzury (1)
22nd : Il Clan del Seazzury (2)
23rd : Il Clan del Seazzury (3)
24th : Il Clan del Seazzury (4)
s p a c e
25th : Il Mistero Passato
26th : Florida
27th : Serata Meravigliosa
28th : 20 Domande
29th : Personaggi, Carte e Caffè
30th : La Famiglia (1)
31st : La Famiglia (2)
32nd : Una Lunga Notte
s p a c e
33rd : Il Segreto del Clan Seazzury
34th : Situazione Difficile
36th : La Pressione
37th : Fine della Strada
38th : Questa Non è La Fine
Epilogo
The Strange Addiction
PLAGIAT!!!💀

35th : La Resa

20.2K 2.1K 260
By Aninesca_

don't forget to vote & comment🖤

REVISI
Juli 2020


35th : La Resa (Penyerahan)

"Jadi pria ini-Dimitri Kvirkanöva punya masalah dengan keluargamu sejak awal, benar? Apa yang dia dapat dari menculikmu?"

Rafe memandang langit-langit dan melipat satu tangannya di bawah kepala. "Kepuasan, mungkin. Aku tak tahu. Dia hanya duduk nyaman di tempatnya dan mengamati bagaimana keluargaku menjadi kacau selama berbulan-bulan."

"Dan penyiksaan itu?" Gwen bertanya pelan. Matanya meneliti wajah Rafe, kalau-kalau pria itu menunjukkan suatu penolakan terhadap kewajiban untuk menjawab pertanyaannya. "Tahu, tidak? Kau tidak perlu menjawabnya. Kita bisa melakukannya lain kali kalau kau mau."

"Tidak," gumam Rafe. Dia meremas bahu Gwen dengan satu tangannya ketika berkata, "Aku ingin kau mengetahuinya. Itu bukan masalah besar lagi sekarang."

"Apa yang terjadi?"

"Mereka melakukan hal-hal yang mengerikan." Suara Rafe terdengar kasar ketika memulai itu semua. "Aku tak pernah memikirkan kematian sebelumnya, tapi mereka berhasil membuatku putus asa. Kengerian itu..." Rafe menggeleng pelan dan menarik napas tajam.

Gwen mengusap dada Rafe perlahan, berusaha untuk menyalurkan kekuatan pada pria itu.

"Yang paling mengerikan dari segalanya adalah saat itu aku hampir tak bisa mengingat siapa diriku. Terkadang aku berusaha untuk memunculkan bayangan keluargaku-berharap itu akan memberiku kekuatan atau semacamnya. Tapi aku tak bisa. Aku hampir-hampir merasakan jarak yang terbentang di antara kami dan rasanya mustahil untuk bisa kembali pada mereka. Ada hari-hari di mana aku bisa mengingat wajah mereka dengan jelas, namun itu tak berarti apa-apa. Ketika itu terjadi, aku tak peduli pada keluargaku. Aku tak mau memikirkan mereka. Aku hanya ingin mati."

"Lalu suatu hari, ada yang mendobrak masuk selku. Tawa orang-orang itu berhenti saat peluru menghujani mereka. Mengerikan sekali. Ayahku menemukanku yang berlumuran darah dan dirantai seperti binatang. Aku tak banyak mengingat tentang hari itu."

Rafe meraih jemari Gwen yang ada di dadanya dan mengelus telapak tangan wanita itu perlahan sebelum menggenggamnya erat dan meletakkannya tepat di atas jantungnya berdegup.

"Hari-hari setelahnya tidak lebih baik. Butuh waktu berminggu-minggu bagiku untuk memulihkan diri. Bayangan keji itu tak pernah hilang. Aku aman di rumahku, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas tawa mereka yang mengerikan. Mereka selalu menyetel musik klasik yang sama setiap waktu-berusaha terlalu keras untuk membuatku kehilangan akal sehat. Aku masih bisa mendengar dengan jelas semua itu. Aku masih bisa mengingat semuanya. Aroma tubuh mereka, aroma karat dari darahku sendiri... Lalu aroma opium itu-bunga poppy! Belakangan aku tahu selku berada di tempat yang sama di mana mereka memproduksi narkotika itu. Mereka mungkin sengaja melakukannya."

