Maya terus ingat Ramintul teman barunya. Maya merasa aneh Ramintul begitu takut melihat mbah putri.
Tiba-tiba Maya ingat suara ibunya memanggil dari dalam kuburan. Hati Maya bergejolak ingin sekali ke makam ibunya.
Menjelang magrib Maya memperhatikan mbah kakung yang sudah siap-siap ke masjid.
"Mbah! Maya Ikut, ya?" pinta Maya.
"Boleh, bawa sarungnya, ya?" Ucap Mbah Kakung.
Jaman Maya kecil tahun 1978 belum ada mukena kecil. Setiap Maya belajar sholat selalu memakai sarung dan dipakai seperti ninja.
"Mbah... boleh aku ajak temanku?" tanya Maya.
"Boleh! Maya sudah punya teman? Siapa?"
Maya terdiam dan mengingat kembali nama temannya. Maya tidak menjawab pertanyaan mbahnya. Maya langsung lari ke luar rumah. Maya melihat Ramintul sedang duduk di teras tetangga.
"Hey, sholat yuk!" ajak Maya.
"Sholat? Di mana?"
"Di masjid! Ayo, kita berangkat!" paksa Maya.
Maya menarik tangan Ramintul, Maya lupa tidak menyuruh Ramintul membawa sarung. Sampai di masjid, Maya dan Ramintul diusir ibu-ibu yang hendak sholat.
"Heh, mau apa kalian? Sana pulang! Ini tempat sholat bukan tempat main!" hardik seorang ibu setengah baya.
"Aku mau sholat!" ucap Maya.
"Ah, mengganggu saja! Sana pulang!"
Maya dan Ramintul akhirnya pulang. Maya merasa heran anak kecil dilarang masuk ke dalam masjid.
"May, besok main ke stasiun, yuk?" ajak Ramintul.
"Ke stasiun? Mau apa?" tanya Maya.
"Di sana ada kereta, ibuku jualan di sana," jawab Ramintul.
"Ayo! Aku ajak adik-adikku, ya?" pinta Maya.
"Jangan! Nanti kamu dimarahi mbahmu!"
Maya terdiam dan memikirkan galaknya mbah putri dan tante Memey. Tapi Maya penasaran dengan kereta. Ramintul lari setelah melihat mbah kakung berjalan menuju rumah.
"Maya? Katanya sholat, kok Mbah tidak lihat Maya di masjid?" tanya mbah kakung.
"Aku diusir ibu yang galak, Mbah!" jawab Maya polos.
"Tadi Mbah lupa mau menitipkanmu pada mereka, besok Mbah antar masuk, ya?" ucap Mbah Kakung.
"Mbah, besok aku boleh main?" tanya Maya.
"Boleh, asalkan jangan jauh-jauh, ya?" jawab mbah kakung.
Maya sangat senang, Maya sudah tidak sabar menunggu besok melihat kereta bersama Ramintul.
Setelah subuh mbah putri membangunkan Maya dan adik-adiknya dengan sapu lidi.
"Bangun... bangun!" teriak Mbah Putri.
Maya langsung ke sumur diikuti adik-adiknya. Maya menimba air dan memandikan adik-adiknya. Selesai memandikan adiknya, Maya ingat pesan mbah putri agar mencuci baju sendiri. Tangan mungil Maya mencuci baju. Maya menjemur pakaian, matanya melihat dari kejauhan Ramintul sedang menata emping untuk dijemur.
Maya dan adik-adiknya menuju teras. Sari sudah duduk di teras sedang sarapan lontong sayur. Adik-adiknya Maya merasa lapar melihat Sari makan.
"Mbak, mau makan... lapar..." keluh adik-adiknya Maya.
Maya melihat uwanya lewat langsung memanggil.
"Wa!" teriak Maya.
Uwanya Maya langsung berhenti dan menghampiri Maya.
"Ada apa, Maya?" tanya uwa.
"Adikku lapar, ingin sayur lontong, Wa!" jawab Maya.
"Oh, kalian lapar? Ayo ikut Uwa ke warung," ajak uwa Wahab.
Maya dan adik-adiknya langsung mengikuti uwa Wahab. Meskipun uwa Wahab seorang tukang becak, tapi hatinya sangat baik. Uwa Wahab adalah suami dari uwa Tina kakaknya Danu. Mereka tidak memiliki anak. Mereka sangat ingin mengadopsi anak-anak Danu, tapi tidak di izinkan Danu.
Selesai sarapan adik-adiknya Maya main di rumah uwa Tina. Uwa Wahab harus menarik becak.
Mbah putri selalu mengandalkan uwa Tina untuk mengurus anak-anak Danu jika sedang sibuk.
Maya gelisah dan ingin main. Maya tidak betah tinggal di rumah uwa Tina. Saat Maya ada di teras rumahnya uwa Tina, dari jauh Ramintul memanggilnya.
"Stttt... suts... Maya... " panggil Ramintul sangat pelan.
Maya menoleh kearah suara dan langsung girang. Maya pamit pada uwa Tina, "Wa Maya pulang dulu," ucap Maya.
"Ya, hati-hati!" balas wa Tina.
Maya dan Ramintul akhirnya bisa bermain dan menuju stasiun. Maya sangat senang diajak Ramintul.
Sampai di stasiun kereta, Ramintul mencari ibunya yang sedang jualan. Banyak pedagang asongan hilir mudik berjalan diarea stasiun.