"Aku pikir aku sudah tidak waras, tapi orangtuaku sepertinya tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Aku mengamuk, membanting barang-barang. Alette tak pernah berani dekat-dekat denganku lagi dan Natalie pun tak jauh berbeda. Mereka takut padaku." Rafe mendenguskan tawa sinis sebelum melanjutkan, "Tidak bisa menyalahkan mereka. Aku bahkan takut pada diriku sendiri."

Gwen menatap pria itu, meneliti raut wajahnya yang keras namun putus asa. Tapi ada keteguhan di sana yang benar-benar membuat Gwen terharu.

"Mengapa kau pergi dari Inggris?"

Raut wajah Rafe berubah muram dan suaranya terdengar jauh ketika berkata, "Karena aku tak sanggup tinggal di rumah itu lagi. Kondisi keluargaku tak lagi sama. Ibuku selalu menangis, tapi dia tak berkata apa-apa. Dia tetap menjadi sosok ibu yang sama bagiku, tapi tetap saja berbeda. Tentang ayahku..." Rafe menyipitkan matanya, seakan berusaha untuk mengingat hal yang ada di pikirannya dengan keras. "Hubungan kami rumit. Aku dan ayahku sama-kami tak mudah menunjukkan perasaan kami. Tapi yang terpenting, kami saling mencintai. Aku pernah mengintip ke dalam ruang kerjanya pada tengah malam. Di jelas sedang mabuk saat itu. Dia menatap potret keluarga kami dan menangis dalam diam."

"Aku tak bisa menyakiti keluargaku lagi seperti itu. Lebih buruk lagi, aku merasa sangat bersalah pada mereka. Aku sering berharap untuk mati saja tanpa memikirkan bagaimana perasaan keluargaku jika aku benar-benar mati-bagaimana aku hanya akan membuat mereka tambah menderita. Aku tak bisa tinggal di rumah di mana ibuku selalu menangis karenaku, dan ayahku memilih untuk mabuk-mabukan dan merasa tak sanggup memikirkan keadaan putranya. Aku tak bisa melihat bayangan ketakutan yang terkadang muncul di mata Natalie dan Alette lagi. Aku tak bisa melakukan itu pada mereka."

"Jadi, aku berusaha untuk mengikuti semua sesi konseling bersama psikiater untuk menunjukkan pada keluargaku bahwa aku baik-baik saja. Mereka harus melihat bahwa aku sudah dapat mengontrol diri dengan baik-bahwa aku sudah lebih sehat. Aku menjadikan itu sebagai tameng agar orangtuaku menerima keputusanku untuk pergi sejenak."

"Tapi siapa yang aku bohongi?" Rafe tertawa pahit. "Kami semua tahu yang sebenarnya. Betapapun aku terlihat baik-baik saja, segalanya telah berubah. Jadi mereka berusaha untuk menghormati keputusanku. Pada saat itu, aku hanya tahu bahwa itulah yang terbaik. Kepergianku akan memberi kami semua waktu. Butuh beberapa lama bagiku untuk sadar bahwa aku hanya sedang mencari alasan. Aku tak pergi untuk sementara-aku berharap untuk pergi dari keluargaku selama-lamanya."

"Lihat? Aku benar-benar orang yang mengerikan."

"Jangan berkata begitu," tegur Gwen halus. "Kau adalah putra yang baik, juga kakak yang mengagumkan untuk Natalie dan Alette. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Rafe. Bagaimanapun juga, mereka menyayangimu. Itulah yang keluarga lakukan-mereka saling memahami. Kau tidak benar-benar pergi dari hidup mereka. Mereka mengunjungimu secara rutin, benar? Dan kau membiarkan mereka melakukannya. Itu berarti kau tidak bersungguh-sungguh saat berpikir untuk menjauh selamanya dari mereka."

"Mungkin kau benar," gumam Rafe akhirnya setelah sekian lama. Dia menarik tangannya dari bawah kepala Gwen dan menggunakannya untuk menopang tubuhnya yang berbaring miring. Dia membungkuk ke arah Gwen dan mengamati wajah wanita itu dalam diam. Tatapan Rafe menelusurinya dengan intens, seakan sedang menilai sesuatu.

"Aku belum pernah mengucapkan terima kasih padamu."

Gwen menarik senyum dan menyentuh rahang Rafe dengan jemarinya. "Untuk apa?"

"Untuk semuanya. Mulutmu yang begitu terberkati ini terutama," kata Rafe sebelum menunduk dan meraih bibir Gwen dalam ciuman. Ciuman itu lambat dan malas-malasan, tapi mereka berdua menikmatinya.

Sesaat kemudian, Rafe menjauh dan berkata dengan serius, "Tidak. Aku bersungguh-sungguh. Kau mungkin meragukan dirimu sendiri, tapi kau benar-benar membantuku. Aku tidak akan pulih tanpamu. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku selama ini."

"Aku mungkin harus mengatakan hal yang sama padamu," ucap Gwen sambil mengerutkan kening. "Kau ada di sana saat aku membutuhkanmu. Terima kasih. Itu sangat berarti buatku."

Rafe tertawa. "Jadi kita harus berterima kasih pada satu sama lain."

"Terkadang, seseorang yang rusak butuh membantu orang lain yang sama rusaknya untuk memperbaiki dirinya sendiri. Bukan untuk membuat dirinya merasa lebih baik, tapi agar ia bisa memahami seberapa besar beban itu sebenarnya."

Mereka saling bertatapan, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berusaha untuk memutus kontak mata itu. Semuanya terasa tepat. Berbaring di sini bersama pria itu, kulit bertemu kulit, berusaha untuk menyenangkan satu sama lain. Gwen merasa tak membutuhkan apa-apa lagi sekarang. Kalau ia bisa hidup abadi, ia tak keberatan berbaring di sini bersama pria itu selamanya. Bersama Rafe, segalanya menjadi lebih baik. Mungkin tidak sempurna dan akan sangat sulit, tapi mereka bersama-sama. Itu yang terpenting.

"Kita belum pernah berkencan," kata Rafe tiba-tiba.

"Kita berkencan setiap hari, Sayangku."

"Tapi kau berhak mendapatkan yang lebih baik." Rafe terdiam sebentar dan terlihat memikirkan sesuatu. Keningnya berkerut dalam ketika dia menatap mata Gwen. Dia berkata lagi, "Malam ini kita makan malam di kota. Country club di sini terlihat menyenangkan. Mereka punya band yang memainkan musik romantis dan orang-orang senang berdansa di sana. Bagaimana menurutmu?"

Gwen melipat bibir dan menahan senyum. "Kita bisa makan malam di sini. Kau ingin aku memasakkanmu sesuatu yang spesial?"

"Aku akan membawamu makan malam ke restoran seperti yang orang-orang pada umumnya lakukan saat kencan pertama."

"Kita bisa makan di atas pasir kalau kau mau. Bertelanjang kaki, dengan sinar bulan yang menerangi kita..."

"Atau kita bisa pergi keluar."

"Rafe, kau sadar dengan apa yang kau katakan? Tempat itu sangat ramai-akan ada banyak orang di sana."

"Lalu?"

"Apa kau yakin dengan ini semua?"

"Apa kau sendiri yakin?" Rafe mengangkat alisnya, menantang Gwen untuk menjawab. Ketika Gwen diam saja, Rafe kembali melanjutkan, "Kalau kau takut pada sesuatu yang mungkin terjadi, jangan khawatir. Mereka tidak akan seceroboh itu untuk menyerang kita di hadapan publik. Aku akan menjagamu, Gwen. Tak ada yang perlu kau takutkan."

"Bukan itu yang kukhawatirkan," desah Gwen. "Apa kau benar-benar yakin untuk pergi ke sana? Rafe, aku tahu kau paling anti dengan tempat umum semacam itu. Kau tak perlu membawaku keluar untuk makan malam. Aku tak membutuhkannya."

"Tapi aku ingin melakukannya," ucap Rafe perlahan. "Harus ada yang pertama untuk segalanya, bukan? Di samping itu, kau tidak bisa melewatkan ulang tahunmu dengan hanya terjebak di sini bersama pria pesakitan yang membutuhkan bantuanmu untuk hanya sekadar bernapas."

Gwen mengerang dan memejamkan mata sebelum akhirnya tertawa. "Ulang tahunku sudah lewat."

"Dua hari yang lalu? Aku tahu. Tapi tetap saja kita harus merayakannya. Tidak setiap hari kau mencapai usia 28."

Sudut-sudut bibir Gwen tertarik saat ia menatap Rafe, melihat kesungguhan di mata pria itu. Tak tega rasanya jika ia menolak kebaikan hati Rafe. Betapa Rafe telah berusaha untuk memberinya sesuatu yang spesial! Bukan tidak mustahil Rafe telah memeriksa country club itu sebelumnya. Barangkali mungkin juga pria itu telah memeriksa latar belakang seluruh pegawai di sana.