"Maya, kamu tunggu di sini, ya? Aku mau menemui ibuku, dulu!" ucap Ramintul.
Maya duduk di peron, Maya mengingat kembali seperti pernah naik kereta bersama ayah dan ibunya. Rasa rindunya kembali muncul untuk bertemu ibunya.
Dari kejauhan Ramintul berjalan sambil membawa buah kesemek dan sebungkus nasi.
"May, ayo pulang!" ajak Ramintul.
"Aku gak mau pulang! Aku mau ke rumah mamahku dulu," ucap Maya.
"Ke rumah mamahmu? Ayo aku antar!" ucap Ramintul.
"Tapi aku tidak tahu jalan ke rumah Mamah," balas Maya.
"Kita jalan saja! Nanti juga ketemu," ucap Ramintul.
Maya dan Ramintul akhirnya berjalan menyusuri jalan. Sesekali Maya bertanya pada tukang becak tempat kuburan. Ramintul belum mengerti bahwa yang di maksud rumah ibunya adalah makam.
Sudah dua jam Maya dan Ramintul berjalan, akhirnya Maya ingat jalan menuju makam.
"Rumah mamahmu jauh, ya? sepi May!" keluh Ramintul.
Maya merogoh kantung bajunya dan mengambil uang logam yang diberi uwa Wahab. Maya membeli kembang di sisi jalan makam.
"Kembang buat apa?" tanya Ramintul.
"Untuk makan mamahku," jawab Maya.
"Aku punya nasi bungkus, nih! buat mamahmu saja," kata Ramintul.
"Kata papah, makanan mamah itu bunga!" sergah Maya.
Sampai di depan makam, Ramintul merasa heran. Maya duduk dan menyapa ibunya. Maya menaburkan bunga dan mengajak bicara ibunya.
"Mamah, aku sudah punya teman, namanya Ramintul," ucap Maya.
"May, ini mamahmu? Rumah Mamahmu?" bisik Ramintul.
"Iya, ini mamahku," balas Maya.
"Ini kuburan, Maya! Bukan rumah? Mamahmu sudah mati!" ucap Ramintul polos.
"Mamah sedang tidur di dalam, kemarin mamah memanggilku!" bantah Maya.
Dua balita yang belum sempurna akal pikirannya. Ramintul hanya diam tidak bisa lagi bertanya.
Maya mengawasi sekitar dan terbersit ingin menggali makam ibunya lagi.
"Ram! Bantu aku mengeruk tanahnya, ya? Kasihan Mamahku," pinta Maya.
"Hah? Jangan, May! Nanti dia jadi setan!" tolak Ramintul.
"Setan itu apa?" tanya Maya heran.
"Kata ibuku orang yang sudah mati akan jadi setan!" jawab Ramintul.
"Orang mati?" tanya Maya semakin heran.
"Iya, May! Kemarin mbahku mati dikubur dan dimasukan ke dalam tanah!" ucap Ramintul.
"Tapi mamahku belum mati, mamah bisa ngomong, kok! Kemarin memanggilku!" bantah Maya.
"Jangan-jangan mamahmu jadi setan!" kata Ramintul.
Dua bocah berdebat lucu, sebuah pengertian tentang orang yang sudah meninggal disampaikan orangtua pada dua balita dengan beda versi.
Maya terus duduk di sisi makam ibunya. Maya berharap cepat sepi, justru sebaliknya banyak pengunjung datang ke makam .
Mata Maya dan Ramintul melihat banyak orang masuk dengan mengusung keranda. Ramintul mulai ketakutan dan mengajak pulang.
"Pulang, yuk! Ada orang mati!" bisik Ramintul.
Maya tidak bergeming dan terus menatap Keranda yang diusung. Memori otaknya berjalan dan ingat saat ibunya digotong dalam Keranda.
"May! Ayo pulang!" ajak Ramintul membuyarkan lamunan Maya.
Maya berdiri dan menggandeng tangan Ramintul. "Aku mau lihat dulu, ayo ke sana!" ajak Maya.
Maya menerobos kerumunan orang, Maya melihat jasad terbungkus kain kafan. Ramintul menyembunyikan wajahnya di pundak Maya. Maya menyaksikan prosesi menguburkan jenazah.
"Bu, kenapa dia dimasukkan ke dalam tanah?" tanya Maya pada salah satu pelayat.
"Karena dia sudah meninggal, jadi harus dikubur," jawab ibu pelayat.
"Apa dia bisa bangun lagi?" tanya Maya.
"Orang yang sudah meninggal tidak akan hidup lagi, jadi tidak mungkin bisa bangun lagi! Ayo anak kecil menunggu di sana saja!" jawab ibu pelayat.
Maya terdiam dan syok. Maya menoleh dari kejauhan melihat makam ibunya. Jawaban yang Maya dengar membuatnya tidak percaya kalau ibunya sudah tiada.
"Ayo, pulang!" bisik Ramintul.
Batin Maya berontak, ingin sekali menggali makam ibunya untuk memastikan apakah ibunya benar masih hidup atau sudah mati. Tangan Ramintul terus menarik Maya. "Ayo pulang!" teriak Ramintul.
Maya berjalan sambil terus menoleh ke belakang. Maya tidak percaya ibunya tidak akan bangun lagi. Maya sangat yakin kalau ibunya memanggil namanya saat bersama adik-adiknya.
***