Oh, Gwen memang harus menerimanya!

Maka Gwen mengangguk dan tertawa senang ketika Rafe menghujaninya dengan ciuman-ciuman.

Kegilaan cinta itu jelas tak akan pernah surut. Semoga saja.


***


Saat mereka turun dari mobil, Gwen dipenuhi oleh semangat dan kebahagiaan. Ia melingkarkan tangannya di lengan Rafe dengan gugup, tapi senang. Gwen sedikit was-was saat mereka memasuki country club itu. Tapi, tak ada yang bisa membuatnya takut. Nyatanya, sikap Rafe benar-benar santai-seakan ia telah tampil di depan umum seperti ini setiap hari dalam hidupnya.

Pria itu benar-tak ada yang perlu mereka khawatirkan. Maka Gwen menarik napas panjang dan tersenyum ketika seorang pelayan menyambut mereka dan menanyakan apakah mereka sudah melakukan reservasi. Ketika Rafe mengangguk dan menyebutkan namanya, pelayan itu membawa mereka ke meja mereka.

Bagian restoran itu luas. Meja-meja bulat tersebar di seluruh ruangan, namun menyisakan sedikit ruang di tengahnya untuk melakukan dansa. Sebuah band memainkan musik romantis. Suasananya hangat, tenang, dan elegan. Pada siang hari, biasanya country club dipenuhi orang-orang yang sarapan dan makan siang. Ada lapangan golf yang menjadi satu fasilitas dengan bagian restoran itu dan orang-orang biasanya menghabiskan waktu di tempat ini. Suasana yang ramai dan penuh semangat akan berganti saat malam hari-tempat itu seakan menyulap sendiri dirinya menjadi sesuatu yang cukup romantis bagi semua orang.

Makan malam mereka berupa steik yang disajikan bersama potongan kentang dan buncis. Memang terlampau biasa dan Gwen bisa memasaknya di rumah, tapi kencan mereka malam itu sempurna. Tidak masalah jika makan malam mereka hanyalah sebungkus burito ayam yang dibeli di pom bensin. Sesekali, Gwen ingin menjalani hari-hari yang normal seperti orang kebanyakan. Dia ingin kencan pertama mereka berkesan dan selama Rafe ada di sampingnya, rasanya kencan dalam bentuk apapun akan sepadan.

"Kau ingin berdansa?"

Gwen mengalihkan tatapannya ke arah Rafe dan menatap bingung pria itu.

"Kau terus menatap orang-orang di lantai dansa."

Gwen mengulum senyumnya dan mengulurkan tangannya ke atas meja. Rafe meraih tangannya dan mengecup punggung tangan wanita itu sebelum mereka bangkit. Pria itu membimbingnya menuju ke tengah-tengah ruangan.

I Only Have Eyes for You milik Michael Bublé dimainkan oleh band. Musik jazz yang romantis itu mengiringi setiap langkah para tamu. Gwen menggenggam tangan Rafe sebelum berputar dan akhirnya jatuh ke pelukan pria itu. Tangan Rafe berada di pinggangnya, menuntut Gwen untuk bergerak perlahan mengikuti irama musik.

"Ini dansa pertama kita."

"Aku menyesal tidak mengajakmu berdansa pada pertemuan pertama kita."

"Kau hampir membunuhku."

"Tidakkah seseorang pernah berkata padamu untuk tidak masuk ke dalam rumah seseorang tanpa izin?"

Gwen tertawa. "Apakah buruk jika aku tidak merasa menyesal sama sekali?"

Rafe menunduk untuk menciumnya. Tangan mereka saling melingkar erat pada satu sama lain. Kedekatan yang ada tak akan pernah terasa cukup. Mereka berdiri rapat, saling menempel. Gwen meletakkan kepalanya di dada Rafe yang berdetak seirama dengan jantungnya sendiri, merasakan tubuh pria itu. Gwen mulai berpikir apakah mereka memang telah kecanduan terhadap satu sama lain. Rafe adalah candunya, ekstasi yang dibuat khusus oleh Tuhan untuk Gwen. Tak akan pernah ada yang bisa menyembuhkan ketergantungan itu.

Kemudian ketika lagu itu selesai, mereka membiarkan pasangan paruh baya mengambil tempat mereka. Dansa tadi sangat menakjubkan dan tak terasa berakhir dalam waktu singkat, tapi Gwen puas. Wajahnya memerah dan penuh dengan gairah hidup. Mereka duduk kembali di meja mereka dan pelayan menghampiri untuk bertanya apakah mereka sudah siap dengan makanan penutup.

"Malam ini kami akan menyajikan apple strudle sebagai hidangan penutup. Berbeda dengan pai apel biasa, kue ini memiliki adonan yang tipis dengan isian apel, kayu manis, kismis, dan remah-remah roti. Juga dengan es krim!"

"Kedengarannya enak," kata Gwen bersungguh-sungguh.

Rafe mengangguk dan mendongak untuk menatap pelayan itu. "Apa kalian punya Henri Jayer 1999?"

Pelayan itu menarik senyum tak yakin. "Aku khawatir tidak, Sir. Tapi aku akan membawakanmu wine yang lain. Bagaimana dengan Domenico Clerico?"

Anggukkan Rafe diam-diam membuat pelayan itu menghembuskan napas lega. Gwen mengamati pelayan itu dengan geli lalu menoleh ke arah Rafe. Pria itu sedang mengecek ponselnya sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Italia tentang betapa ia ingin menghajar pengusaha yang memproduksi anggur yang disebutkan si pelayan tadi.

Gwen menggeleng pelan melihat tingkah pria itu dan kembali memalingkan wajah ke arah si pelayan, tapi pria tinggi dan kurus itu sudah pergi. Mata Gwen lalu tertuju ke lantai di mana sebuah kartu tanda pengenal pegawai county club tergeletak asal di sana. Nama Smitty tercetak jelas di kartu itu. Gwen meraihnya dan berusaha untuk memanggil pelayan yang menjatuhkan tanda pengenalnya tadi, tapi ia tak ingin membuat keributan di tempat ini.

Bergerak impulsif, Gwen akhirnya bangkit dari kursinya. Namun belum dua langkah ia meninggalkan meja, sesuatu menabraknya dan mendadak kulitnya terasa lengket dan dingin.

"Oh!"

Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Cairan bening sampanye mengotori bagian depan tubuhnya dan membasahi gaunnya. Terdengar beberapa suara kesiap dari para tamu yang melihat kejadian itu. Pelayan yang menabrak Gwen sedang berjongkok untuk memunguti gelas-gelas kaca yang jatuh.

"Aku minta maaf, Miss. Aku benar-benar menyesal," kata pelayan itu sambil menggenggam nampan minumannya dengan ketakutan.

"Apa kau buta?" Rafe kini telah berada di sisi Gwen dan menatap pelayan itu tajam. "Jangan harap setelah kau merusak gaun kekasihku, kau bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan baik-baik saja. Di mana manajermu? Aku ingin manajer tempat ini bertanggung jawab sepenuhnya!"

"Hentikan," bisik Gwen pelan sambil meletakkan satu tangannya di dada pria itu. "Orang-orang sedang menatap. Lagipula aku baik-baik saja. Aku akan pergi ke toilet untuk membersihkan ini."

"Gwen..."

Dia berusaha untuk memohon pada Rafe lewat matanya dan pria itu akhirnya menghela napas tajam. Tangannya bergerak untuk mengusir pelayan itu. Rafe menatap Simon yang duduk di meja tak jauh dari mereka dan memberi tanda. Tanpa di suruh dua kali, pengawal yang sejak tadi melihat semua kejadian itu mengikuti langkah Gwen menuju toilet.

Gwen menoleh ke belakang dan tak terkejut ketika melihat Simon berjalan mengikutinya. Pria itu menjaga jarak dan orang-orang tak akan bisa menebak jika ia sedang mengawal seseorang. Gwen memutar matanya dan masuk ke dalam toilet wanita. Ia sedikit lega saat Simon terbukti tak mengikutinya dan memilih untuk menunggu di luar. Itu bagus. Jika sampai pengawal itu nekad mengikutinya sampai ke dalam, Gwen bersumpah akan melancarkan protes keras kepada Rafe dan memastikan seseorang menggantikan Simon untuk menjaganya.

Gwen menatap dirinya sendiri di cermin dan menarik napas lega. Syukurlah ia memakai warna hitam sehingga tidak ada noda sampanye yang tertinggal di sana. Hanya saja, rasanya lengket dan basah serta tak nyaman. Gwen menarik banyak tisu dari bawah cermin dan mengusapkannya keras-keras di gaun dan bagian tubuhnya yang basah.

Ketika dia menyalakan keran dan membasahi tisu dengan air, salah satu pintu bilik toilet terbuka. Seorang gadis berambut merah dengan rambut yang digelung ketat di lehernya berdiri di samping Gwen. Gadis itu mencuci tangannya dan mengeringkannya dengan tisu.

"Malam yang berat?"

Gwen meliriknya dari cermin dan tersenyum sopan. "Tidak juga."

Gadis itu menyeringai dan meraih sesuatu dari tasnya dan menggesernya ke arah Gwen. Tanpa mengatakan apa-apa, ia lalu meninggalkan Gwen seorang diri di sana. Gwen mengangkat alisnya dan menatap ponsel itu dengan bingung.

Tiba-tiba saja, ponsel itu bergetar. Gwen diam dan bimbang, mulai bertanya-tanya apa maksud semua ini. Dia menoleh ke arah sekeliling toilet, tapi tak ada satu pun orang kecuali dirinya di sana.

Tak punya pilihan, akhirnya Gwen mengangkat ponsel itu. Getarannya sudah berhenti, tapi layarnya kembali berkedip dan menandakan ada sebuah pesan video yang masuk.

Gwen menimbang-nimbang sesaat sebelum akhirnya membuka pesan itu. Video itu berdurasi singkat, tapi cukup membuat Gwen dilanda perasaan was-was seketika.

Di video itu terdapat Bibi Anna dan para sepupunya-Dylan, Theo, dan Lizzy yang sedang duduk dalam sebuah kafe. Mereka mengenakan baju musim dingin, dan ketika Gwen bisa dengan jelas menghubungkan apa yang sedang terjadi, mendadak kaki Gwen terasa lemas.

Sesaat kemudian, ponsel itu kembali bergetar. Gwen menekan tombol dan menempelkannya di telinga. Tak ada suara apapun di seberang sana.

"Halo?" Suara Gwen goyah. "Siapa kau? Apa maksud dari video itu?!"

"Tenang, Gwen." Suara itu terdengar berat dan mendadak Gwen merasa pening. "Anjing pengawalmu berada di luar, bukan? Aku tak ingin dia mendengarkan pembicaraan pribadi kita."

Gwen meletakkan telapak tangannya di kening dan memejamkan mata. "Apa yang kau inginkan?" Bisiknya pelan.

"Masuklah ke dalam bilik paling ujung. Ambil sesuatu dari balik toiletnya."

Kata-kata pria itu terdengar mutlak. Gwen melakukan apa yang pria itu suruh dan meraih benda tipis dan berat dari balik toilet. Layar gadget itu terasa dingin di pangkuannya. Mungkin juga Gwen hanya mengkhayalkannya saja, tapi kepala Gwen terlalu pening untuk merasakan hal apapun.

Sedetik kemudian, layar gadget itu menyala. Apa yang ditampilkan kemudian persis seperti pesan video yang ia terima tadi. Keluarganya berada di sana dan tengah menikmati makanan mereka. Dan pemandangan itu semakin membuat Gwen tertekan tiap detiknya.

Tiba-tiba kamera bergerak ke arah lain. "Kau lihat laki-laki dengan jaket ski merah di meja di samping mereka?" Pria itu kembali berbicara di telepon. "Jika kau melakukan apapun yang mengindikasikan kalau kau akan memperingatkan keluargamu-pikirkan lagi, Sayang. Bahkan sebelum kau berhasil menyusun rencana untuk melakukannya, akan terjadi peristiwa tembak-menembak di tempat itu. Kupastikan sepupu-sepupu kecilmu menjadi salah satu korbannya."

Mata Gwen terasa kabur sekarang. Tubuhnya bergetar hebat, tapi ia berusaha untuk tetap berpikir rasional.

Kamera lagi-lagi bergeser.

"Sekarang lihat wanita berambut pirang yang sedang mengobrol dengan teman laki-lakinya di sana. Menurutmu apa yang mereka sembunyikan di balik jaket mereka yang tebal?"

"Ya Tuhan!" Bisik Gwen dengan suara gemetar. "Jangan mereka, kumohon! Jangan mereka! Apa yang kau inginkan sebenarnya?!"

Pria di seberang sana mengabaikannya. Layar gadget kini menampilkan keluarganya yang tengah beranjak dari meja mereka. Si pemegang kamera yang melakukan panggilan video dari Idaho itu mengikuti mereka sampai keluar dari kafe.

"Berapa usia Lizzy, Gwen? Aku mendapat informasi bahwa dia anak yang sangat manis." Ada jeda sesaat sebelum dia kembali melanjutkan, "Tapi kau harus mengerti. Perintah untuk mereka mutlak. Bunuh sebuah keluarga, tak peduli bagaimana caranya. Tolong jangan marah padaku."

Ada air mata frustasi yang mengalir di wajah Gwen, tapi wanita itu hampir-hampir mati rasa untuk merasakannya.

"Atau kau masih menganggap ini semua hanyalah omong kosong? Perlukah kita melakukan sedikit eksperimen?"

Kamera kini mendekat ke arah keluarga yang tengah berjalan di trotoar itu dengan cepat. Tubuh Gwen gemetar hebat ketika layar di gadget menampakkan Lizzy yang terjatuh. Gwen menutup mulutnya untuk menahan pekikan saat dua tangan muncul dan menolong gadis kecil itu untuk bangkit.

"Apa kau tidak apa-apa?" Terdengar suara serak laki-laki dari sana.

"Ya! Terima kasih!" Wajah mungil Lizzy memenuhi layar saat dia tertawa senang, tak menyadari bahwa bahaya berada sedekat nadi dengan dirinya.

"Kumohon," tangis Gwen. "Kumohon, jangan sakiti dia. Aku akan melakukan apapun. Apa saja! Tolong..."

Di layar, Bibi Anna menghampiri mereka dan mengucapkan terima kasih kepada si pembawa kamera. Mereka berjalan menjauh dan masuk ke dalam sebuah toko di pinggir jalan.

"Tampaknya aku telah meyakinkanmu. Tapi untuk jaga-jaga, aku ingin kau tahu bahwa sangatlah mudah bagi orang-orangku untuk menciptakan suatu insiden kecil dan membuat leher rapuh Lizzy patah atau semacamnya."

"Tolong katakan saja apa maumu!"

"Oke, oke!" Suara di seberang sana terdengar malas. "Kekasihmu yang gila itu akan pergi untuk mengurus sesuatu besok siang. Dia akan meninggalkanmu dalam penjagaan penuh, tapi itu tak jadi masalah. Jangan pernah berpikir kau bisa memberinya tanda atau peringatan dalam bentuk apapun. Ada seseorang yang mengawasimu untukku di sana. Jika kau macam-macam, yah, kau tahu apa akibatnya, bukan? Semoga Tuhan mengasihi jiwa sepupu-sepupu kecilmu."

Gwen menundukkan kepalanya dan menangis tanpa suara. Keringat dingin menjalar di sepanjang punggungnya.

"Kau akan tahu saat segala sesuatunya dimulai. Orangku akan membawamu pergi dari rumah pantai sialan itu kepadaku. Kau mengerti?"

"..."

"Aku butuh jawaban."

"Y-ya." Gwen sudah putus asa sekarang. "Ya, aku mengerti."

"Kau akan bersikap baik, bukan?"

"Ya."

"Bagus." Ada senyum dalam suaranya. "Aku benar-benar menantikan pertemuan kita, Sayang."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

siapa ya kira2 orang dalemnya si penelepon yg jahat itu?

btw kalo mau tau bibi anna dan sepupu2 Gwen ada di mana, baca lagi bab" La Famiglia (2)". di situ ada clue-nya.

vote dan komen jangan lupa zheyeng🖤
kalau banyak aku bakal usahain buat update besok!


ig: aninescawattpad


Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 335K 30
The Patlers #1 ( REAGAN & SKY ) [ 21+ ] CERITA INI MENGANDUNG AKTIVITAS SEKSUAL DAN BAHASA VULGAR. HARAP BIJAK DALAM MEMBACA ---------------
5.2M 497K 47
The Patlers #4 ( Winter & Maria ) Winter L. Patlers adalah putra kedua dari Maxime Federico Patlers-pemilik dua perusahaan besar, Patlers Group dan A...
ESCAPE By chacul

Fanfiction

2.2M 96.2K 39
[COMPLETED & PRIVATE} [WATCH THE TRAILER] ❝Buy her, sleep with her, and take her virginity.❝ Barbara was kidnapped and worked as a high-paid prostitu...
3.6M 81.2K 30
Harap bijak memilih bacaan! Sinopsis : Mawar seorang gadis berusia 18 tahun yang masuk sebagai pelayan dan berubah menjadi istri tuannya.